Chapter 2

903 207 36
                                    

"Jadi cowok jangan ribet-ribet. Kalau sudah ngerasa klop sama satu cewek, ya langsung embat aja."

Setiap kali akan melakukan suatu hal, petuah tidak berguna yang dilontarkan Remy tampaknya membawa pengaruh besar bagi Ravi. Remy kakak sulungnya yang cantik jelita, perempuan beranak dua itu masih tidak juga mendapati hidayah agar segera berhenti merecoki hidup Ravi. "Nak Ravi sudah lama menunggu?"

"Nggak kok Tante, baru juga sampai."

Baru juga sampai setengah jam lalu, batin Ravi menyuarakan. Sebenarnya dia heran sendiri kenapa orang-orang di rumah Yuki tidak kunjung membuka pintu meski bel telah Ravi tekan berkali-kali, ia bahkan berniat akan pergi. Tapi mengingat wajah bengis Ibunya ketika menyuruh melakukan pendekatan dengan Yuki, nyali Ravi mendadak menciut. Tampang boleh gagah, anggota kepolisian pula, tapi dia lemah pada si Ibu. Tidak hanya itu saja, untuk menemukan rumah keluarga Yuki pun perlu kesabaran ekstra. Ayahnya mengatakan cat rumah mereka berwarna biru pastel. Serius, Ravi sama sekali tidak mengerti seperti apa warna pastel itu.

"Kok berdiri saja? Ayo masuk gih."

Dari tadi kek.

Ravi lantas mengangguk mengikuti Ibu Adel, Ibunya Yuki. Orangnya cantik meski sudah berumur. "Kamu duduk dulu di sofa, Yuki lagi siap-siap di kamarnya. Tunggu ya sebentar?"

Sebentar?

Yang Ravi tahu selama ini menurut pengamatan pada kedua kakaknya Remy dan Rose. Ketika cewek bilang sebentar, Ravi bisa menghabiskan waktu untuk bermain pubg, tidur, jajan, jalan-jalan, keliling mall, keliling negara bahkan keliling dunia.

Nasib cowok gini banget.

Baru-baru ini, Ravi mulai memikirkan bagaimana kehidupannya nanti setelah menjadi seorang suami. Dia yang biasanya sendirian ke mana-mana, nantinya ada yang menemani. Masalah cinta sih gampang, lama-lama pasti tumbuh seiring berjalannya waktu. Sekarang pendekatan dulu.

Diam-diam Ravi tersenyum lebar sembari membayangkan wajah gantengnya di pelaminan.

"Nak Ravi kenapa kok senyum-senyum?" Mampus! Kepergok calon mertua. "Mikirin apa hayo?"

Tidak tahu kapan datangnya, tahu-tahu Ibu Adel ada di depannya sembari membawa secangkir teh hangat. Ravi yang menyadari hal itu hanya bisa menggaruk tengkuk, bingung juga menjawab.

"Yuki masih belum juga turun?"

"Belum Tan."

"Dasar anak itu." Suaranya mendadak naik satu oktaf. "Yuki!"

Terang saja ketika suara Bu Adel menguasai seluruh ruangan, anak perempuannya yang manis langsung keluar dari kamar. Tapi deh, seriusan nih tampilannya seperti itu?

Ravi sebenarnya tidak mau bersikap lancang, hanya saja matanya menolak kuat-kuat agar melihat ke arah lain. Riyuki Sakura, si cewek blasteran Jepang itu tampil dengan pakaian anak muda masa kini plus tas punggung dan kacamata.

Ravi tidak akan dikira Om-om kan nanti?

Masa bodoh ucapan orang-orang, memang pada dasarnya Ravi kan jauh lebih tua dari Yuki. Jika memang mereka berjodoh, dia berjanji akan mengayomi cewek itu semampu dan sebisanya.

"Kamu lama banget deh Ki? Sudah ditungguin nih."

"Iya Ma, maaf." Pandangannya kini bergulir pada Ravi, kelihatan banget canggungnya. "Mmh, M-mas Ravi sudah lama?"

Bohong lagi, Ravi hanya bisa tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Kamu nggak ada jam kuliah kan?"

"Nggak ada mas." Lagi mujurnya.

Gas Rav, jangan kasih kendor!

***

Siapa bilang Ravi orangnya membosankan?

Yuki sudah membuktikan selama dua jam ini ketika mereka menghabiskan waktu bersama, merubah suasana canggung di antara mereka. Ravi Miraldi sangat cakap dan pengetahuannya luas. Selain itu, dia juga kelihatan dewasa mengimbangi usianya. Hal ini sangat berbeda dari kebanyakan teman-teman di kampus.

"Sebelumnya kamu sudah pernah pacaran belum?"

Kok tanya-tanya itu?

Ya pernah lah. Hari gini tidak pacaran, semua orang pasti tidak akan percaya jika Yuki mengatakan demikian. Mantan pertamanya saat kelas satu SMP, kakak angkatan sekaligus anggota OSIS yang kepincut senyum manis Yuki.

Tidak jelas kabarnya dia sekarang, Yuki bahkan sudah lupa bagaimana wajah laki-laki itu. Berlanjut mantan ke dua, cowok blasteran Manado-California. Namanya Stefan, mereka bertemu di tahun ajaran baru SMA. Berbeda dari mantan pertamanya, Stefan ini anaknya sedikit badung. Dia juga lah yang mengambil first kiss Yuki, sudah begitu sering mengajak keluar berdua sampai orang-orang rumah marah besar. Intinya, mantan yang ke dua ini rupanya membawa pengaruh negatif. Yuki tidak mau mengelak jika berhubungan dengan Stefan begitu menyenangkan, dia apa adanya dan tulus. Mereka banyak memiliki kenangan indah selama dua tahun, meski akhirnya harus kandas karena restu orangtua.

Kasihan.

"Mantannya berapa?"

Malah ngebahas mantan. "Aku harus jawab ya Mas? Hehe."

"Nggak dijawab juga nggak apa-apa kok." Sejujurnya Ravi hanya spontan bertanya tadi. "Kalau aku pribadi, sekalipun belum pernah pacaran."

Jones, eh?

"Bohong nih, masa nggak pernah?"

Malu-maluin banget deh Rav! Batin Ravi menyuarakan.

"Pacaran sebenarnya nggak perlu, yang perlu tuh ikatan pasti seperti pernikahan." Tipikal cowok pemberi kode. Yuki hanya bisa meringis sembari melihat Ravi yang mulai kembali menjalankan mobilnya setelah melihat lampu berubah menjadi hijau. "Oh ya, aku kemarin lihat kamu sama anak-anak cowok. Mereka temanmu?"

Sempat berpikir yang tidak-tidak, Ravi mengira jika Yuki sepertinya tidak sebaik yang terlihat. Buktinya, dia malah main dengan anak laki-laki. Tapi Ibunya mengingatkan mengenai jurusan Yuki, fakultas teknik jelas dominan mahasiswa laki-laki. "Ohh, Hunus sama Narda."

Dua sohibnya dikala senang maupun susah.

"Memang Mas Ravi ngelihatnya di mana? Kita lagi nyari tempat buat ngerjain tugas kemarin."

"Aku di kafe Maple." Sudah jelas apa yang dikatakan Hunus bukan isapan jempol belaka. Kafe Maple lebih banyak didatangi orang-orang dewasa ketimbang para mahasiswa si pencari wifi gratisan. "Yuki banyak teman cowoknya ya?"

Ravi mengucapkan kalimat barusan disertai tawa, tapi bagaimanapun juga Yuki merasa ada yang aneh dengan calonnya itu.

"Lain kali kenalin ke aku juga." Tuh kan.

Yuki yang feminim mau tidak mau harus berbaur dengan anak-anak cowok, jika pun ada cewek pun jumlah mereka sangat sedikit. "Nanti pasti aku kenalin."

Memperkenalkan Ravi ke mereka? Untuk yang ini Yuki bergidik ngeri membayangkan reaksi heboh Narda.

Sudah lebih dari dua puluh menit menyusuri jalanan, mobil Toyota milik Ravi akhirnya berhenti di depan rumah Yuki. "Sudah sampai nih."

"Mas Ravi nggak mau mampir dulu?"

"Nggak, aku titip salam saja buat Ibu kamu."

"Oke deh." Sifat malu-malu dan pendiamnya semakin meluntur.

Ravi melirik wajah cantik Yuki dari sisi kanan. "Yuki."

"Ya?"

"Makasih."

"Sama-sama." Loh kok?

Sebodoh deh dengan reaksi Ravi, Yuki keceplosan menjawab tanpa tahu maksud dari ucapan terima kasih cowok itu.

Sebuah awalan yang baik, semoga saja mereka ditakdirkan bersama.











To be continue...

Garing ya? Ya sudah deh 😂

06 Mei 2019

Become OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang