SOMEDAY - 15. SEBUAH KABAR TENTANG LEE CHANGSUB

50 17 0
                                    

Pascaadu mulut dengan sang ayah, Lee Minhyuk memutuskan tidak pulang untuk beberapa hari. Kadang satu-satunya hal yang bisa meredam emosimu hanyalah pergi jauh-jauh dari sumbernya, lalu pulang beberapa hari kemudian untuk melihat hal yang baru. Minhyuk melakukannya. Ia sengaja pergi dari Mokpo ke Gyeongsong malam itu. Dicarinya penginapan terbaik setidaknya untuk satu minggu dan berencana untuk menulis sepanjang malam. Namun di hari kelima pelariannya, terjadi pemberontakan di Gyeongsong.

Semua masyarakat sipil yang enggan terlibat menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Seluruh pertokoan pun membisu. Lee Minhyuk menelan ludah. Ini persis seperti kejadian waktu lalu ketika ia masih tinggal di Gyeongsong untuk menuntut ilmu. Peristiwa ini seolah menguak kenangan masa lampau yang sebetulnya sengaja disimpan rapat-rapat dalam ingatan. Ia melihat semua hal yang terjadi di jalanan itu dari balik jendela kamar: meledaknya bom di Bank Shindan yang tak jauh dari penginapannya, tembakan-tembakan yang meletus di udara, orang-orang yang menjerit, sekumpulan laki-laki yang mengenakan penutup wajah.

Insiden itu terjadi lebih kurang dalam tiga jam. Selama itu pula, jari-jari Lee Minhyuk tidak berhenti menulis. Acapkali ada suara tembakan, ia memejamkan matanya sejenak sambil membayangkan betapa sakit kulit yang tertembus peluru. Dirasakannya sakit itu hingga ke seluruh tubuh, merambat, merayap, mematikan. Belum lagi ketika bom itu meledak. Puing-puing bangunan—yang awalnya menjadi sumber keramaian—terlihat jadi mengerikan. Pecahan kaca-kaca berserakan di jalan. Mereka melukai kaki-kaki yang berlarian tanpa kasut.

Lalu terakhir kali sebelum insiden itu benar-benar mereda, ia melihat seorang pemuda yang diseret. Entah dari arah mana mereka datang, namun sesaat kemudian seorang yang lain—yang mengenakan penutup wajah—datang dan menghabisi orang-orang yang menyeret pemuda itu. Keduanya lalu dikepung oleh belasan oknum bersenjata: manusia-manusia penjajah. Satu dari dua pemuda itu melarikan diri. Seorang pengkhianat, batin Minhyuk. Ia lalu memperhatikan betul-betul seseorang yang tengah dikeroyok. Dirinya tak tahu sampai batas apa mampu menyaksikan kekejian itu.

Ditutupnya tirai. Tangannya gemetaran tak bisa menulis. Ia mengingat Jung Ilhoon. Ia mengingat semua rekan sekolah medisnya yang mati tertembak. Lee Minhyuk meletakkan pena, kemudian sibuk mengusap air mata dan menggumam 'mianhae' berulang-ulang. Seperti orang gila, ia lalu menghentikan acara menangisnya dan sekali lagi mengintip ke jalanan depan Bank Shindan: mayat-mayat berserakan. Orang-orang yang tadi sibuk mengeroyok pemuda itu menjelma mayat.

Minhyuk menyeka keringat dinginnya. Ia memutuskan besok bertolak ke Mokpo usai mengirim tulisannya pagi-pagi betul ke redaksi majalah. Pemuda itu ingin mengemas lebih banyak barang untuk dibawanya ke penginapan. Ia ingin tinggal lebih lama untuk mengamati perkembangan insiden di Gyeongsong dan menghubungkan peristiwa itu dengan pemberontakan berskala kecil yang terjadi di Mokpo tempo hari.

***

Lee Eun Bi berjalan perlahan menuju rumahnya. Tatapan mata itu kosong. Sepagi tadi, petugas polisi Jepang mendatangi rumahnya sambil membawa surat perintah. Direktur Biro Pendidikan dan Manajemen Jenderal dari Pemerintah Jepang-Korea telah memerintahkan kehadirannya. Dengan tegas Eun Bi mengatakan bahwa ia takkan pergi jika tak jelas apa yang diperintahkan, namun para polisi itu membawanya paksa. Gadis itu dibawa masuk ke kantor Pemerintahan Jepang-Korea. Seseorang duduk di belakang meja dan sudah menunggunya.

"Kau yang bernama Lee Eun Bi?" Laki-laki itu menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Eun Bi. Namun tak sedikitpun tangan gadis itu bergerak menyambut. Ia hanya menjawab 'ya' dan menatap ke arah lain.

"Kudengar kau belajar di Jepang. Kau lupa cara berbicara bahasa ini?" tanyanya lagi.

"Aku dengar Anda juga dari Joseon." Eun Bi berujar. Tatapannya dingin.

"Oh, rumornya ternyata benar. Kau gadis pemberani. Bagaimana aku menyebutnya? Kau tampak menawan dengan sikap seperti ini. Sejak kapankah hal ini terjadi? Sejak tunanganmu kabur tanpa jejak atau..." Tangan lelaki itu menyentuh pipi Eun Bi. Merasa terusik atas ketidaksopanannya, Eun Bi menepis kasar tangan yang kurang ajar itu, namun ia balas ditampar.

[2019] SOMEDAY (Sequel of Hour Moment) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang