Pada minggu pagi, Yuki menerima kabar jika tunangannya terkena demam sejak semalam. Suasana yang lengang tidak serta merta membuat Yuki mengendarai mobil sendiri, ia lebih memilih naik bus atau angkutan umum lain. Selebihnya, Mahiro dan Narda bisa dimanfaatkan untuk minta antar. Pengecualian untuk Hunus, cowok itu sudah membuat Yuki kapok lantaran pernah menabrak gerobak sampah hingga mereka berdua jatuh dari motor. Sakitnya sih tidak seberapa, malunya itu loh. Mana waktu itu banyak anak cowok yang tengah nongkrong tidak jauh dari tempat mereka terjatuh. Mati-matian Yuki menerima dengan lapang dada, luka lecet sekaligus rasa malu dikerubungi cowok-cowok yang tidak terhitung jumlahnya.
"Kembaliannya permen saja Mas."
Mas kasir yang melayani Yuki langsung mengangguk mengiyakan, seusai itu dia menyerahkan kantung belanjaan yang telah terisi penuh. Ada buah-buahan, roti juga susu di dalamnya. Semua untuk Ravi, hitung-hitung semakin memperdekat. Begitu kata Ibunya, selagi ada celah maka Yuki haruslah juga ikut berusaha. Bukankah dasarnya memang seperti itu? Laki-laki dan perempuan harus sama-sama berjuang. Tidak perlu terlalu mencari kecocokan, justru karena ketidak cocokan itulah yang bisa melengkapi kehidupan rumah tangga mereka nantinya. Eh, aduh. Jadi keingat rumah tangga. Yuki mendadak salah tingkah, buru-buru keluar dari Supermarket sebelum ada yang memergoki wajahnya berubah memerah karena malu.
Ini sudah pukul sembilan, semakin baik jika ia segera bertemu dengan Ravi. Namun sepuluh menit menunggu, tidak ada satu angkutan umum pun yang bisa ia naiki. Yuki ini bagaimana sih? Pilih-pilih sekali dalam mencari tumpangan. Harus smart, begitu katanya. Jaman sekarang banyak terjadi kejahatan yang korbannya perempuan, antisipasi saja.
Masih betah berdiri di pinggir jalan sembari mengamati kendaraan yang berlalu lalang, Yuki dikejutkan dengan suara klakson motor trail yang tiba-tiba berhenti di hadapannya. Jengkel asli, tapi seketika niatannya itu tertahan ketika matanya dan mata si pengendara motor saling beradu. Iris abu memukau, hanya milik orang itu yang selama ini Yuki kenal betul.
Itu mas mantan.
"Setiap kali kita ketemu, aku lihat kamu selalu sendirian Ki. Apa perlu aku temani?"
Ih modus.
Lah Stefan sendiri apa kabar? Dia juga masih sendirian gitu, persis bullpoint yang tidak ada kertasnya.
"Kamu lagi mau ke mana?"
"Ngejenguk tunanganku." Sekalian saja dikasih tahu, dosa jika berbohong meski berakibat pada perubahan raut Stefan. Dia masih mengenakan helm fullface nya, tapi Yuki masih bisa melihat reaksi cowok itu. "Dari semalam dia sakit."
Penasaran apa jawaban Stefan?
"Mau aku antarin?"
Ya gimana sih seharusnya sikap mantan? Yuki jadi curiga jangan-jangan kepala Stefan telah terbentur sesuatu hingga membuatnya bersikap seperti ini. Jujur saja Yuki sih oke-oke saja, tapi juga khawatir jika sampai ketahuan mas calon suami.
Serius, ini bukan termasuk selingkuh ya kan?
Yuki melirik kanan kiri, berharap ada angkutan umum yang melintas. Mau bajaj kek, bus kek, abang-abang tukang ojek kek, atau odong-odong sekali pun juga boleh.
"Nggak perlu kebanyakan mikir gitu, ayo aku antarin."
"Nggak ah, nanti ada yang marah."
"Kalau ada yang marah, aku yang bakal tanggung jawab."
Berabe ini, Yuki beneran khilaf malah jadi mandangin wajah tampan Stefan yang tiba-tiba membuka helm nya, doi bahkan memakai kupluk hitam penambah kadar kegantengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become One
RomanceRavi Miraldi punya tampang ganteng, manly abis, tapi kurang beruntung dalam urusan percintaan. Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, menjomblo sudah seperti sebuah kutukan, kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatainya perjaka lapuk. Lant...