7. Gereja

100 7 0
                                    

"Aarrgghh!!" Rafa mengacak-acak rambut seraya membanting tubuhnya ke kasur.

Keadaan rumahnya begitu menyiksanya sampai ia merasa malas berada di rumah. Dahulunya, Yudha, ayahnya, adalah sosok yang penuh kasih sayang. Ia tak pernah berlaku kasar apalagi membentak. Namun, setelah perusahaannya mengalami kerugian besar, Yudha menjadi sangat pemarah dan egois. Ia tak pernah memikirkan anaknya apalagi hal apa saja yang dilakukan anaknya.

Ponsel Rafa berdering untuk beberapa saat. Nomor tak dikenal muncul di ponselnya. Rafa membukanya secara gamblang. Tanpa tahu siapa yang sebenarnya mengirimkan pesan misterius itu.

Unknown contact:
(5 messages are not yet read)

Rafa mengerutkan keningnya kontras. Ia membuka pesan itu kemudian menggelengkan kepala.

"Tau nomor gue dari mana dia? Senekat itu, Ra?" Rafa membaca serentetan pesan Kara yang membujur dari timur sampai barat.

Rafa meletakkan ponselnya tanpa ingin membalas pesan Kara. Ia memperhatikan ilusi yang terbentuk di awang-awang nya. Kehidupan yang bergelimangan harta tanpa ada sepucuk kebahagian pun disana. Ia bersyukur pernah hadir dalam naungan kedua orang tua nya yang dengan senang hati mengangkatnya sebagai anak. Namun, di satu sisi ia merasa terpojokkan dengan keadaan ini.

"Tuhan, beri aku petunjuk." Ucap Rafa sebelum ia tertidur pulas.

****

Kicauan burung membangunkan Rafa. Sorotan sinar matahari yang menembus kaca menimbulkan efek kehangatan. Rafa bersiap-siap, di hari Minggu ini ia akan berangkat menuju gereja.

Rafa menuruni anak tangga. Ia tampak tergopoh-gopoh karena takut telat. Seseorang tampak memperhatikannya dan memanggilnya.

"Raf! Mau kemana lo?!" Teriak seseorang yang merupakan kembaran Rafa, Raka.

Mereka sama sama diangkat oleh Yudha sebagai anaknya. Rafa dan Raka memiliki perbedaan yang sangat tipis. Mungkin beberapa orang saja yang bisa membedakan antara Rafa maupun Raka. Hanya, terkadang Rafa menganggap perhatian ayahnya lebih diberikan kepada Raka karena Raka merupakan kakaknya. Itu menjadi alasan mengapa Rafa malas berbicara apalagi berinteraksi dengan kakaknya sendiri. Padahal Raka sendiri tak merasa bahwa dirinya selalu yang dilebih-lebihkan.

"Mau ibadah," jawab Rafa singkat.

"Tunggu gue." Sahut Raka.

"Nggak usah, berangkat sendiri aja lo!" Ucap Rafa cepat cepat sebelum meninggalkan Raka yang diam di tempat.

"Sial! Anak nggak tau etika." Raka mengumpat lirih.

****

"Astaga gue lupa," ucap Rafa seraya menepuk jidatnya keras keras. "Mobil gue kan di ambil papa, trus gue naik apa dong?"

"Perlu gue anterin?" Sahut Raka tiba tiba.

"Mending gue naik taksi daripada harus sama lo," jawab Rafa gengsi.

"Daripada ongkos lo habis mending ikut mobil gue aja,"

"Ogah. Gue masih bisa pergi sendiri," balas Rafa seraya meninggalkan teras rumah.

"Dasar keras kepala."

****

Rafa sampai di halaman gereja. Ia berjalan ke arah pintu utama. Tiba tiba tanpa tau datangnya arah, segerombolan pria berpakaian serba hitam menghajarnya dari belakang.

ALTEREGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang