'Yuki cantikkk, gimana kabarnya?'
'Yuki sehat?'
'Woee Ijahh! Mahiro kangen bini orang nih.'
'Ki, lo jangan ngehindar deh. Kita sama-sama cewek, seenggaknya balas line gue. Gue cuma pengen tahu saja, lo sebenarnya sudah mutual pleasure nggak sih sama Mas Ravi?'
Dan, masih banyak sekali pesan-pesan gabut dari teman satu genknya selama satu minggu ini. Yuki kangen, tapi masih ragu untuk bertemu. Kebayang dong dia, mulut berbahaya dari Narda pasti tidak akan luput masuk ke telinganya nanti. Lagipula, baru juga Yuki melakukan ehem dua kali. Itu pun hingga sekarang baik ia dan Ravi masih malu-malu. Setiap kali mengingat, wajah Yuki langsung berubah menjadi kepiting rebus. Percaya tidak sih? Kulit Ravi ternyata jauh lebih mulus darinya, lebih putih seperti kapas. Yuki langsung insecure waktu itu, percuma saja doi melakukan perawatan.
'Ki, gue punya resep ayam negro. Lo mau nggak? Kali aja bojo lo minta bikinin.'
Ini lagi, manusia satu.
Yuki tanpa sadar memijat dahinya tidak tahan. Punya teman gini amat, berasa tidak ada yang normal. Paling tidak ada satulah, maybe. Hunus contohnya.
'Yuki, Hunus mau ngucapin selamat lagi yaa. Semoga langgeng sama suaminya sampai tua. Terus jangan lupa juga pakai yang dikasih temen-temen pas nikahan lo, biar tambah mantap asik-asik josss.'
Sama saja anyingggg!
Sudah, Yuki angkat tangan. Tidak mau coba-coba membuka line lagi yang isinya hanya membuat kepalanya pening. Jika saja orang-orang macam mereka di tes otak, mungkin hasilnya akan seperti: cenderung tidak punya otak. So deep, kasihan sekali mereka.
"Kenapa mukanya cemberut gitu?"
Yuki hampir terkejut. Ravi tiba-tiba muncul dari pintu dengan masih mengenakan seragam polisi. Lantas, Yuki segera menyimpan ponselnya ke dalam saku untuk menyambut kepulangan Ravi. "Suara motornya kok nggak kedengaran Mas?"
"Mas nggak bawa motor, tadi barengan sama teman Mas yang bawa mobil dinas."
Pantas saja. Yuki mulai hafal suara motor besar Ravi, baik ketika dia berangkat pagi maupun pulang pada sore harinya. Sejak tadi, Yuki memang sengaja menunggu Ravi di ruang tamu. Habisnya ia bosan, berhari-hari di rumah dengan Ibu mertua yang sangat memanjakannya. Kalau seperti ini terus, Yuki jadi tidak enak. Paling tidak kedepannya ia harus mencari kesibukan lain, dan yang paling penting bermanfaat. Ibunya sendiri sudah memberi beberapa wejangan bagaimana cara menjadi menantu yang baik, tapi Yuki masih kebingungan memulainya.
"Mama lagi di kebun belakang?"
"Iya, aku mau bantuin tapi nggak boleh."
Ravi hanya tersenyum menanggapinya, mengacak rambut Yuki main-main lalu mengajaknya ke kamar. Eitt, tapi bukan untuk ngadi-ngadi. Kali ini Ravi hanya meminta Yuki menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Kan ceritanya Ravi baru pulang, capek dan butuh perhatian.
"Kamu belum jawab pertanyaanku loh Dek."
"Apa Mas?" Yuki masih loading.
"Mukamu kenapa kok cemberut?"
Atas inisiatif sendiri, Yuki membantu Ravi membuka satu persatu kancing seragamnya begitu mereka telah berada di dalam kamar. "Biasa, teman-temanku pada nyebelin."
Lagi-lagi, Ravi terus menanggapi dengan senyuman tipis. Ya mau bagaimana, doi sebenarnya tipe pendiam, lebih suka bicara seperlunya saja. Ravi memperhatikan Yuki yang tengah menggantung seragamnya dengan hanger, dan matanya tentu tidak luput pada jemari manis Yuki yang dihiasi cincin pernikahan mereka. Ravi juga punya satu, tapi ukurannya lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become One
RomanceRavi Miraldi punya tampang ganteng, manly abis, tapi kurang beruntung dalam urusan percintaan. Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, menjomblo sudah seperti sebuah kutukan, kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatainya perjaka lapuk. Lant...