Ini bukan masalah ego.
Hanya saja setiap orang memiliki persepsi masing-masing.
Bisa saja,
Yang menerima akan menolak,
Dan yang menolak akan menerima.
Tak akan ada yang disalahkan pada persoalan kali ini.
Hanya saja, lucu jika kedua belah pihak tak pernah ada yang membuka suara.
Keduanya bungkam,
Seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Hanya saling pandang dan menahan cerita masing-masing.****
Kara
"Jidat lo masih panas, kok mau keluar?" Tanya Rafa yang kini tengah menyentuh dahiku. Tubuhku seperti mendadak kesetrum dan kehabisan energi. Selalu seperti ini. Lemah sekali aku.
Hari ini Rafa mengaku sekolah sedang diliburkan karena alasan adanya akreditasi sekolah. Tapi apa iya di bulan-bulan seperti ini? Entahlah, percaya atau tidak, anehnya Rafa sudah berada di sampingku seraya membawakan sekantong plastik besar kelengkeng, buah kesukaanku.
"Beli dimana ni bola bola kelengkeng?" Tanyaku pada Rafa yang kini ikut mengupas kulit kelengkeng dan kemudian memakannya isinya.
Aku lupa, Rafa memang memiliki kebun kelengkeng di belakang rumahnya. Ia memang suka berkebun, dari tanaman toga sampai jenis buah buahan yang familiar, ia miliki. Namun aku memilih bungkam seolah tidak tahu apa apa.
"Kemaren jatuh dari neptunus." Jawabnya gamblang.
Otakku masih mencerna kata-kata. Kronisnya, akhir-akhir ini aku menjadi sedikit lola dari biasanya. Sepersekian detik setelahnya aku tersadar, dari mana ia suka tata surya? Entahlah, aku masih bingung dengan Rafa yang dengan santainya memakan kelengkeng yang jumlahnya di luar perkiraanku.
"Ntar Kara disisain ya, Raf." Aku berujar sok polos.
Rafa tampak kebingungan. Ia pun menelan ludah. Kemudian melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Wajahnya tampak lucu dan aku suka itu.
"Emang gue bawain kelengkeng ini buat lo? Enggak kali." Sahut Rafa tanpa ada rasa bersalah. Ia pun melanjutkan tata cara bagaimana ia memakan butir demi butir kelengkeng.
Ah, sial! Lagi lagi Rafa membuatku hilang kata, hilang makna. Tak tau kalimat apa yang akan terucap setelahnya. Dasar Rafa omnivora!
Rafa masih sibuk dengan para kelengkeng yang dibukanya sampai tangannya berair sampai membasahi lantai kamarku. Ia hanya terus memakannya sampai suatu ketika aku bangun dari tidurku dan bergegas untuk mengambil ember dan pel.
"Eh mau kemana?" Sergah Rafa.
Ia menarik lenganku yang ingin bangkit dari tempat tidur. Jujur, kepalaku masih pening, efek obat mampu membuatku tertidur pulas tadinya.
"Ambil pel sama ember." Tukasku.
"Gila ya lo, udah duduk. Orang masih sakit juga, sok sok an nge-pel." Ucapnya sambil menampilkan raut wajah yang ingin ku gampar.
Dengan wajah yang lebih sok-sok-an dariku Rafa turun dari lantai dua ke lantai satu untuk mengambil ember dan pel. Namun entah aku harusnya tertawa dulu atau menolongnya dulu, ia terpeleset di ruang tamu saat berusaha mengangkat ember yang dipenuhi air dan pembersih lantai.
"Rafaa!" Teriakku yang awalnya mendengar suara gedubrakan di lantai bawah.
"Yahh.. tumpah,"
Aku yang hanya tertawa cekikikan membuat Rafa menatapku tajam. Celana dan baju yang ia pakai menjadi basah kuyup. Rambutnya menjadi lusuh. Dengan berjalan tertatih aku pun turun dan menghampiri nya yang kini tengah duduk terkapar.
"Ngapain ketawa ketiwi! Nggak jelas tau,"
"Ya terserah Kara dong, makanya jangan sok sok an jadi orang. Dapet karma juga kan?"
"Yaudah sekarang Rafa pulang aja biar ini nanti aku yang beresin semuanya,"
"Nggak nggak nggak. Gue yang numpahin ya gue yang beresin."
"Terserah Rafa aja sih." Tukasku. "Tapi ganti dulu, Raf."
"Gue nggak bawa ganti."
"Bentar kayaknya dulu bunda pernah nyimpen bajunya ayah dimana ya?"
Sepertinya Rafa kebingungan mengapa aku menyebutkan kata "pernah" di sela sela pembicaraannya. Aku tahu aku salah mengucapkannya barusan.
"Di lemari." Ucap Rafa asal-asalan.
Aku tertawa ringan. Makhluk darimana Rafa ini, bukannya memang baju ditempatkan di lemari? Asli, aneh.
"Kayaknya lo makin sehat walafiat habis liat gue jatuh ditimpa ember sama air," sela nya dalam tertawa ku kali ini.
"Syukur, Alhamdulillah." Jawabku cepat.
"Amin.." singkatnya membuat ku kembali tertawa.
"Ngapain di aminin?"
"Biar lo makin sehat." Tukasnya pelan.
Aku tersenyum. Tolerasi keagamaan yang dimiliki Rafa ini sangat baik. Dan yang lebih aku suka lagi, dia mendoakan kesembuhanku? Walau kadang ia keras kepala dan pola pemikirannya gamblang, tapi aku tahu dia orang yang baik. Hatinya juga lembut. Cueknya, dinginnya, itu cuma faktor eksternal nya dia. Aku suka caranya tertawa, leluconnya yang kadang basi dan receh. Tapi bisa membuatku tertawa di detik kemudian. Aku selalu suka dia yang seperti ini. Rafa, tetap seperti ini ya? Yang aku selalu suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTEREGO
Romance"Kita adalah berbagai serpihan luka yang tuhan coba tuk satukan. Kamu adalah rasa dan aku adalah rana. Apakah akan fana atau kita memang benar-benar bisa bersama?" Rafa. "Aku tak peduli ilusi. Aku juga tak ingin terlihat seperti halusinasi. Yang kui...