SOMEDAY - 1. SEBUAH ASOSIASI

208 20 16
                                    

Tahun 1940. Ini adalah tahunke-30 sejak Jepang melakukan aneksasi—pencaplokan wilayah—terhadap Korea. Korea yang menjadi protektokrat Jepanglah penyebab hal itu terjadi pada tahun 1910. Bendera Jepang tampak membubung di langit Korea dan berkibar bebas tanpa berniat minggir hingga detik itu.

Beberapa pemuda mengerumuni seseorang yang tengah tak sadarkan diri di tengah gedung asosiasi. Sekitar tujuh orang laki-laki dan satu perempuan yang berdiri tak jauh dari sana. Mereka tampak khawatir dan terus-menerus memanggil nama 'Lee Minhyuk' tanpa henti, sementara laki-laki yang tak sadarkan diri itu tak kunjung terjaga. Di tangannya tergenggam sebuah naskah drama sekitar 30 lembar. Naskah dengan ketikan mesin tik itu digenggamnya erat—tak ada seorangpun yang berniat menjauhkan Minhyuk dari naskahnya.

Mereka adalah sekumpulan siswa Korea yang menuntut ilmu di Jepang. Rata-rata muda-mudi itu sudah tinggal di sana 3-4 tahun lamanya. Ketika semua orang sedang tertekan dalam kehidupan mereka di Korea, puluhan orangtua dengan kondisi ekonomi di atas rata-rata lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di luar Korea—khususnya Tokyo, Jepang. Kau pasti paham alasan mereka melakukan itu, bukan? Jangan bilang tidak karena semua ini hanya soal monopoli, kekuasaan, dan segala permainan yang tak terima gunjingan.

Meski demikian, orangtua adalah orangtua, dan anak adalah anak. Mereka adalah manusia yang berbeda dan memiliki pemikirannya masing-masing. Gedung asosiasi, tempat itu adalah saksi bisu pelarian, tangis, keluh kesah, dan keresahan hati para pemuda Korea yang tergabung dalam perkumpulan penggiat budaya dan sastra Korea.

"Apakah dunia menyiksamu, atau tidak, nilailah dirimu sendiri... dan mencintai seseorang. Semua manusia itu sama. kita semua disiksa oleh takdir yang sama. Kita semua memiliki ketidakberuntungan..." ujar Lee Minhyuk. Ia membaca sebuah naskah cetakan lama milik Kim Woo Jin: Kematian Kim Young-Il.

Entah bagaimana naskah itu kembali didapatkan, yang pasti, setelah tahun 1920-an, naskah-naskah drama tulisan orang Joseon yang mengandung ujaran kemerdekaan, semua dimusnahkan, dibakar, tak bersisa. Asosiasi itu ada sejak dua puluh tahun lalu pada era Kim Woo Jin, seorang penulis yang gigih memprakarsai sastra Korea di tengah huru-hara tekanan dari Jepang.

"Bisakah kita mementaskan naskah drama itu kembali?" Seorang rekan bertanya pada Lee Minhyuk.

"Aku memang berencana menggunakan naskah ini untuk pementasan. Aku tahu ini tidak mudah. Mereka—para pendahulu—bahkan sulit menggiring opini masyarakat lewat pementasan dramanya. Tapi entah mengapa aku masih yakin bahwa kita bisa," sahut Lee Minhyuk.

"Masyarakat kita tak percaya pada kekuatan drama dan musik. Ini ironi..."

"Aku tetap yakin kalau..." kalimat Lee Minhyuk terpotong. Pemuda itu tiba-tiba ambruk, tak bergerak lagi. Semua rekan yang ada di sana buru-buru menghampirinya dengan wajah khawatir.

"Lee Minhyuk! Minhyuk-ah!" Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuh Minhyuk, sementara yang lain menepuk-nepuk pipinya. Gadis yang tadinya duduk di belakang grand piano tua pun bahkan kemudian berlari mengambil segelas air putih.

"Sial, ada apa dengannya? Jin Ho-ya, tolong, apa yang terjadi dengan anak ini..."

Pemuda yang dipanggil Lee Jin Ho itu sudah ada di sana sejak tadi. Tangannya yang terampil sudah memeriksa sana-sini—detak jantung, napas, kedua mata, bahkan suhu tubuh Minhyuk. Ia tidak mendapati sesuatu yang aneh, kecuali tubuh yang terkulai lemah di lantai gedung asosiasi.

"Gwaenchana, Sunbae. Ia mengalaminya lagi: tertidur di tengah aktivitas. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sampai bisa begini, yang pasti, Minhyuk betul-betul sedang lelah. Aku berharap ia tidak terus-terusan seperti ini," jelas Jin Ho. Ia menghela napas lega. Minhyuk adalah salah satu rekan sekolahnya ketika berada di Korea, sekolah medis. Keduanya berteman baik, bahkan dengan salah satu junior. Kalau ia tak salah ingat, Jung Ilhoon namanya.

Tiap pergi dan pulang dinas, mereka berjalan bersama, bergerombol melewati kedai-kedai, kafe, gedung pemerintahan yang dipenuhi tentara Jepang, juga para pedagang kaki lima yang berpeluh di bawah sinar matahari. Namun suatu waktu, sepulang dinas hari itu, terjadi sebuah kerusuhan besar. Mereka mendengar bahwa saat itu ada perlombaan lari marathon yang dihadiri ratusan hingga ribuan masyarakat Korea-Jepang. Kim Jun Shik. Atlet kebanggaan Korea kembali berpartisipasi setelah sekian lama vakum. Dari radio-radio yang mengudara, mereka bahkan mengetahui Hasegawa Tatsuo, rival Kim Jun Shik hadir untuk meramaikan acara.

Tapi tidak. Perlombaan itu bukanlah sekadar lomba biasa. Harga diri sebuah bangsa dipertaruhkan pada kecepatan lari Kim jun Shik. Harapan masyarakat Korea menggantung pada peluh pemuda itu. Tapi apa yang sekumpulan siswa sekolah medis itu dengar kala mereka melewati Carpe Diem? Beberapa tembakan, jeritan wanita dan anak-anak di sana-sini, gemuruh suara langkah kaki orang-orang yang menggebu memburu, juga sebentuk pertanyaan yang menggema dalam benak mereka—ada apa? Apa yang terjadi?—muncul tanpa permisi.

Lee Jin Ho dan Lee Minhyuk saling bertatapan. Mereka terdesak oleh masyarakat yang berlarian gelisah menghambur sana-sini. Sekali lagi tembakan itu terdengar. Seorang remaja berpakaian sama dengan keduanya roboh bersimbah darah, napasnya berhenti seketika. Tak sempat histeris atas kematian satu rekan, Jin Ho dan Minhyuk pun bahkan terpisah dari Jung Ilhoon. Mereka terdorong terus ke belakang tanpa pernah diberi jeda untuk maju selangkah. Sesaat kemudian, tembakan lain meletus. Entah pelurunya mendarat di jantung siapa, yang pasti, mereka tak melihat Ilhoon dan rekan-rekan yang lain setelahnya. Kerusuhan itu menjadikan keduanya pengecut atas kemerdekaan bangsa mereka sendiri.

"Aku membawa air minum..." ujar Shin Young Mi, gadis pemain piano.

"Airnya buat aku saja, boleh? Minhyuk hanya butuh istirahat. Mari kita biarkan dia tidur untuk beberapa saat..." Jin Ho meraih gelas berisi air putih dan menenggak airnya sampai tandas. Aku dan Minhyuk memang berdiri di sini untuk tujuan yang sama, menebus rasa bersalah, ujar Jin Ho dalam benaknya.

"Bisa kami pinjam tasmu, Young Mi-ah? Kita tidak bisa membawanya pulang dalam keadaan begini, jadi tolong pinjamkan tasmu untuk alas kepalanya..." Kyosuke Tomoda, seorang pemuda Jepang, satu-satunya juru kunci gedung asosiasi meminta Young Mi untuk meminjamkan tasnya. Ya, Tomoda hanya meminjamkan namanya sebagai salah seorang penanggungjawab gedung.

Gedung asosiasi yang berdiri di Tokyo ini sebetulnya hak Lee Minhyuk, sepenuhnya. Namun keadaan tak mengizinkan itu terjadi. Setidaknya harus ada orang Jepang yang terlibat dalam kepemilikan atau pengelolaan gedung. Ah, kau tahu isu-isu aliansi pemuda Joseon yang meresahkan orang-orang Jepang itu. Mereka adalah kumpulan pemuda-pemuda Joseon yang melakukan pergerakan di bawah sebuah organisasi gelap—untuk memperjuangkan kemerdekaan Joseon/Korea atas pemerintahan Jepang yang dinilai membatasi, mengurung, dan menguasai wilayah Korea dan masyarakat yang berada di dalamnya. Munculnya aliansi pemuda-pemuda Joseon itulah yang membuat tentara Jepang selalu mencurigai perkumpulan para pemuda Joseon yang belum tentu berada dalam lingkaran organisasi.

"Sambil menunggu Minhyuk-Oppa bangun, apakah Oppa sudah menghubungi... siapa itu? Yang rencananya akan kita ajak menyanyi dalam pementasan drama? Lee..." Young Mi bertanya pada Jin Ho sambil mengingat-ingat.

"Siapa? Eun Bi? Lee Eun Bi?" tanya Jin Ho.

"Ah, ya. Itu dia. Lee Eun Bi. Bukankah Oppa bilang ia akan berkunjung kemari?"

"Oh itu..." Jin Ho menggantung kalimatnya ketika mereka mendengar suara pintu terbuka dan windchime berbunyi. Seorang gadis berusia dua puluh tahunan muncul dari sana dengan rambut panjang yang terurai, pita hitam yang mengikat rambut atasnya ke belakang, tas jinjing di tangan kanan, blus cream, rok berwarna senada, juga pantofel hitam.

Ia, Lee Eun Bi.



~ to be continue ~

[2019] SOMEDAY (Sequel of Hour Moment) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang