"Aku hanya bersikap seolah baik-baik saja, padahal jauh dari lubuh hatiku, aku merasakan ada luka yang perlahan mulai menyakitiku"
...........🍁
"SAYA terima nikah dan kawinnya Nadhira Nur Azmi binti Abdul Aziz dengan mas kawin yang telah disebutkan dibayar tunai." seseorang mengucapkan qabul atas namaku dengan begitu jelas, setelah sebelumnya Ayah mengucapkan ijab. Suara itu belakangan ini menjadi sangat familiar di telingaku.
"Bagaimana para saksi, sah?" tanya seseorang yang lain.
"Sah," semua orang terlihat lebih bersemangat merapal hamdalah setelah dua orang saksi menjawab dengan kata 'sah', yang menandakan bahwa sekarang statusku sudah berubah dari seorang anak, menjadi seorang istri.
Aku sendiri, masih tidak menyangka jika aku benar-benar menikah hari ini. Di detik ini, di jam ini, semua baktiku seluruhnya telah Ayah serahkan kepada seseorang yang baru saja mengucap qobul atas namaku. Seseorang yang kini menjadi surgaku. Seseorang yang kini menjadi Imamku. Seseorang yang kini tidak lagi menjadi temanku, melainkan suamiku. Dialah...
Fahri.
Mimpi yang sama. Lagi-lagi aku terbangun setelah aku memimpikan hal yang sama selama dua hari berturut-turut ini. Aku bermimpi jika aku menikah dengan Fahri.
Ini adalah sehari sebelum aku harus benar-benar mengambil keputusan yang akan mengubah masa depanku nantinya. Dan semenjak aku memutuskan untuk meminta waktu dan mereka mengizinkannya, rasanya setiap hari yang kulalui selalu berat karena terus memikirkan jawaban apa yang harus kulontarkan agar tidak menyakiti mereka ataupun diriku.
Apalagi saat aku melakukan sholat istikhoroh kembali dan mimpi yang sama mendatangi. Apakah ini petunjuk dari-Mu? Apakah aku harus benar-benar menerima Fahri? Lalu mengapa Ari masih ada di benakku untuk mengganggu keyakinanku untuk memilih Fahri?
Aku beranjak dari kasur setelah sebelumnya mengusap wajahku dengan gusar. Aku kesal dengan keadaan ini. Keadaan yang memaksaku bertindak dengan tidak sesuai dengan keinginanku.
Sewaktu berjalan menuju toilet yang ada di kamar tidurku, entah karena apa tiba-tiba lutut kakiku seolah tidak memiliki tumpuan. Dan sisa tenagaku tidak bisa menahan beban tubuhku, akhirnya tubuhku terjatuh ke lantai dengan bertumpu pada lututku yang menempel dengan lantai.
Aneh.
Mengapa aku kehilangan keseimbangan seperti ini? Aku mencoba berdiri kembali menegakkan tubuhku dan melanjutkan niat awalku untuk berwudhu dan menunaikan sholat subuh.
🌻🌻🌻
Setelah kepulanganku dari rumah sakit waktu itu, aku benar-benar mengurung diriku dari interaksi dengan orang lain, temasuk orang tuaku.
Karena biasanya hanya Kak Aisyah-lah yang dapat membujukku melakukan sesuatu, ia sampai dipanggil Ayah untuk mengunjungi rumah kami yang tak jauh dari rumahnya.
Sudah tiga hari ini, aku cuti dari kantor. Bahkan selama tiga hari ini pula, aku tidak pernah lagi menghidupkan data selulerku.
Aku belum tahu lagi bagaimana kabar Ibunya Fahri. Karena Fahri yang biasanya menelponku setidaknya sehari sekali, tapi sudah tiga hari ini ia juga tidak pernah mengabariku sama sekali. Ia menghilang tanpa kabar.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu kamarku yang mulai sering dikunci diketuk oleh seseorang. Aku membukanya, membiarkan orang yang mengetuk pintu memperlihatkan wajahnya padaku. Kak Aisyah. Aku membiarkan Kak Aisyah masuk dan tanpa meminta izin ia langsung duduk di tepian tempat tidurku sebelum aku mempersilakannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[SB I] Terperangkap Dalam Tanya [COMPLETED]
Random[SUDAH TAMAT] Pernah dengar kata menunggu?. Tentu pernah bukan?. Namun banyak orang yang terkadang sangat lemah dan sering mengeluh saat menunggu. Bagaimana jika ku katakan menunggu itu indah? Mengapa? Karena kupikir dengan menu...