"Menurut gue, cewek tuh rata-rata pasti langsung demen sama cowok ganteng. Tapi nggak cuma itu saja, muka jutek lo juga harus lo rubah biar nggak horror amat."
Serah lo!
Jika biasanya Ravi sendiri yang datang menemui Yosio, kali ini lain. Sudah berhari-hari tidak bertegur sapa, Yosio tiba-tiba muncul di pintu rumahnya pukul tujuh malam sembari membawa sekotak pizza dan minuman cola. Ini sih bikin enak Rose, Ravi hanya bisa menghela napas kemudian menyuruh Yosio masuk. Berujung pada obrolan tidak berguna di kamar Ravi, temannya itu ngotot meyakinkan jika point penting untuk menggaet hati cewek adalah dari sifat dan tampang. Ravi kan punya tampang mumpuni, sudah masuk list orang tampan, tapi sifatnya masih perlu digaris bawahi. Wajah juteknya perlu disingkirkan, jika perlu Ravi harus merubahnya total.
"Gila aja, gue sudah ganteng begini lo bilang masih perlu operasi plastik?" Lah?
"Goblok! Bukan itu maksud gue." Yang ini membuat Yosio darah tinggi. "Wajah lo tuh setiap harinya kayak ngajakin baku hantam Rav, nggak ada sumringahnya."
Serba salah jika berurusan dengan Yosio, Ravi mendengus dan memutuskan beranjak dari ranjang untuk mengambil camilan di atas kursi bacanya. Jika sedang tidak ada kegiatan, ia memang sering menghabiskan waktu untuk membaca beberapa buku novel. Hal ini sudah berlangsung semenjak Ravi lulus akademi kepolisian, Ibunya saja sampai keheranan karena selama ini Ravi jarang sekali kelihatan senang membaca. Sementara Ravi sibuk membuka snack, Yosio diam-diam mengambil ponsel Ravi yang tergeletak di atas ranjang. Siapa nama calonnya? Yosio mengingat-ingat sembari menyentuh layar benda pipih itu. Tahu rasa dong.
"Pizza yang lo bawa tadi dibawa kakak gue?"
"Iya, katanya kalau nggak ikhlas ngasih nanti pas mati lidah gue melet." Rose benar-benar.
Yosio curi-curi pandang pada Ravi yang berjalan menuju rak kayu untuk mengambil gunting, dia kesusahan membuka snack dengan tangan kosong. Menurut Yosio, Ravi itu terkadang sedikit miring. 'Ada yang repot, ngapain milih yang gampang?' Tuh, dia mulai senewen sendiri. Kan membuka snack begitu dengan gigi pun bisa, cowok kok lemah? Yosio tersenyum tipis setelah berhasil menemukan nomor calon istri Ravi, diperkuat dengan foto profilnya di Whatsapp yang kelihatan manis mirip es teh tiga ribuan. Cocoklah, pantas Ravi kesemsem.
"Lo tahu Yos, calon gue itu banyak teman cowoknya. Pada keren dan muda." Ewww.
Takut tersaingi?
Tapi soal tampang sih memang tidak ada yang bisa mengalahi Ravi, meski sudah mau kepala tiga pun dia tetap kelihatan tampan. Yosio tidak menggubris apa kata Ravi, terfokus pada layar ponsel yang mulai tersambung dengan ehem di seberang sana. Barulah ketika layarnya memunculkan wujud cewek berambut panjang, Yosio langsung mengarahkan ponselnya kepada Ravi. Dasarnya memang teman jahanam, ia belum siap bertatap dengan Yuki tapi Yosio dengan seenaknya melakukan hal demikian. Please dong, dia lagi pakai kaos putih polos dan boxer bergambar tengkorak.
Bangsattt si Yosio!
Dia bahkan tidak pernah menghubungi Yuki via video call. "Mas Ravi, ada apa?"
Wajah Yuki kelihatan sedikit kurang jelas karena pencahayaan yang remang-remang. Ravi lantas melihat jam dinding yang mengarah pukul setengah delapan lebih delapan menit. "Kamu lagi di mana Ki?"
"Ini, lagi di kafe sama teman-temanku."
Ini nih, Yosio menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Ravi. "Kamu pulang jam berapa? Mau aku jemput?"
Gitu dong, gas terus Rav.
Ada gunanya juga Yosio mencak-mencak mengajari tata cara menggaet hati cewek.
***
Sejak pukul enam sore, Yuki nongkrong di kafe dengan teman-teman kampusnya, sekalian membantu Mahiro dan Hunus yang kerepotan menyelesaikan laporan praktikum. Sementara dua orang itu sibuk mengerjakan, Narda dari tadi banyak mengoceh. Yuki manggut-manggut saja, Nisa juga. Dia itu meskipun cowok, tapi mulutnya cerewet sekali. Lalu berkat video call yang didapatinya dari Ravi, wajah Yuki berubah sumringah seperti mendapati undian lotre. Nisa langsung menyenggol bahunya, bahkan menyuruhnya untuk buru-buru pulang. Beneran ini, fix terindikasi virus bucin.
