RL 14

1.1K 154 21
                                    

Athalla tersenyum melihat wajah kakaknya yang nampak kusut hari ini. Athalla kira ini pasti akibat ulah kakak iparnya meminta yang aneh-aneh lagi. Kemarin saja membuat kakaknya uring-uringan. Entahlah hari ini minta apalagi.
Nadine datang memberikan kopi untuk Athalla,  terheran melihat keponakannya yang tertawa kecil.

"Ketawa kok kecil, kenapa?" Tanya Nadine dengan wajah perasaan.

"Itu" Athalla menunjuk dengan dagunya. Nadine pun menengok ke arah yang di tunjuk Athalla. Di sofa ruang tamu, Rayyan tengah misuh-misuh sendirian dengan mengutak-ngatik laptop miliknya. Wajahnya yang kusut sangat lucu sekali.

"Kakak kamu tuh ya, di suruh istirahat kok ngeyel. Mama sudah ingetin hari ini biar bedress aja di kamar tapi.." Athalla tersenyum.

"Adik kan ga suka diem, bosen kali ma." Jawab Athalla setelah meletakkan mug berisi setengah kopinya.

"Mama ke sana dulu, kamu kalau sudah selesai sarapannya. Jangan lupa makan vitaminnya. Hari ini mantau lagi proyek kan?" Athalla mengangguk.

***
Anna sudah sampai di rumah sakit tempat dirinya praktek, hari ini hanya jadwal periksaan rutin setiap tiga kali seminggu. Sebenarnya dirinya masih kesal, tadi pagi saat sarapan dia ingin sekali memakan nasi goreng buatan suaminya. Namun apa daya, suaminya tak pandai memasak. Hobinya hanya memakan segala makanan. Bukan memasaknya.

"Pagi An?" Langkah Anna terhenti. Dia menatap laki-laki yang memakai jas putih, jas kebesarannya sebagai  dokter. Anna menatap wajah laki-laki itu dengan heran. Dokter baru mungkin. Tapi? Wajahnya tak asing.

"Kok bengong? Lupa?" Tanyanya. Anna mengangguk saja toh dirinya benar-benar lupa. Bahkan tak tahu di depannya ini siapa. Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Berniat mengenalkan diri.

"Aku, Zen. Muhammad Zen. Teman kamu sewaktu sekolah dasar dulu, anaknya tante Killa." Anna membulatkan matanya. Dia ingat, tak perlu di perjelas lagi. Ingatannya masih tajam walaupun tak setajam pisau dapur milik mbak Tami.

"Ya ampunn!!! Zen. Moneyyy Zen!!" Pekik Anna yang seolah-olah kegirangan mendapatkan berlian. Bahkan tubuh mungilnya meloncat-loncat tanpa sadar.

"Ingetnya kok Moneynya aja." Zen terkekeh, bahkan lesung pipinya terlihat jelas jika Zen tersenyum lebar.

"Iya, kamu kan yang suka jajanin aku. Kapan kamu datang? Kok ga bilang-bilang sih? Papa juga ga bilabg ke aku kalau kamu dokter baru itu." Zen hanya diam. Memperhatikan perempuan mungil itu yang masih saja cerewet.

"Kemarin, cuma ga sempat memperkenalkan diri. Ada surat-surat yang harus di tanda tangani." Anna mengangguk saja.

"An, kamu ga berubah ya. Tetap cerewet. Dan ini yang aku kangenin dari kamu." Zen menepuk-nepuk kepala Anna yang di tutupi kerudung putihnya. Sejenak Anna mematung. Seperti de javu. Wajah Zen yang kini dilihatnya bukanlah wajah Zen yang berlesung pipi di kedua pipinya. Namun wajah manis suaminya yang sedang merajuk. Jika di bandingkan keduanya sama-sama manis. Rayyan yang berkulit putih dengan tahi lalat di hidung mancungnya. Sedangkan Zen dengan kulit sawo matang dengan kedua lesung pipinya.

"Hei, kamu melamun?" Zen menepuk bahunya Anna dengan lembut.

"Ahhh iya, maaf ya. Sepertinya aku harus visit sekarang. Tadi suster Dina sudah memanggilku." Zen mengangguk mengerti. Dia mempersilahkan Anna untuk pergi. Dalam diam, Zen menatap siluet teman masa kecilnya itu. Anna tak berubah, hanya bertambah cantik dan cantik. Tidak ada kata selain cantik.

***

Di proyek perumahan, Athalla sedang berkeliling dengan menggunakan helm bangunan. Dia harus mengontrol pembanguna rumah yang harus di selesaikan akhir bulan ini. Berjajar rumah-rumah minimalis yang sedang dingandrungi, supaya menarik minat orang-orang untuk tinggal di hunian baru ini.

REAL LOVE ✓(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang