Chapter 17

584 157 57
                                    

Ketika mendekati subuh, hujan turun begitu deras membasahi tanah. Yuki bisa merasakan hawa dinginnya bahkan meski telah bersembunyi di bawah selimut dan dengan pelukan hangat dari Ravi. Aduh, Yuki mendadak jadi malu. Untuk pertama kali dalam hidup, Yuki tidur sambil dipeluk cowok ganteng yang merupakan suaminya sendiri. Mereka baru satu hari menjadi pasangan sah, tapi sayang dong belum anu. Baik Ravi dan Yuki kelelahan karena pesta pernikahan kemarin. Duh, Yuki tanpa sadar malah mengeratkan pelukannya, merasakan lengan Ravi yang keras dan kekar. Cowok ini pasti rajin berolahraga, tipe Yuki sekali.

"Hmm,," Jangan bangun dulu please, Yuki masih pengen mengagumi wajah ubin mesjidnya. "Kamu sudah bangun, Dek?"

Taikkkkkk!

Yuki dipanggil Dedek, pas sekali dengan panggilan Mas yang sering dia tujukan ke Ravi. "Kalau masih capek, tidur saja dulu."

Seharusnya Ravi tidak mengatakan hal demikian, pikiran Yuki mulai ngawur sekarang. "Lapar Mas."

"Lapar?"

"E'em." Sumpah, Yuki merutuki dirinya.

Sejujurnya Ravi sedikit heran, ini bahkan masih pukul setengah lima pagi dan Yuki sudah mengatakan lapar. Ravi tudak pernah menduga jika istrinya punya kebiasaan sarapan sepagi ini. Tapi tidak masalah deh, kasihan Yuki yang sedang kelelahan. Ravi memutuskan melepaskan pelukan hangatnya dan beranjak dari atas ranjang.

"Mas Ravi mau ke mana?"

"Mas buatin telur mata sapi ya? Jam segini Mama belum masak lauk apa pun."

Indah banget melihat wajah khas bangun tidur Ravi yang diterangi cahaya remang-remang, acak-acakan tapi seksi. "Aku ikut."

"Jangan, tunggu saja di sini."

Akan lebih baik jika Yuki anteng di kamar pengantin mereka, Ravi parno sendiri jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Rose kakak ceweknya, manusia satu itu sudah pasti menyiapkan sejuta rencana untuk merecokinya. Ravi jones sejak lahir, salah. Ravi menikah pun, makin salah.

"Hai Cimenk." Panjang umurnya.

Ravi baru membuka lemari pendingin untuk mengambil telur, dan Rose tiba-tiba muncul dengan piyama merah muda. "Apa?"

"Lo sudah ewe belum?" Asw!

Ravi tidak menyahuti, memilih menuangkan minyak ke wajan teflon dan menyalakan kompor untuk menggoreng telur. Jika Ravi tersulut, Rose yang malah kegirangan.

"Ewe enak nggak sih Menk?"

"Apaan sih lo ewa-ewe mulu?!"

Ngehahaaa, kena. "Kalau tahu yang enak-enak tuh, bagi juga dong pengalamannya."

Sumpah! Rose isengnya keterlaluan. "O'on banget lo tanya-tanya begitu ke gue."

"Ya kan lo adek gue, Cimenkkk!" Tumben mengakui, biasanya sering menyebut Ravi anak pungut. "Jadi gimana lo abis ewe?"

"Berani lo bilang ewe sekali lagi, gue aduin ke Mama lo. Biar segera dikawinin."

Menurut Ravi, Rose adalah musibah.

Jadi begitu telur mata sapi matang, kabur dari Rose adalah pilihan terbaik. Ravi tidak lupa mengambil nasi, lalu bergegas menuju lantai atas. Saat itu, lampu kamar sudah menyala. Ravi menemukan Yuki duduk di pinggiran ranjang dengan wajah yang lebih segar, sepertinya dia baru mencuci muka.

"Kok cuma satu piring Mas?"

"Kenapa?"

"Mas Ravi nggak makan juga?"

"Kamu saja, nih." Yuki menerima piring yang diberikan Ravi, sedangkan suaminya itu tampak berjalan ke sisi ruangan untuk mengambil botol minum. Cara berjalannya terus Yuki perhatikan, bahkan saat Ravi berbalik menuju ranjang. "Minumnya air putih saja nggak apa-apa kan? Mas lupa tadi nggak ngebikinin kamu teh hangat."

Become OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang