Sapu tangan biru

57 2 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim
Copyright @Baits_
-Terperangkap Dalam Tanya-
_______________________

"Seberapapun benci disembunyikan, tetap saja bisa dirasakan. Saat kau menghindar begitu kita bertemu dalam satu tatapan"

_____

AKU tak tahu sudah berapa menit waktu yang ku habiskan untuk menyusupkan kepalaku diantara lutut yang kulipat dengan diikat tanganku yang melingkarinya.

Tangisku pecah dilorong sepi yang jarang terlalu lalangi. Sebenarnya sekarang masa bodo aku jika ada yang melihat. Tak peduli sedikit pun. Yang terpenting, sedikitnya beban kuharap bisa terkeluarkan.

Saat ku angkat kepalaku untuk mengakhirinya, sebuah uluran tangan yang mengenggam sapu tangan berwarna biru muda terpapar dihadapanku.

Kutelusuri siapa orang yang memberikan sapu tangan tersebut. Saat aku sudah menemukan wajahnya, kutahu siapa dia.

Mengapa harus dia? Orang asing yang tak ku kenali sedikit pun. Aku hanya mengetahui namanya. Itu pun atas keterpaksaan karena acara amal beberapa minggu lalu.

Ari,

Dia yang ku harapkan disini menenangkanku. Memberiku sedikit suntikan energi agar aku tak selemah ini. Membuatku tak merasa bersalah pada Kak Abi karena mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak akan menyenangkan hati. Dan membuatku tak merasa bersalah kepada Zalfa, karena orang yang dicintainya mencintaiku. Bukan dia yang ku butuhkan saat ini.

Aku mendiamkan saja uluran tangan itu tak bergerak dari posisi awalnya. Hingga mungkin ia menyerah dan berdiri normal kembali.

"Saya tinggalkan disini!" ujarnya sambil meletakkan sapu tangan tadi di sampingku.

"Lap wajahmu sebelum bertemu dengan seseorang! Itu akan lebih baik!" tambahnya lagi.

"Assalamualaikum," sepertinya itu kata terakhir yang Fahri ucapkan. Karena setelahnya ia perlahan berjalan pergi. Mataku membuntuti punggungnya hingga seluruh tubuhnya menghilang di lahap tembok ketika ia berbelok.

"Waalaikumsalam" jawabku dengan lirih diselingi suara serak akibat menangis. Mataku terpaku pada sapu tangan biru disampingku. Aneh. Aku menuruti begitu saja perkataan Fahri. Mengambil sapu tangannya, lalu mengelap semua bagian dari wajahku.

Sepertinya dengan berdiam seperti ini, akan lebih membuat perasaanku tak karuan. Aku memutuskan menemui Pak Sastro dan menyerahkan tugasku kepadanya. Biarlah aku terkena damprat. Yang penting aku memiliki alasan mengapa tak sempat menyerahkannya tepat waktu.

Tepat di depan pintu ruang dosen, hatiku tiba-tiba berdebar. Menerka apa yang akan terjadi saat aku menyerahkan makalah yang lumayan rusak ini.

"Satu jam, lima puluh sembilan menit, tiga puluh detik!" Pak Sastro langsung menyergapku dengan perkataan tersebut. Dia langsung menyadari kehadiranku. Di ruang dosen hanya ada Pak Sastro. Jadi, Pak Sastro langsung mencercaku tanpa menungguku mendekat ke arah mejanya, atau sekedar mengucapkan salam.

Aku hanya diam, tanpa berniat menjawab. Ini salah, aku tahu itu. Hampir dua jam aku telat mengumpulkannya.

"Saya sempat ngajar dulu di kelas! dan saya kira, sudah ada laporan makalah dari kamu yang sudah saya acc semalam! Nyatanya nihil. Sampai saya kembali ke ruang dosen, makalah kamu belum juga ada di meja saya?!" setengah bertanya juga menghakimi. Pak Sastro terlihat kesal. Aku juga mengerti mengapa ia bersikap seperti itu.

[SB I] Terperangkap Dalam Tanya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang