RL 1

3.6K 243 87
                                    

Perempuan bertubuh mungil itu nampak sedih. Kedua matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Perempuan itu bernama  Anna. Hari ini sungguh melelahkan baginya. Terhitung dua hari dari hari kebahagiannya mendapatkan musibah. Meski baru, tapi Anna merasa kehilangan.

"Alhamdulillah, kamu datang juga. Ayo." Anna segera berlari mengikuti rekan kerjanya di rumah sakit. Di ruang inap yang sudah tak asing lagi baginya, seseorang mengamuk dengan jarum infus terlepas dari tangannya.

"Please. Gue mau ketemu Eyang Uti sama Eyang Kakung..please..gue mohon." Anna langsung memeluk tubuh yang masih meringkuk di ranjang dengan wajah penuh keringat dan air mata. Kedua mata sipitnya sangat merah dan bengkak tanda menangis terus menerus. Siapa yang tak akan sedih jika di tinggal oleh seseorang terkasihnya.

"Sayang, hei..tatap aku." Anna menangkupkan wajah suaminya dengan lembut.

"Eyang Uti dan Eyang Kakung sudah tenang. Kamu hanya perlu mendoakannya. Kondisi kamu masih lemah, Ray. Aku janji, besok kita pergi ke tempat peristirahatan Eyang Kakung dan Eyang Uti. Tapi, kamu harus janji. Pulihkan dulu kondisi kamu. Demamnya masih tinggi." Rayyan berhenti berontak. Dia memeluk tubuh istrinya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di area perut sang istri adalah hal yang paling di sukainya.

"Kenapa harus eyang kakung? Kenapa harus eyang uti? Kenapa, An?" Anna yang sedih tak kuasa menitikan kembali air matanya melihat sang suami menangis. Di usap-usap punggung kokoh Rayyan yang masih bergetar karena tangis.

"Stťtt....jangan bilang gitu. Allah sudah mengaturnya di laufhul mahfuz. Tak ada yang kebetulan di dunia ini." Pada akhirnya Rayyan beristirahat dengan memeluk istrinya yang juga kelelahan hari ini.

***

Sesuai perkataan Anna kemarin, Rayyan di papah sang istri ke tempat peristirahatan eyang kakung dan eyang utinya. Tanah merah bertaburan  bunga itu nampak basah. Kedua makam ini saling berdampingan. Rayyan yang memakai hoddie tebal dan celana training berjongkok di samping makan eyang kakungnya.

"Eyang...hik..hiks." Rayyan tak kuasa menahan tangis. Di genggam erat batu nisan bertulis nama eyang kakungnya.

"Eyang, kenapa ninggalin adik..hiks..hiks...semua gara-gara adik kan, yang. Kalau aja eyang ga datang ke pernikahan adik, eyang ga akan kecelakaan. Eyang, hukum adik. Hiks..hiks. " Anna setia di samping suaminya. Mencoba menenangkan Rayyan dengan usapan lembut.

Lama waktu berjalan. Tak terasa sudah siang. Sinar matahari sangat menyengat. Rayyan masih tetap di posisinya sembari terisak kecil.

"Pulang yuk, kamu harus istirahat. Badan kamu masih demam."

"Ga, aku mau di sini nemenin eyang."

"Eyang udah tenang, tahu itukan." Rayyan menatap tajam Anna. Terlihat matanya membengkak terlalu banyak menangis.

"Kalau kamu mau pulang, pulang sendiri aja. Aku mau nemenin eyang."

"Ray, harusnya kamu sadar dong. Eyang udah tenang di dalam sana. Yang eyang inginkan hanya doa dari kita."

"Ga, kamu ga ngerti ya perasaan aku kaya gimana? Eyang meninggal karena aku. Aku yang bunuh eyang"

Plakkkk...

Anna terdiam, telapak tangannya terasa perih dan panas. Sungguh dia tak bermaksud untuk menampar suaminya.

"Ray, ma..af. Kamu jangan ngomong gitu. Eyang ga akan suka dengernya. Eyang meninggal karena kecelakaan. Eyang kakung sama eyang uti kecelakaan di perjalanan ke bandara. Jadi itu bukan salah kamu."

"Kamu ga ngerti!"

Rayyan memeluk tanah basah itu. Membelakangi Anna. Sungguh, rasanya kehidupannya terasa hampa. Eyang yang selalu menyayanginya dari kecil kini telah tiada. Eyang uti yang perhatian padanya kini pergi meninggalkannya.

"Pulang sekarang, atau kamu aku larang ke sini. Ingat, mama Nadine dan Papa Dimas. Di rumah mereka juga sedih. Apa kamu ga mau menghibur mereka di rumah? Ikut mendoakannya di acara tahlillannya?"

"Kita pulang dulu yuk... please jangan berfikiran jelek lagi."

Rayyan terdiam. Anna benar, kemarin mama dan papanya tak ada kabar terlebih dirinya yang masuk rumah sakit bersamaan dengan eyang kakung dan eyang uti kecelakaan lalu lintang di perjalanan menuju bandara. Rencananya eyang kakung dan eyang uti akan kembali ke korea setelah menghadiri pernikahan cucu manisnya. Namun apa daya, rencana hanyalah rencana. Allahlah yang menentukan.

****

Mobil berwarna putih itu berhenti di area parkiran rumah Dimas. Anna yang mengemudikan mobil langsung turun, berlari kecil ke pintu mobil lainnya.

"Kamu yakin bisa jalan sendiri? Aku panggilin abang ya?" Rayyan menggeleng pelan. Dia memang masih demam, hawa panas masih terasa di seluruh permukaan kulitnya. Kepalanya juga terasa sakit apalagi di tambah dengan aksi menangisnya yang gila-gilaan.

"Bisa." Lirihnya pelan.

Dengan perlahan Rayyan keluar dari mobil, Anna pun membantu Rayyan jalan menjadikannya tumpuan tubuh Rayyan yang lebih tinggi darinya.

Satu persatu tangga di naiki, kadang berhenti ketika Rayyan berhenti. Anna khawatir, kondisi Rayyan yang sedang stress begini. Ingatkah jika Rayyan stress akan berpengaruh terhadap kondisi tubuhnya?.

Pintu rumah terbuka, rumah besarnya terlihat sepi hanya ada Athalla yang sedang duduk sendirian di sofa.

"Assalamualaikum." Athalla melebarkan matanya melihat Anna yang nampak kesusahan memapah Rayyan. Dia berlari untuk membantu Anna.

"Ya allah, kak" Jujur, Athalla nampak khawatir melihat kondisi kakaknya yang tak karuan.

"Duduk di sofa aja." Rayyan menggelengkan kepalanya.

"Papa.." Lirih Rayyan.

"Di kamar. Kita ke kamar aja."

Ketiganya menuju kamar utama milik Dimas dan Nadine. Untungnya kamarnya masih ada di lantai dasar jadi tak perlu bersusah payah.

Krieettttt...

Pintu besar itu terbuka, Nadine yang sedang duduk di belakang Dimas nampak menengok ke arah pintu. Dimas yang merasakan gerakan kerokan istrinya terhenti pun ikut menengok kebelakang.

"Ya allah, adik." Cepat. Gerakan Nadine dan Dimas terbilang cepat mengingat kondisi putra manisnya sangat kacau. Mata bengkak, pucat, keringat dingin, baju dan celananya kotor terlebih di papah kanan kiri oleh Adik dan istrinya Rayyan.

"Pa.." Rayyan memeluk Dimas yang masih telanjang dada. Rayyan kembali menangis melihat wajah sang papa yang duplikat dari eyang kakung.

"Sttttt..sudah, adik kuat." Nadine mengusap rambut putranya yang lepek.

"Maafin adik. Ini semua gara-gara adik."

Dimas mengeratkan pelukannya. Dia tak ingin putra manisnya kembali merasa bersalah terhadap apa yang terjadi. Cukup cerita masalalu ibu dan ayahnya dulu yang meninggal kecelakaan. Dia tak ingin melihat putra manisnya merasa terpuruk dan kondisinya melemah.

"Pa...adik jahat."

"Tidak, adik anak yang baik. Eyang kakung sama eyang uti sayang sama adik. Adik harus kuat ya, eyang tidak suka kalau kamu sering nangis dan menyalahkan diri sendiri. Doakan eyang ya." Rayyan mengangguk pelan di bahu papanya.

"Maaf." Dimas menahan tubuh Rayyan yang melemas di bantu Athalla. Anna yang sudah tahu ini bakal terjadi langsung berjalan cepat keluar menuju mobilnya. Mengambil tas berukuran besar berisi peralatan dokternya. Sedangkan Nadine mengambil handuk dan wadah berbahan stenlis untuk mengompres putranya. Namun tugas lain bagi Dimas dan Athalla yang menggotong tubuh Rayyan untuk di baringkan di atas kasur empuk milik orang tuanya.

***

Gak bosan deh sama ini anak.
Anak tengah bikin emaknya bangga kini udah nikah aja. Semoga menjadi penghibur di kala mumetnya urusan dunia😅

REAL LOVE ✓(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang