"Gitu doang ngambek!" Biang masalah, tidak tahu diri. Ravi benar-benar jengkel setengah mati dengan Rose yang telah mengirim pesan aneh-aneh pada Yuki menggunakan nomor ponselnya. "Ini sudah mau seminggu dan elo masih saja irit bicara ke gue?"
Ya salah sendiri.
"Tunggu saja, nanti pas lo nikah kurang-kurangin tuh sifat ngambekan."
Bodo amat, bacot!
Ravi tetap kalem berdiri di depan kaca dengan setelan jas hitam tanpa repot-repot membalas ucapan Rose. Seperti kata Ayah Gandi, di tanggal dua puluh tujuh ini ia cuti bekerja untuk melakukan fitting baju pengantin. Yuki juga ada, tapi dia masih berada di ruang ganti. Sedari pukul sembilan, Rose terus meributkan agar ia segera menjemput Yuki dan datang ke butik milik Putri, temannya Rose. Kakak perempuannya itu sudah pergi ke sana sejak setengah jam yang lalu. Jika dipikir-pikir ulang, Rose yang paling berantusias dibandingkan ia maupun Yuki. Tuh, mending Rose saja yang menikah. Usianya kan sudah tua dan semestinya telah berkeluarga.
"Ngaca terus, sok ganteng."
"Kak gue tanya, mulut lo tuh sebenarnya pakai sinyal 4G apa nyambung wifi? Kok kalau ngehujat lancar amat?"
"Pffft." Ketahuan kan sering beradu mulut, Putri yang datang ke ruangan itu bersama dengan Yuki seketika menahan tawa.
Eh, Yuki?
Ya ampun cantik banget, Ravi langsung ketar-ketir menyadari kedatangan calonnya dengan gaun pengantin berwarna putih. Rose juga berpikiran serupa, tubuh Yuki yang langsung kelihatan terbentuk dengan gaun itu. Seksi sekali, terutama di bagian dada. Duh, tiba-tiba Ravi terpikir kalimat kotor yang biasa diucapkan Yosio.
"Kamu cantik banget Ki." Sesederhana itu Rose mengatakan. "Top, kelihatan montok."
Oii, bajingan!
Ravi hampir tersedak air liurnya sendiri, sedangkan Rose malah dengan seenaknya mengangkat jempol. Sumpah, ia memang suka gaun itu tapi melihat dada Yuki yang tampak penuh dan sebagian menyembul keluar seketika membuat Ravi memijat kening. Bisa-bisanya Rose memilihkan gaun seperti itu, umbar-umbar aurat. Jika seperti ini apa Ravi masih perlu berterimakasih padanya? Oke, ia cowok dan ia suka melihat itu. Fix, Ravi tergoda pengen anu.
"Gimana? Bagus nggak Rav?"
Otaknya mulai menciut. "Bagus kak Put."
Sementara Ravi mengomentari penampilan Yuki, matanya terus melihat ke arah calonnya dengan prihatin. Ia tahu sekarang, Yuki sepertinya risih mengenakan gaun itu. Tidak lagi deh, Ravi tidak akan lagi mengucapkan kata terima beres pada Rose.
"Kalau ada yang kurang, bilang saja. Nanti coba ku urus." Kurangnya banyak, oncom!
Bagaimana mengatakannya? Akan terdengar tidak sopan jika Ravi mengatakan secara langsung. Doi lantas kembali meneliti gaun yang melekat di tubuh Yuki dari atas hingga bawah, memandangnya agak kasihan.
"Yuki, kita bicara sebentar yuk?"
"Lah Rav, mau ngapain?" Mulut Rose nih.
Ravi tidak membalas Rose dan memilih menarik tangan Yuki menjauh. Ini demi kebaikan bersama, maka dari itu semuanya harus diluruskan agar kedua belah pihak tidak merugi. "Mas Ravi mau ngapain?"
Tanyanya kok begitu?
Kesannya Ravi seperti mau ehem.
"Nggak, aku cuma mau tanya saja." Dengan tinggi tubuhnya, Ravi bisa melihat ke situ dan mengira-ngira ukurannya. Asw! Sialan memang, Ravi merutuki tindakannya sendiri. "Kamu nyaman nggak pakai gaun ini Ki?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Become One
RomanceRavi Miraldi punya tampang ganteng, manly abis, tapi kurang beruntung dalam urusan percintaan. Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, menjomblo sudah seperti sebuah kutukan, kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatainya perjaka lapuk. Lant...