17 | seviolet

1.2K 77 13
                                    

Matahari sudah tenggelam, jam makan malam Sean sedang berlangsung, dan cowok itu benar-benar tidak ingin merasakan makanan-makanan itu di lidahnya. Tapi seseorang telah memaksanya membuat ia menerima suapan itu terus menerus. Apa boleh buat, Sean merasa sangat lemas dan tidak ada gunanya menguras emosi untuk hal-hal yang tidak penting.

"Udah-udah, udah kenyang," ujar Sean menghentikan.

"Ini masih banyak. Dua kali lagi deh,"

Cowok itu menggeleng. "Gue masih penasaran kenapa lo bisa disini?" tanyanya dengan pandangan yang misterius.

"Gak papa, gue emang mau jenguk lo," jawab Liza yang masih memegang mangkuk bubur dan sendok. "Ayo lagi, aaa.."

"Udah Liz," tolak Sean.

Dari tadi ia menunggu Violet datang, tapi cewek itu malah tak kunjung datang. Di sisi lain, Sean tidak mau Violet melihat kedatangan Liza, takut cewek itu berpikir yang tidak-tidak.

Liza berjalan memutari ranjang Sean. Ia meraih segelas air dan beberapa obat di atas nakas. "Minum obat dulu ya."

Cewek itu memberikan dua buah pil obat dan segelas air pada Sean. Setelah menelan obat-obat itu, ia memberikan kembali gelas itu pada Liza. "Thanks."

Liza tersenyum seraya berkata, "cepat sembuh ya."

Sean mengangguk. "Lo gak pulang? Udah malam."

"Iya sebentar lagi," ujarnya. "Lo tidur aja, istirahat."

"Gue nunggu Violet." Sean berharap setelah ini cewek itu pulang.

"Loh Violet mau kesini? Ngapain?"

"Lo emangnya ngapain disini?" Sean berbalik tanya.

"Jenguk lo?"

Sean mengangguk. "Pinter."

"Mau gue bantu ganti plesternya?" Liza menunjuk plester yang melekat di hidung Sean.

"Gak usah, biar nyokap gue aja," tolak Sean ingin cepat-cepat cewek itu pergi.  "Udah lo pulang aja."

"Yaudah, gue pamit ya? Cepet sembuh," seru Liza dengan senyuman manisnya.

"Iya, thanks."

Liza pun keluar. Di depan pintu ia mendapati tiga orang yang sedang berdiri seperti menunggu. Wajah mereka sangat datar, seperti sedang memikirkan sesuatu. Cewek itu hampir terkejut ternyata seseorang yang Sean tunggu sudah datang.

"Violet?"

Cewek bernama Violet itu tersenyum. "Hai! Udah jenguknya? Gimana keadaan Sean?"

Mendengar itu Adnan dan Alden sontak memandang Violet. Sungguh jika Alden menjadi Violet pasti ia sudah mengintrogasi cewek bernama Liza itu dengan pertanyaan yang memojokkan.

"Ini kenapa jadi Violet yang kayak orang asing, anjir?" bisik Alden pada Adnan sangat pelan.

"Gak tahu, udah biarin," balas Adnan sama pelannya seperti Alden.

"Tadi gue udah suapin dia biar makan, udah minum obat juga," ujar Liza seraya tersenyum manis pada ketiganya. "Masuk aja Vi, gue pulang duluan ya." Pamitnya kemudian berjalan meninggalkan Violet, Adnan, dan Alden.

Mereka bertiga memandang kepergian Liza hingga bayangannya sudah tak terlihat di rumah Sean.

"Anjir tuh orang, berasa kayak dia penguasa rumahnya bangsat," desis Alden. Dari awal Liza datang memang Alden sudah tidak menyukai cewek itu. "Gue mencium bau-bau pelakor nih anjing."

Adnan memukul lengan Alden agar cowok itu berhenti mengomel. "Udah Vi masuk aja, Sean udah nunggu," ujar Adnan.

Violet masuk, mendapati Sean yang masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja cowok itu sedang memejamkan matanya, belum menyadari kalau pacarnya yang sedari tadi ia tunggu sudah datang.

seviolet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang