Chapter 4

744 196 52
                                    

"Elo lagi! Elo lagi!" Belum rentang satu minggu, Yosio kembali mendapati wajah judes Ravi yang baru saja datang ke Kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Elo lagi! Elo lagi!" Belum rentang satu minggu, Yosio kembali mendapati wajah judes Ravi yang baru saja datang ke Kafe. Bedanya, kali ini dia tidak mengenakan seragam kepolisian. "Tumben nggak pakai seragam, lo nggak nugas?"

"Lo kalau goblok jangan dipelihara deh Yos. Ini hari minggu, gue free."

Bukan salah Yosio. "Nggak usah banyak cingcong, lo bilang deh sekarang lo ada perlu apa ke sini?"

"Persilahkan duduk atau apa dulu gitu kek?"

Ravi judes? Memang.

Mulai dari pertama kali Yosio kenal, cowok itu secara alamiah selalu menunjukkan aura galak. Kalau kata Rose, tatapan tajam Ravi rasa-rasanya seperti Ibu tiri. "Silahkan duduk, Pak Polisi."

Begitu kan enak, Ravi tidak perlu mengerutkan alisnya tidak suka selagi Yosio bersikap baik. "Lo sibuk nggak nih?"

"Lah lo lihat sendiri gue sekarang lagi apa?"

Tidak ada yang dilakukan juragan Yosio selain bengong sembari sesekali melihat kinerja para bawahannya. Cowok china satu itu sok-sokan selalu sibuk setiap kali Ravi datang dan menyita sedikit waktunya. "Ayo deh kasih gue masukan, lagi bingung nih."

"Lo bilang omongan gue nggak berguna?"

"Kapan?"

"Ya elo ngebatin." Sudah waktunya bagi Yosio untuk mengajukan diri sebagai dukun di masa depan. "Lo jadi nih dijodohin sama cewek pilihan orangtua lo?"

"Nah, itu dia masalahnya." Pembicaraan mereka sepertinya akan menarik, Yosio mencoba mendengarkan dengan seksama. "Tiga hari lagi gue tunangan."

"Oh, bagus." Selangkah lebih maju, ketimbang Yosio sendiri yang tidak juga mengajak kekasihnya menikah.

"Kok bagus?"

"Ya bagus, ketimbang lo nganggur."

Jones dari lahir, kasihan.

"Orangtua mana pun pasti selalu milih yang terbaik buat anaknya, termasuk soal jodoh. Gue yakin tuh bokap sama nyokap lo sudah memikirkan dengan matang mulai dari bibit bobot bebet nya dia. " Lagaknya seperti Ibu-ibu. "Lo bilang kemarin dia cantik kan?"

"Hn."

"Kalau bodynya?" Yahut dong, persis gitar spanyol.

Usia Yuki memang masih terbilang belum sepenuhnya dewasa, tapi lekuk cewek itu begitu menarik. Tidak munafik, point ketiga yang Ravi lihat dari Yuki adalah tubuhnya setelah wajah manis dan sifat malu-malunya. Melupakan tentang etika atau pun sopan santun, Ravi perpikir jika Riyuki Sakura seperti bunga yang tengah mekar. Rasanya tidak sabar membayangkan jika mereka nantinya akan berbagi kebahagiaan bersama, saling memeluk, mencium, meraba, melakukan hal gila, melakukan perbuatan-perbuatan nakal di luar kendali diri. Betapa semua itu sungguh menggugah, menggoda pikiran-pikiran liar Ravi. Sial! Dia mana mungkin ereksi hanya karena membayangkan paras ayu dan tubuh Yuki.

"Lo kayaknya perlu kamar mandi deh Rav."

Tidak jelas. "Buat apa?"

"Buat coli."

Doeng!

Mereka ini tidak hanya berdua loh, banyak pengunjung Kafe juga para pegawai yang hilir mudik mengantar pesanan. Yosio yang tidak tahu diri benar-benar membuat wajah Ravi merah padam. "Lo belum nonton berita hari ini kan Yos?"

"Kenapa?"

"Ada kasus pembunuhan, teman nusuk temannya sendiri pake sapu lidi karena terlalu banyak ngebacot!" Sudah tahu jika mengobrol dengan Yosio sama saja seperti judul lagu milik Maudy Ayunda, Ravi masih saja tetap melakukan hal sama. "Sekarang kasih tahu gue, gimana caranya supaya nggak gugup saat acara tukar cincin nanti?"

Ini yang Yosio tunggu sejak tadi. "Pertanyaan jones dari lahir memang awesome."

***

Tersisa tiga hari, Ibunya tidak berhenti mengingatkan kepada Yuki jika pertunangannya dengan Ravi akan segera dilangsungkan. Sudah begitu, sepulang kuliah hari ini ia terpaksa datang ke butik untuk mengambil pesanan. Bu Adel sudah berpesan jika dress abu-abu selutut itu nantinya akan dikenakan Yuki, sangat feminim dan menawan. Namun tetap saja, Yuki merasa jika semua ini terkesan terburu-buru. Mereka bahkan belum mengenal satu sama lain lebih dalam lagi, ada dinding kacanggungan yang tercipta. Bukan berarti Yuki menolak, akan tetapi cewek sepertinya juga butuh waktu untuk menilai baik buruknya seorang Ravi.

"Jadi berapa Mbak?"

"Ini sudah dibayar semua sama Ibunya kok, Mbaknya tinggal ambil saja."

Aduh, kenapa juga tadi Yuki menyuruh Mahiro meninggalkannya? Dia kan tadi minta tebeng, cowok itu sekarang pasti tengah nongki-nongki santai di warung kopi. Tampaknya hari ini menjadi suatu kesialan bagi Yuki lantaran ponselnya kehabisan baterai. Akhirnya, mau tidak mau dia harus menunggu di depan butik sampai Mahiro datang menjemput. Ini benar-benar buruk, mendung pekat di atas sana juga terlihat sudah bersiap menerjang. Yuki menghembuskan napas berkali-kali sembari memeluk kantung belanjaan, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran gilanya tentang tabiat Mahiro yang pelupa tingkat dewa. Sedetik lalu dia menyelipkan bullpoint di telinga, sedetik kemudian dia akan mencarinya hingga ke kolong-kolong.

"Mahiro lama banget sih?"

Persis di waktu itu, hujan deras mengguyur bumi dan seisinya. Beberapa pengguna jalan yang lewat mulai mencari tempat berteduh, tidak terkecuali di bawah kanopi yang dijadikan Yuki sebagai perlindungan sementara sekarang. Benar-benar deh Mahiro itu, apa dia sudah lupa telah meninggalkan cewek cantik seperti ini di butik? Yuki mengerucutkan bibir sebal, tidak menyadari kelakuannya itu ternyata telah diperhatikan cowok berambut pirang sejak tadi. Ini sih tidak bisa dimaafkan, Yuki berjanji pada dirinya sendiri akan menceramahi Mahiro karena ketololannya yang berimbas fatal.

"Ki, kok sendirian saja? Nunggu siapa?" Nungguin kamu! Biasanya Yuki membalas dengan nada bercanda. Namun melihat siapa cowok yang baru menyapanya barusan, Yuki tidak berani bersuara dan memilih tersenyum singkat. "Kok malah senyum, aku tanya kamu nunggu siapa nih?"

"Nunggu jemputan."

"Bukan nunggu cowokmu kan?"

Terakhir bertemu Stefan sekitar tiga bulan yang lalu, tentunya Yuki tidak bisa begitu saja melupakan kenangan-kenangan tentang mereka. Mantannya satu itu bahkan terang-terangan mengajak kembali berhubungan. Tapi mengingat hubungan terindah di dunia ini hanyalah berasal dari restu orangtua, Yuki dengan berlapang dada melakukan penolakan halus. "Aku sama Mahiro, dia yang nganter jemput aku ke sini."

Stefan banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir, bahkan desas-desusnya dia tidak lagi merokok. "Hujan masih lebat, Mahiro nggak mungkin ngejemput kamu dalam cuaca ekstrim begini."

"Iya, aku tahu kok." Kesannya memang canggung, Yuki sudah memberi batas bagaimana seharusnya ia bersikap.

Stefan merasakan hal sama. "Kamu bawa apa Ki?"

"Hn?"

"Di kantung plastik yang kamu pegang."

"Ini dress."

"Buat party ya?"

"Buat acara pertunangan aku."

Sebagai tamparan telak, mereka terus mengingat hubungan satu sama lain yang berakhir lantaran tidak ada restu. Sepersekian detik Stefan terpaku, antara yakin dan tidak dengan pendengarannya. Sedangkan Yuki menggigit bibir pelan menunggu reaksi cowok itu.

"Oh."

Serius?

Tukang siomay depan kompleks juga bisa bilang oh doang, masa Mas mantan biasa saja pas tahu dia mau tunangan?

Yuki jadi heran.

















To be continue...

11 Mei 2019

Become OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang