16. Kristi

70 5 0
                                    

"Kenapa Lo nggak mau dengerin apa yang mau gue bilang, Ra?"

"Lo aneh kalau lagi sakit gini,"

"Ayo sembuh. Ayo beli es krim vanilla lagi."

Rafa berbicara entah pada siapa. Kemudian Bi Asih datang membawa kompres.

"Sini Bi, biar Rafa aja yang kompres Kara." Ujar Rafa

"Loh, Den Rafa bukannya sekolah ya?" Tanya Bi Asih sambil meletakkan kompresan di meja sebelah Rafa duduk.

"Nggak jadi, Bi. Rafa disini aja nemenin Kara." Sahut Rafa seraya meraih air kompresan.

"Den Rafa romantis banget. Coba aja kalau suami bibi kayak gini. Bibi doain langgeng sama non Kara ya den."

Rafa tersenyum klise. "A, amin.." ucap Rafa ragu ragu. Sebenarnya darimana Bi Asih tau jika Rafa dan Kara berpacaran.

Beberapa menit kemudian Kara pun sadar. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh di keningnya. Ia pun menyentuhnya dan merasakan ada kain kompresan disana.

"Kara ada di rumah?" Tanya Kara pada diri sendiri.

Rafa yang mendengarkan suara lirih dari Kara, ia pun terbangun. "Ra.. Lo udah sadar?"

"Yang bawa Kara kesini siapa?"

"Udah sekarang Lo jangan banyak tanya. Tidur aja, gue beliin bubur nih. Makan."

"Nggak mau."

"Ra, makan nggak. Ini gue udah capek capek beliin loh,"

"Kara bilang nggak mau ya nggak mau. Kalau Rafa mau makan, makan aja. Susah amat jadi orang."

Rafa memutar bola matanya. Ia tahu Kara mungkin masih kesal dengannya akibat persoalan kemarin.

"Ra, ayo makan. Nanti Lo bisa sakit, keras kepala banget sih."

"Apa peduli Rafa?" Ucap Kara akhirnya.

"Gue peduli sama Lo, Ra." Ujar Rafa pelan.

Entah dari hati atau tidak, kata kata itu tiba tiba keluar dari mulut Rafa. Kara terdiam. Sakit kepala yang ia alami cukup membuatnya lelah sehingga ia tak bisa mencerna kata kata Rafa dengan baik.

"Sekarang ayo makan." Ucap Rafa seraya menyuapkan sesendok bubur pada Kara.

"Enggak," tukas Kara. Mulut Kara masih menutup. Kali ini nafsu makannya menurun.

"Oke, mungkin sekarang Lo bisa benci gue, tapi jangan benci sama diri Lo, Ra. Kalau Lo nggak makan, Lo bisa sakit. Kasihan juga bunda Lo. Dia pasti juga kepikiran kalau Lo sakit. Seenggaknya Lo mikir, jangan egois Ra. Banyak yang peduli sama Lo, bukan hanya bunda, dan temen temen Lo yang peduli. Tapi juga gue." Ucap Rafa bertubi-tubi.

Rafa menaruh mangkuk berisi bubur di meja dan beranjak pergi. Kali ini ia tak bisa mengontrol emosinya. Mungkin ia cukup lelah dan membutuhkan banyak istirahat.

"Rafa!" Teriak Kara yang kemudian menghentikan langkah Rafa.

Rafa membalikkan badan. Tangannya mengepal. Ia tahu emosinya sedang tidak stabil. Nafasnya terdengar memburu.

"Jangan benci Kara." Lanjut Kara dengan nada bergetar.

"Kara tau Kara egois, tapi tolong ngertiin Kara. Kara juga perempuan, Raf. Kara butuh dimengerti, logika Kara udah nggak main. Jadi tolong jangan benci Kara."

Rafa melanjutkan langkahnya kembali tanpa mendengarkan kalimat apa yang Kara akan sampaikan selanjutnya. Dan tak ada dua menit, laki laki itu menghilang dari peredaran.

****

Rafa membanting semua barang barang yang ada di kamarnya. Ia tak dapat berfikir jernih. Fikirannya kosong dan dihantui rasa bersalah dan kekecewaan.

"Kenapa gue jadi gini. Apa perasaan gue.."

"Nggak mungkin lah." Ucap Rafa menyangkal pertanyaan nya sendiri.

"Tapi.."

Tok tok tok..

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan semua fikiran yang mengganggu Rafa. Ia pun membukakan pintu.

"Mana janji kamu mau keluar dari rumah ini?" Tanya seorang perempuan yang hanya terpaut umur sepuluh tahun lebih tua dari Rafa.

"Wah wah, kejutan yang luar biasa di sore hari ini rupanya. Saya kira anda, nyonya Kristi, telah tenggelam bersama harta harta anda,"

"Berani sekali ya kamu, saya tetap menjadi pemilik dari rumah ini. Kamu tahu itu!" Teriak Kristi dengan nada yang meninggi.

"Saya tidak pernah ingin keluar dari rumah ini, karena ini milik papa saya." Ucap Rafa lantang.

"Kamu itu saya dan suami saya yang angkat ya, jadi saya berhak ngeluarin kamu dari rumah ini."

"Ayah saya akan kecewa dan menyesal jika ia tahu bahwa istrinya hanya menginginkan hartanya saja."

"Haha.. Yudha yang polos itu tidak akan pernah tahu, Rafa. Dia sangat mencintaiku, dia juga sangat mempercayaiku dibanding kamu. Jadi menyerahlah saja." Tukas Kristi dengan tertawa.

"Tunggu saja, sebentar lagi kedokmu akan terbongkar nyonya besar Yudha
Pratama,"

"Kamu anak yang kurang didikan ya!" Ucap Kristi seraya melayangkan tangannya ke arah Rafa. Namun Raka yang baru pulang sekolah, seketika menangkisnya dengan kasar.

"Jangan macam macam dengan saudara saya." Tegas Raka dengan nafas memburu.

"Oh, sang pahlawan telah datang rupanya," ucap Kristi dengan raut wajah licik.

"Darimana saja anda selama ini? Membawa harta-harta papa saya? Dan menghamburkannya?" Tanya Raka seperti tahu apa yang dilakukan ibu angkatnya itu di luar negeri.

"Kamu tidak perlu ikut campur dalam urusanku ya, kalian itu hanya butiran pasir di hamparan gurun. Jadi, jangan sok-sok-an jadi penguasa di rumah ini deh." Jawab Kristi tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Walaupun kami bukan anak kandung kalian, tapi kami punya logika, kami punya otak. Kami bisa menentukan yang mana yang salah dan mana yang benar. Jadi anda jangan pernah sekali-kali menyepelekan kami." Ujar Raka yang semakin tak tahan dengan sikap Kristi.

"Cukup!" Teriak Rafa mengentikan perbincangan yang mulai memanas. "Sekarang anda bisa keluar dari rumah ini, sebelum saya memanggil security. Apakah anda sudah mengerti?"

Kristi terlalu gila harta. Sampai sampai ia mengkhianati suaminya sendiri demi semua yang ingin ia wujudkan.

"Dua anak ini sangat lucu. Mana mungkin saya takut dengan kalian. Dasar anak muda tidak tahu diri." Sahut Kristi yang masih berdiri di sebelah pintu Rafa.

Rafa yang emosinya semakin tidak stabil, berusaha untuk menghantam Kristi dengan tangannya. Namun cepat cepat Raka mencegahnya dengan maksud agar tidak terjadi pertikaian selanjutnya diantara ia dan ibu angkatnya.

"Kenapa? Takut? Haha.. kalian tidak bisa menghentikan keinginan saya." Kristi tertawa lantang dan menggema saat ia menuruni anak tangga.

"Udah Raf, udah. Semakin Lo ngeladenin dia semakin dia bakal ngelunjak. Udah biarin aja, sekarang Lo istirahat dulu. Tenangin fikiran Lo." Raka berusaha menenangkan emosi Rafa yang tidak stabil.

"Gue lelah, Kak." Ucap Rafa lirih.


ALTEREGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang