SOMEDAY - 6. SUARA-SUARA PENGKHIANATAN

65 17 0
                                    

"Eun Bi-ah, apa kabar? Apakah kabarmu di Jepang baik-baik saja? Sekolahmu lancar? Aku berharap semuanya berjalan sesuai dengan yang kau inginkan. Bukankah kau bilang sedang ikut kegiatan drama atau apa itu sebutannya, ah aku lupa. Tetaplah berhati-hati, Lee Eun Bi. Jangan lupakan sarapan. Ayahmu baru saja jatuh sakit, tapi ia sudah baik-baik saja. Ibu dan aku merawatnya sehingga kau tidak perlu khawatir. Aku memberitahu ini padamu karena aku tahu jika diriku tak melakukannya, maka kau akan marah apa pun alasanku.

"Soal kabar Lee Changsub, aku belum mendengar apa pun. Petinggi-petinggi Jepang yang 'bermain' di Carpe Diem tak mengatakan apa-apa soal tentara Kekaisaran Jepang yang berperang di luar sana. Aku hanya berharap kita mendapat setidaknya kabar, kabar apa pun. Tapi belum. Sejauh ini aku belum mendengar kabar. Jadi mari bersabar sedikit lagi. Aku tahu kau pasti akan memahaminya."

Im Hyunsik mengakhiri tulisannya dengan membubuhkan tanggal dan tanda tangan di bagian bawah. Ia melipat surat itu kemudian memasukkannya ke dalam lipatan apron yang ia kenakan. Ini masih pagi, belum banyak pelanggan yang datang. Carpe Diem baru buka dan biasanya pengunjung akan berdatangan kala hari menjelang siang. Pagi-pagi begini, yang datang hanyalah orang-orang Korea yang mau cari hiburan atau sekadar melepas penat dengan minum berseloki-seloki bir. Hyunsik paham apa yang mereka pikirkan.

"Hyunsik-ah, pacarmu belum pulang ke Korea? Ini sudah dua bulan lamanya, bukan?" Salah seorang pengunjung berceloteh. Ia sudah satu jam berada di Carpe Diem dan mulai mabuk.

"Pacar apa maksudmu? Aku tidak punya yang seperti itu." Hyunsik tersenyum lalu mengabaikan pembicaraan tanpa juntrungan itu.

"Aish, itu lho, gadis yang selalu pakai pantofel mengkilap dan rok selutut, yang parasnya manis sekali. Adik siapa itu...tukang becak yang dulu jadi tentara Jepang..." Hyunsik mengarahkan tatapannya tajam pada seorang yang tengah mabuk kala pagi.

"Lee Eun Bi. Ia punya nama. Juga tukang becak itu. Namanya Lee Changsub," tandasnya. Entah perasaan Hyunsik yang memang tengah kacau, atau ia tengah merindukan keduanya, yang pasti emosinya sedang tak baik. Ia menyadari itu sehingga dirinya terus menerus menghindar dari topik bahasan yang tak seharusnya menjadi bahasan. Ia bukan penggosip.

"Ah, iya itulah namanya. Hei, bukannya tentara Kekaisaran Jepang kabarnya kalah ketika berperang dengan Soviet? Kau dengar beritanya? Aku ragu kalau masih ada yang tersisa. Sungguh, hiiii ngeri..."

"Ahjussi, kau sudah mabuk. Pulanglah, temani istri dan anakmu di rumah."

Im Hyunsik merapikan seloki bir yang telah kosong. Ia sungguh tak ingin mendengar celotehan orang mabuk pagi ini. Ya, dirinya memang sangat membutuhkan informasi tentang keadaan orang-orang Korea yang menjadi relawan perang, khususnya Lee Changsub, tapi bukan kabar remeh seperti ini juga yang diharapkannya.

Sekali lagi, pemuda yang tengah sibuk mengelap meja tinggi itu meraba lipatan apron. Ia berpikir pada waktu apa harusnya surat itu dikirim. Atau barangkali ia menunggu beberapa hari lagi untuk mendapat informasi tentang kepulangan Eun Bi. Hyunsik dilema. Sementara itu, dari kejauhan ia melihat seorang pria dengan topi hitam berjalan ke arahnya. Setelannya rapi, sepatu pantofelnya mengkilap, terlihat mahal. Beberapa detik baru saja ia sudah sampai di meja tinggi, memesan satu seloki bir, meminum itu, lalu meletakkan beberapa lembar uang yang ditindih gelas: tapi itu bukan hanya lembar uang, ada lembar lain yang lebih tipis, berisi sebuah sandi.

***

"Ibuku dalam keadaan kritis. Izinkan aku pergi...kumohon..."

"Tapi kau tak bisa meninggalkan aku di sini. Aku ingin egois sekali ini saja."

Dialog-dialog itu terucap dengan atmosfer emosi luar biasa. Tangis Jinho meleleh kala ia mengungkapkan bahwa dirinya ingin egois. Ia sungguh mendapatkan karakternya: seorang lelaki yang sudah berkorban banyak hal untuk sebuah kisah cinta manis di bawah banyak tekanan, namun perasaannya selalu dikhianati. Kedalaman dialog dan perasaan yang terungkap di sana kemudian tiba-tiba terpotong oleh suara teriakan dari luar. Seseorang memerintahkan agar pintu gedung dibuka.

[2019] SOMEDAY (Sequel of Hour Moment) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang