Epilog

670 150 62
                                    

Drama ibu hamil begini amat ya?

Ravi memijat dahi jengah melihat teman-teman Yuki berkumpul di rumah yang mereka tinggali sejak setahun terakhir, ditambah lagi keberadaan Yosio yang tiba-tiba muncul di pintu sembari membawa pizza size jumbo di tangan. Hal ini di latar belakangi mood Yuki sejak minggu lalu, pengen ini itu. Katanya, dia sedang ingin nongkrong di kafe sambil ngopi-ngopi santai. Lah iya kalau tubuhnya dalam kondisi normal, Ravi selow. Tapi ini, dengan perut bulet begitu masa iya mau keluar seenaknya? Ravi bisa-bisa ditempiling Ayah Gandi jika membiarkan Yuki main keluar.

"Kebetulan banget Ko Yos bawa beginian." Narda mengomentari dengan mulut penuh potongan pizza. "Mantap."

"Pala kaulah mantap."

Berkat inisiatif cowok imut itu, Yuki setuju tidak jadi keluar dan memilih untuk berkumpul di rumah seperti ini. Ramainya hampir menyamai pasar, tapi Ravi tetap legowo dan sabar. Sebagai yang tertua di sini, atau bisa dibilang tetua. Ravi dan Yosio hanya bisa duduk di sofa sambil mengobrol santai, sementara itu Yuki sibuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Minus Mahiro, cowok itu tidak ikut lantaran sedang ada acara keluarga.

"Anak lo jenis kelaminnya apa Rav?"

"Nggak tahu gue, Yuki nggak mau usg tuh."

Yosio mengangkat alisnya. "Lah ngapa?"

"Katanya biar jadi kejutan." Maunya Nyonya muda kan begitu, Ravi mengiyakan saja dari pada ribut. "Lo sama si Vea gimana? Kasihan Yos, itu anak orang nggak juga elo kasih kepastian. Buruan gih kawinin."

"Enak banget bilang kawin, lo pikir cewek gue kucing?" Ravi merasa telah salah bicara. "Namanya menikah tuh menyatukan dua keluarga, nggak bisa asal-asalan. Contoh simpelnya saja deh, kayak elo sama Yuki."

Berteman dengan Yosio itu ada enaknya, ada tidak enaknya. Tapi banyakan tidak enaknya sih. Berpaling dari teman cowoknya itu, pandangan Ravi kini tertuju pada Yuki. Kalau diingat-ingat, ternyata kisah cintanya tidak cukup buruk. Ravi tersenyum tipis, bersyukur telah diberikan cinta, ia lalu jatuh pada itu. Menjadikannya sebagai impian besar, menyukainya, menyayanginya dengan sepenuh hati. Dan sekarang yang Ravi tahu betul, Tuhan memang maha romantis. Pada awalnya, Ravi tidak mengenal Yuki, tidak pula pernah menjadikannya sebagai daftar rencana kehidupannya di masa depan. Siapa sangka mereka akan seperti sekarang?

Yuki diam-diam melirik suaminya, ia tahu dan sadar telah diperhatikan sejak tadi. Ikatan batin itu sedikit banyak mulai terbentuk, bahkan hanya sekedar lewat tatapan mata. Sementara ia sibuk dengan teman-temannya, Ravi selalu curi-curi pandang. Keributan kecil di rumah mereka baru selesai menjelang sore, Yosio yang paling akhir pergi. Dia membunyikan klakson mobilnya saat akan keluar pagar. Pada saat yang bersamaan, Ravi menoel pinggang sebelah kirinya main-main.

Yuki lantas menatapnya. "Apa?"

"Sudah senang sekarang?" Tepat sekali, Ravi selalu tahu isi kepala Yuki. "Ayo masuk."

"Gendong."

Seriusan weh? Bobot tubuh Yuki bertambah pesat semenjak kehamilan, dia tentu saja tidak seenteng dulu. Tapi namanya cinta, tai kucing pun berubah jadi cokelat. Ravi akhirnya mau-mau saja menggendong istrinya ke ruang tengah, beratnya bukan main. Ravi mengeluh setelah itu. Dia duduk di sofa dengan posisi Yuki di pangkuannya.

"Kamu berat banget sih, Ndut?" Mulai deh, kebiasaan. "Tanganku berasa mau patah."

Yuki tidak tersinggung, memang kenyataan begitu kok. Apalagi ia sering iseng meminta gendong, tahu ujung-ujungnya Ravi akan memanggilnya Ndut. Dengan perut sebesar itu, pipi chubby serta lemak di mana-mana. Yuki cukup sadar diri dan tidak marah disebut demikian, malah menurutnya lucu.

"Kayaknya dedek bayinya cowok deh Mas."

"Yakin banget?"

"Yakinlah, ini tuh naluri seorang Ibu."

"Cenayang kali, bukan naluri."

Semakin lama, humor Ravi kian terlihat. Yosio pernah mengatakan jika suaminya itu sebenarnya suka misuh-misuh sambil melototi orang, alhasil dia dikatai judes. "Mas, cium."

Enaknya punya rumah sendiri itu ya begini, bisa berbuat sesuka hati tanpa takut dilihat siapa pun terutama Rose kakak ceweknya. Dengan ini, Ravi langsung memberikan kecupan mesra disertai permainan lidah. Sejujurnya, dalam hal berciuman Yuki yang paling menguasai. Ravi selalu mengikuti jalan permainannya, coba mengimbangi. Karena setelah itu, dirinyalah yang di atas. Paling mendominasi. Ini normal, hubungan suami istri yang disertai cinta menggebu-gebu. Sesaat, Ravi tersadar dan segera melepaskan ciumannya ketika Yuki mulai kehabisan napas. Posisi mereka masih sama, Yuki tetap berada di pangkuannya dengan kedua tangan memeluk erat leher Ravi.

"Mau pindah nggak?"

"Nggak, males." Masih sore Rav! Ewe mulu. "Aku lagi pengen begini sama kamu."

Yuki mendekatkan kepalanya ke sekitar leher Ravi. "Dipeluk kamu enak deh Ndut."

"Ndat Ndut mulu."

"Ya kan kamu Ndut." Ravi nih, ngelunjak.

"Nanti kalau dedek bayinya beneran cowok, kamu mau kasih dia nama apa Mas?" Kalau ini Ravi belum kepikiran. "Aku mau dia ada nama Jepangnya gitu."

Niat bertanya pada Ravi tidak sih?

"Apa pun itu, yang penting artinya bagus." Nama ibaratnya seperti doa. Harapan. Apa pun jenis kelaminnya kelak, Ravi berharap anaknya menjadi pribadi yang dapat membanggakan. Yuki setuju dengan pendapat Ravi, terlihat dari anggukannya. "Kamu nggak mau turun Ndut?"

"Nggak mau." Penderitaan.

Sekonyong-konyongnya, Ravi paling ogah menghadapi Yuki dalam mode ngambek. Itu pernah terjadi dua kali, dan dia kelimpungan sendiri. "Kamu lapar nggak?"

"Mas mau bikin aku makin kayak gajah bengkak? Baru juga tadi abis makan banyak sama teman-temanku." Wah iya, Ravi lupa.

"Kalau gitu ayo deh mandi."

"Ayo, tapi gendong." Haduhhh.

Ravi menghela napas sembari membawa Yuki kembali dalam gendongannya. Sudah menjadi kewajibannya, mumpung libur bertugas pula. Kata Ibunya, harus sabar mengurus perempuan hamil. Ravi banyak melihat sikap istrinya yang lebih sensitif dari sebelum hamil, dia jadi cerewet dan banyak mau. Waktu itu dia bahkan pernah menginginkan hal aneh-aneh. Tengah malam masa minta dengarin suara Stefan? Kan Ravi sedikit jengkel. Entah itu memang keinginan bayi mereka, atau mungkin akal-akalan Yuki. Ravi berusaha mengalah dan mengiyakan.

"Sayang banget sama Papa Ravi."

"Sudah ganti jadi Papa nih manggilnya?"

"Aku nyontohin ke dedek bayi doang."

Ravi terkekeh sambil curi-curi ciuman. Hal itu membuat Yuki kegelian. Mereka tertawa bersama saat menaiki tangga, lalu hilang di balik pintu kamar. Benar-benar deh Yuki ini, paling bisa membuat Ravi jatuh cinta.

Dia, adalah wujud nyata dari mimpinya.

Yuki seperti itu.

Seperti mata air di tengah gurun gersang. Menuntaskan dahaga.

Ravi juga seperti itu.

Seperti dermaga terakhirnya. Bahkan ketika ia sempat berlayar ke benua lain.




















The End.

20 Agustus 2020

Become OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang