"Rafa? Kamu dimana sih..."
Pak Rendy sudah berada di sebelah Zetta. Teman sekaligus sahabat yang sebangku dengan Kara. Seketika Kara mendadak ingin lari dari keadaan. Tubuhnya mulai bergetar karena frekuensi jantungnya yang berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Badannya panas dingin dan mulai mengeluarkan keringat.
"Ta.. ini gimana tugas gue... Rafa belum balik sampai sekarang.." ucap Kara sambil berbisik lirih.
"Ya kan gue udah bilang jangan dikasihani orang kayak Rafa." Sahut Zetta bosan. Ia sudah memperingatkan Kara berulang kali namun selalu Kara abaikan.
"Tapi tadi dia bener bener butuh, Ta."
"Butuhnya dia kan kalau emang pas kayak gini gini aja. Kalau enggak, mana ada dia mau ngomong sama lo."
Kara diam membeku. Perkataan Zetta memang benar adanya. Tapi bukan Kara namanya jika ia tidak keras kepala. Dia bukan orang yang dengan mudah pantang menyerah.
Tak ada beberapa menit kemudian Pak Rendy beralih ke samping Kara dan menanyakan tentang tugas Kara.
"Tugas kamu mana, Kara?" Tanya Pak Rendy dengan nada biasa namun terdengar nengerikan bagi Kara.
"E.. itu pak.. tugas saya itu..."
"Ha? Gimana? Kalau ngomong yang jelas, Kara."
"Itu pak.. em.. ketinggalan," ucap Kara merasa tak punya jawaban lain.
Sontak hal itu membuat Zetta membelalakkan mata. Sampai sebegitunya Kara membela seorang laki laki yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya seperti Rafa?
"Lo ngomong apaan sih, Ra?"
Kara menginjak kaki Zetta agar ia tak lagi melanjutkan. Zetta mengaduh karena hal itu sebelum kemudian menyinggung Kara dengan siku tangannya.
"Ketinggalan? Itu bukan alasan, Kara."
"Maaf, pak. Saya lupa,"
Seluruh sorot mata melihat keadaan itu. Mereka tak menyangka, jika Kara yang biasanya mereka kenal rajin dan disiplin malah seperti ini.
"Kenapa akhir akhir ini kamu malah seperti ini, Kara?"
Kara hanya diam menunduk. Ia tak ingin menjawab pertanyaan pertanyaan yang semakin memojokkan dirinya.
"Ya udah karena kamu nggak mau kasih penjelasan ke bapak, sekarang kamu hormat ke tiang bendera sampai bel istirahat."
Kara tak ingin ambil pusing dan memilih untuk meninggalkan bangku dan menuju ke lapangan tengah.
"Kara!" Panggil Zetta yang dibaikan oleh Kara.
Zetta tahu Kara tidak salah dalam hal ini. Tapi ia tak akan mungkin membiarkan temannya itu terkena hukuman yang seharusnya tidak ia lakukan.
"Dasar keras kepala," Zetta bergeming.
****
"Arghhh!!" Kara berteriak di sepanjang lorong menuju lapangan tengah.
Langkah Kara terhenti. Ia melihat Rafa yang sedang duduk berdua bersama seorang gadis. Dan itu adalah, Shella.
Seseorang yang Kara kira sudah dilupakan oleh Rafa. Namun, apa arti semua ini. Jika Kara sedang melihat keduanya saling memegang sebuah cone es krim vanilla. Bahkan itu pun kesukaan Kara.
Tak terasa air mata Kara mengalir. Ia tak mampu menahan bulir bulir air mata yang sudah ia tahan bersama rasa perih yang menyesakkan dada.
'Kara aneh! Kara bener bener aneh! Bisa-bisa-nya Kara merjuangin orang yang sama sekali nggak suka sama Kara! Nggak cinta sama Kara' teriak-nya dalam hati.
Kara bergegas meninggalkan tempat yang menyesakkan dada-nya itu. Kemudian cepat-cepat menuju lapangan tengah untuk menjalankan hukumannya sebagai murid yang tak bersalah. Jari jarinya bergetar saat ia mulai menyejajarkannya ke kening dan mendongak ke tiang bendera.
****
Bel istirahat berdering. Seluruh murid berhamburan untuk keluar kelas. Seketika pinggiran halaman tengah yang sepi mendadak ramai karena keberadaan Kara yang tengah berdiri sendiri seraya hormat pada sang bendera.
"Eh eh.. itu si Kara kan yang pacar pura-pura-nya si Rafa itu,"
"Aduhh.. udah di turunin jabatan ketua kelasnya, eh sekarang malah jadi gini.."
"Yaelahh.. biarin ajalah si itu anak cupu berdiri di tengah lapangan. Salah sendiri, siapa suruh ambil Rafa dari hati gue."
"Eh.. Rafa itu milik gue.. he's mine!"
"Udah ya.. udah.. yang namanya Rafa itu milik gue. Nggak ada yang pantes dapetin hati dia selain gue. Tau nggak?"
Banyak dari mereka yang membuat asumsi terlalu berlebih. Kara pun mendengarnya secara jelas. Tangannya mengepal menahan amarah. Namun ia memilih terdiam seraya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sekarang.
"Kara! Lo itu gampang banget pingsan! Udah sekarang ikut gue aja, jelasin semua ke Pak Rendy kalau sebenarnya tugas kamu dibawa sama Rafa!" Ucap Zetta menghampiri Kara dengan setengah berteriak agar mereka-mereka yang membuat opini negatif tentang Kara segera mengetahui alasan dibaliknya.
Zetta mencoba berbicara kepada Kara agar perempuan itu mengerti. Namun, sia-sia. Kara lebih memilih untuk menjalankan hukuman yang tak sepantasnya ia terima.
"Ra! Dengerin gue! Gue ngomong serius sama lo! Lo pikir dengan bantuin Rafa dalam hal ini, bisa buat Rafa suka sama lo, Ra? Enggak!" Teriak Zetta.
"Lo tau? Dia bahkan nggak tau lo ada dimana dan tanya keadaan lo sekarang gimana." Timpal Zetta.
Tanpa sengaja air mata Kara mengalir deras. Membasahi pipi merahnya yang sempat terbakar oleh terik sinar matahari.
"Ra? Lo... kenapa, Ra?"
"Gu.. gue nggak papa," jawab Kara akhirnya.
"Em.. maaf kalau kata kata gue sedikit nyakitin perasaan lo, Ra. Tapi percaya sama gue, itu semua cuman biar buat lo tau aja."
"Iya, Ta. Gue ngerti," balas Kara kemudian menepuk bahu Zetta.
"Udah, Ra. Nyerah aja, jelasin yang sebenarnya ke Pak Rendy. Beliau juga mungkin bisa maklumin."
"Gu.. gue.." terpotong.
Badan Kara melemas sebelum kemudian terhempas dan terjatuh. Ia terbaring kaku dan wajahnya memucat. Zetta menunjukkan reaksi luar biasa. Ia sangat khawatir terhadap Kara.
"Tolongg.... Kara pingsann..." teriak Zetta pada sekumpulan orang yang sebenarnya sudah melihat keadaan itu namun tak langsung menunjukkan reaksi.
"Eh lo semua pada gangguan jiwa ya? Ini temen lo pingsann! Dibantu dong!" Mendadak Zetta berubah menjadi sosok yang ganas.
Para siswa yang tadinya hanya sekedar mengamati saja, langsung cepat cepat membopong Kara ke ruang UKS. Bukannya apa, hanya saja mereka sedikit ngeri melihat Zetta yang berubah menjadi singa betina.
"Kara.. bertahanlah.." Zetta mengharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTEREGO
Romance"Kita adalah berbagai serpihan luka yang tuhan coba tuk satukan. Kamu adalah rasa dan aku adalah rana. Apakah akan fana atau kita memang benar-benar bisa bersama?" Rafa. "Aku tak peduli ilusi. Aku juga tak ingin terlihat seperti halusinasi. Yang kui...