"Allāh tidak akan memberikan sebuah ujian pada hamba-Nya, melainkan Dia tahu bahwa hamba-Nya mampu melewatinya"
🌷🌷🌷
Setelah pertemuan dengan temannya Kak Ari minggu lalu, untuk kedua kalinya aku lagi-lagi disarankan untuk melakukan operasi pengangkatan timus.
Dan temannya Kak Ari memiliki kenalan seorang dokter bedah, dan menyarankan agar aku bisa melakukan pendekatan terlebih dulu dengannya untuk berkonsul tentang hal yang tengah aku alami.
Ayah, Ibu, Kak Ari, dan Kak Aisyah memaksaku agar aku mau melakukan ini, dengan sebuah janji jika Fahri tidak akan mengetahui sesuatu tentang ini.
Dan akhirnya aku pun menyetujuinya.
Hari ini pada jam istirahat makan siang, di sebuah caffe yang tak jauh dari rumah sakit tempat Kak Ari dan temannya bekerja, kami merencanakan sebuah pertemuan.
Setengah hati sebenarnya aku melakukannya. Tapi aku tak ingin melihat Ayah dan ibu kembali bersedih hanya karena aku menolak untuk berusaha agar aku bisa sembuh kembali. Sehingga saat ini, aku berjalan dengan semangat yang harus kupaksakan ada.
Tak berselang lama setelah kami bertiga tiba di caffe ini, seseorang dengan menggunakan jas putih ala dokternya menghampiri kami.
Aku belum bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Karena matahari yang sangat terik, juga tempat yang kami pilih adalah di outdoor jadi orang itu hanya menampakan sebuah siluet.
Hingga beberapa meter lagi jarak kami dengan orang itu, baru aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Aku terkejut bukan main setelah bisa melihat wajah itu dengan jelas, setelah bertahun-tahun lamanya.
Wajah orang yang pernah kuanggap sebagai Ari. Wajah orang yang selalu melihatku dalam keadaan bodoh dalam beberapa pertemuan pertama kami. Wajah orang yang pernah mencintaiku. Wajah orang yang pernah kusakiti. Wajah orang yang pernah meninggalkanku dan akhirnya saat ini ia kembali.
Melihatku, kukira ia akan sama terkejutnya. Tapi dilihat dari gelagatnya ia terlihat lebih santai dariku. Justru Kak Ari yang lebih kelihatan terkejut di sini, ia tak bisa melepaskan pandangnya dari orang yang sedang berjalan menghampiri kami.
Aku tidak bisa melakukan apapun selain berkedip saat itu. Tubuhku kaku tak bisa digerakkan. Aku hanya terpaku melihatnya.
Ragaku belum sepenuhnya mempercayai apa yang sedang mataku lihat saat ini. Hingga sapaan dokter Vanya telah menjawab semua keraguan jika yang kulihat memang benar-benar adalah dia.
"Hai, Bi," sapa dokter Vanya yang menyadari jika orang yang kami tunggu telah datang dan tengah berdiri terpaku menatap ke arahku. Sapaan dokter Vanya tersebut, membuatku mengalihkan pandanganku yang terkunci menatap pria di hadapanku ini menjadi ke arah lain.
Dan aku tambah yakin, jika ternyata Kak ari juga terkejut atas apa yang dilihatnya. Aku yakin memori otaknya tak terlalu penuh hingga bisa melupakan satu orang yang pernah mengantar adiknya ke rumah.
Pria yang dipanggil "Bi" oleh dokter Vanya itu duduk di kursi kosong tepat di sebelahku. Pikiranku belum sepenuhnya kembali normal sedari tadi. Apakah ini mimpi? Apakah ini nyata? Apa benar yang terjadi?
"Apa kabar, Kak?" sapanya pada Kak Ari yang masih menatap pada orang yang menyapanya.
"Ba... baik," jawab Kak Ari dengan terbata.
"Sebenarnya ini memang hari minggu. Tapi, sebenarnya saya dan Dokter Ari masih ada pekerjaan yang harus kami selesaikan. Kami ke sini hanya berniat untuk mengantar kamu Nadhira," rupanya di sini hanya Dokter Vanya yang tidak terlihat gugup. Ia masih bisa mengatakan kalimat sepanjang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SB I] Terperangkap Dalam Tanya [COMPLETED]
Random[SUDAH TAMAT] Pernah dengar kata menunggu?. Tentu pernah bukan?. Namun banyak orang yang terkadang sangat lemah dan sering mengeluh saat menunggu. Bagaimana jika ku katakan menunggu itu indah? Mengapa? Karena kupikir dengan menu...