"Ini apa sih? Bingung gue."
"Rumus lo salah, anjenggg!"
"Ya nggak usah ngegas juga syai."
"Syai?"
"Syaiton!" Manis di awal doang.
Mahiro sudah pusing mengurusi setumpuk laporan yang seharusnya selesai besok pagi, salahnya juga sih karena kebiasaan menerapkan sistem kebut semalam. Duh, mana ia lapar banget lagi. Sepiring kentang goreng di meja dan beberapa camilan pun tersisa sedikit. Ia meregangkan tangannya, lalu memanggil salah satu waiters yang mondar-mandir mengantar pesanan. Mumpung Mahiro baru dapat kiriman uang dari Ayahnya, dua piring jamur crispy dan pisang keju sepertinya tidak buruk. Ia memilih di menu, sekalian memberikan uangnya. Setelah itu, Mahiro iseng-iseng mengedarkan pandangan ke sekitar.
Lah? "Si bule."
Suatu kebetulan, ia menemukan Stefan yang dikenalnya akrab sejak SMP, jauh sebelum Mahiro tahu jika temannya itu ternyata merupakan mantan pacar Yuki. Stefan itu bisa dibilang susah move on, karena sampai sekarang pun dia tetap menyendiri. Pernah sekali dua kali mencoba menjalin hubungan dengan cewek lain, tapi katanya bayangan Yuki senantiasa menghantui. Memang dasar bucin. Mahiro merasa kasihan, Stefan masih terus berharap namun Yuki justru kebalikannya. Mahiro tidak tahu wajah calonnya seperti apa, yang ia tahu cowok itu rupanya berhasil membuat Yuki berpaling.
"Hiro!" Stefan menyapa dengan mengangkat tangan. Orang-orang sampai menoleh, tidak terkecuali Yuki yang tadinya terfokus pada ponselnya. Ia melihat tubuh tegap Stefan yang mulai melangkah mendekat, kemudian menyalami Mahiro. "Ngapain lo?"
"Biasa, ngerjain laporan nih."
"Gue kayaknya setuju sama orang-orang, mantan pacar memang makin cakep pas sudah kita tinggalin." Tidak ada orang lain yang akan membisikkan hal demikian ke telinga Yuki selain Narda, dia seperti homo yang sibuk mengomentari penampilan sesama cowok. "Lo nggak mau balikan?"
Terus Ravi bagaimana?
Yuki cukup tahu diri dengan tidak adanya restu orangtua selama ia berhubungan dengan Stefan, makanya ia setuju saja dijodohkan dengan calon suaminya saat ini. Lagipula tidak ada ruginya menikah dengan Ravi, selain mapan dan lemah lembut tuturnya, dia juga tampan meskipun wajahnya sering cemberut. Setiap orang yang melihat Ravi pertama kali, pasti akan berpikir jika dia galak. Wajahnya memang tampan, tapi juteknya tidak ketulungan.
"Gue kalau jadi elo, pasti mau banget diajak balikan." Nisa jadi ikut-ikutan juga.
"Apaan sih?"
Narda dan Nisa memang tidak mengenal Stefan, mereka hanya tahu dari cerita Yuki. Yang mengenal betul hanya Mahiro dan Hunus. Mahiro temannya saat SMP, sedangkan Hunus satu angkatan dengan ia dan Stefan saat SMA. Yuki melihat Stefan berbicara dengan Hunus seusai menyapa Mahiro, dan berikutnya tentu saja dirinya. Semakin hari, wajahnya kian terlihat kinclong seperti ubin mesjid. Yuki mendengar Mahiro berdehem keras, tidak menyadari Stefan yang ternyata sudah mengambil start dengan berdiri di dekat Yuki. Tuh kan, mantan mulai berulah.
"Nanti pulangnya sendirian nggak?"
"Aku sama..."
"Sama aku saja, ku antar."
Mas Ravi tampan, Mas mantan juga tidak kalah tampan. Duh, Yuki galau jika begini.
To be continue...
Aku sebenarnya lagi sakit gigi, tapi jari sudah gatel banget mau nulis si Ravi. 😂 Btw, beberapa cast aku ganti. Semoga tetap suka.
25 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Become One
RomanceRavi Miraldi punya tampang ganteng, manly abis, tapi kurang beruntung dalam urusan percintaan. Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, menjomblo sudah seperti sebuah kutukan, kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatainya perjaka lapuk. Lant...