Di dunia ini, selalu ada orang yang mengatakan bahwa cara terbaik melupakan seseorang yang pernah kita cintai adalah dengan mencintai orang lain. Masalahnya, memulai kembali sebuah kisah manis tak semudah melangkah menuju pasar malam dan bersenang-senang di sana semalaman. Serpihan perasaan yang hendak dilupakan itu akan terus mengerat luka dalam ingatan. Lebih-lebih ketika kau tak bisa membenci tambatan hatimu bagaimanapun ia menggali luka di setiap aroma cinta yang kau tabur.
Malam itu, Lee Eun Bi hanya meninggalkan sepucuk surat pamit pada Lee Minhyuk dan rekan-rekan rombongannya. Beberapa orang paham betul situasi apa yang tengah terjadi hari itu, namun mereka memilih diam dan berusaha memahami perasaan masing-masing. Bukankah itu lebih baik ketimbang kau membicarakan orang lain sana-sini? Tidak ada yang bisa Minhyuk lakukan selain tetap berusaha tenang di tempat itu. Ia memutuskan untuk tinggal di sana sementara waktu dan menunda pergi ke Jepang dalam waktu dekat. Ia pun pada akhirnya bertatap wajah dengan sang ayah.
“Sudah kukatakan padamu untuk tidak bertindak bodoh, tetapi kau malah berlarian seperti badut dan menulis sastra. Kau hidup seperti seorang pahlawan…” ujar ayah Minhyuk dingin. Ia menatap tajam ke dalam sepasang mata putranya.
“Maaf…” Sepatah kata maaf Minhyuk berikan untuk ayahnya yang saat ini tengah kecewa. Ya, tapi dirinya juga berhak kecewa.
“Minhyuk-ah, kau itu putra tertua di keluarga ini sekaligus penerus bisnis. Ingat betul-betul ini dalam kepalamu. Tak usah menulis sastra dan berlagak seperti patriot. Pikirkan saja tentang mengambil alih bisnis keluarga kita suatu hari nanti…”
“Ya, Ayah…” Lee Minhyuk sudah lelah. Acapkali ia bertemu muka dengan muka bersama ayahnya, mereka tak pernah membicarakan hal selain bisnis dan satu dua tuntutan yang wajib dipenuhi. Pemuda itu muak, namun bahkan tak bisa melakukan apa–apa.
Minhyuk kemudian menghabiskan waktunya di kamar, tanpa seorangpun menemani. Kemudian pintu itu terketuk. Na Seo Ri, istrinya, masuk ke dalam dan menyapa. Minhyuk hanya membalas sapaan apa adanya tanpa minat untuk sekadar mengobrol basa-basi. Seo Ri kemudian memulai pembicaraan singkatnya. Ini sudah beberapa bulan dirinya tak bersua dengan sang suami.
“Seobang-nim, kau sudah lama tidak pulang ke rumah. Dengan rendah hati kusarankan agar kau menahan diri dari kegiatan yang ayahmu tidak suka. Ayah berharap kau mengabdikan dirimu untuk bisnis keluarga setelah menyelesaikan studi dan kembali ke rumah. Jika ia tahu kau masih setia menulis sastra, ia akan sangat kecewa…” ujarnya. Lee Minhyuk sama sekali tak memandang Seo Ri.
“Bukankah itu sulit untukmu? Apa tidak lelah menjalani kehidupan yang telah direncanakan?” Ia menatap tajam Na Seo Ri. Kedua pasang mata mereka beradu.
“Memikirkan soal itu, itu tidak demikian. Aku memiliki Byeol. Setidaknya, aku berjuang untuknya. Aku tidak bisa mengeluh lelah…” Ia kemudian pamit undur diri sambil menahan air mata yang nyaris tertumpah. Ah, di dalam rumah itu, menangis bahkan hanya untuk orang-orang lemah. Baginya, tidak ada kesulitan yang cukup berarti jika itu hanya persoalan tentang memenuhi ambisi orang lain.
Minhyuk hendak beranjak tidur ketika pintu kamarnya lagi-lagi terbuka. Terkejut, ia melihat sesosok bocah perempuan berlari ke arahnya dan langsung naik ke ranjang memeluk lengan kokohnya. Itu Lee Byeol. Sepasang mata bulat yang bersinar dan wajah yang berseri lagi-lagi ditatapnya nanar. Bocah perempuan ini…sangat menyayanginya.
“Appa! Appa!” serunya.
“Eoh, Gongju-nim? Kenapa malam-malam begini masih belum tidur?” ujar Minhyuk. Byeol menyandarkan kepala pada dada bidang sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] SOMEDAY (Sequel of Hour Moment) ☑️
Ficción histórica#1 btob (04.05.19 - 04.06.19) Lee Eun Bi pada akhirnya tumbuh tanpa sosok Changsub, kakak yang paling ia sayangi. Sekitar tahun 1920-an akhir mereka terpisah. Kerusuhan yang terjadi akibat kecurangan Jepang atas lomba lari marathon terjadi secara ti...