Jalan hidup sudah di tentukan di lauful mahfudz sebelum kita di lahirkan. Qadha telah di tetapkan namun pilihan ada di tangan kita sendiri. Memilih mana yang baik mana yang buruk bagi kehidupan kita. Dari sana kita bisa mempertimbangkan baik dan buruknya bagi kita sendiri maupun orang lain.
Kini takdir seorang Rayyan Samir kembali di uji oleh sang pencipta. Setelah lika liku hidupnya yang penuh drama kini dia dihadapkan dengan realita yang tak baik juga. Bukankah dunia begitu? Tak melulu yang enak saja?.
Setelah pulang dari SUNMORI, kini Rayyan tahu hidupnya memang patut dan wajib di syukuri melihat anak-anak panti yang kurang beruntung terbersit niatan untuk mengadopsi anak. Percis seperti dirinya dulu yang di adopsi oleh keluarga yang sekarang. Namun, keinginannya harus di kesampingkan dulu mengingat istrinya sedang hamil, buah hatinya, darah dagingnya sendiri akan lahir kedunia.
"Bengong lagi?" Suara Athalla terdengar.
Rayyan hanya menggeleng dengan wajah mode blanknya. Bisa di lihat jika Athalla sedang kerepotan dengan barang bawaannya. Rumah sederhana yang di bangun oleh tukang selesai. Kini semua perabotan rumah tengah di masukkan ke dalam dan di tata sesuai instruksi dari Athalla.
"lo aja yang ngatur. Gue pengen tidur." Ucap Rayyan simple. Tak banyak bicara lagi kini tubuhnya yang terlihat kurus itu nampak berbaring di tempat tidur di kamarnya yang baru. Tanpa sprei dan bantal. Murni tempat tidur baru yang masih di plastik.
"Bantuin dulu kek, masih banyak barang noh di luar." Athalla kesal sendiri. Dia sejak pagi mondar mandir mengangkat ini itu untuk di tata. Memang tak sendiri, ada para tukang yang sudah di bayar. Namun tetap saja dirinya lelah sendiri.
Pembangunan rumah sederhana dengan satu lantai ini memang meleset dua minggu. Rencana di awal boleh matang tapi penentuan allah sudah tentukan.
Athalla memastikan jika kakaknya sudah tidur. Rasa enggan meninggalkan kamar ini. Terlebih melihat bobot tubuh kakaknya yang merosot, entah efek kelelahan bekerja atau karena penyakitnya yang semakin hari pasti berulah.
"Adik mana?" Setibanya di keluar kamar, Athar langsung bertanya. Abangnya ini yang makin subur, bobot tubuhnya naik lima kilo. Lihat saja tubuhnya kini berlemak menyamai perut istrinya yang tengah hamil.
"Tidur." Athar sedikit heran. Biasanya adiknya tidak pernah tidur jam segini. Ini masih pagi, baru pukul sembilan.
"Kenapa ga di larang? Tidur pagi itu ga baik buat kesehatan. Jangan jadi pemalas." Athalla merenggut. Kenapa dirinya yang di ceramahi.
"Bangunin aja." Jawab Athalla yang kini beranjak. Masih banyak pekerjaannya. Barang-barang Rayyan masih di luar belum di masukkan semuanya.
Athar memasuki kamar luas milik adiknya. Kamar ini bernuansa putih polos tanpa ada hiasan apapun. Hanya ada tempat tidur, meja rias, lemari pakaian dan tempat tidur bayi.
"Dik, bangun. Jangan di tidurin. Ini masih pagi ga baik buat kesehatan. Lebih baik bantuin bawa barang atau ga bantuin istri lo masak di dapur." Athar menggoyang-goyangkan bahu adiknya dengan keras. Dia tahu jika adiknya akan bangun jika di bangunkan dengan cara itu. Terbukti adiknya mulai terusik.
"Lemes bang. Kenapa di bangunin sih." Rayyan duduk di pinggiran tempat tidur.
"Jangan di ikutin. Ingat Anna lagi hamil. Kalau papanya malas anaknya juga malas." Rayyan berdecak kesal. Kenapa itu di bawa-bawa?.
Senyuman Athar terlihat, adiknya mulai berjalan mengikutinya di belakang. Barang-barang milik adiknya masih ada di luar. Kemarin kedua adiknya yang langsung memilih barang-barang semuanya. Termasuk tempat tidur bayi yang besar. Menurut Rayyan itu lucu dan khawatir di beli orang lain makanya dia membelinya lebih dulu.
"Bantuin Athalla sana. Kasihan capek sendiri." Rayyan tak menjawab. Namun dirinya berjalan keluar rumah.
"Kok kusut. Kaya kaset kusut atau kayak boss yang bangkrut?" Itu suara istrinya yang menggoda suaminya. Niatnya ingin memberikannya sarapan pagi. Karena tadi pagi suaminya melewatkan sarapan bersama keluarga besarnya.
"Awas deh, menghalangi jalan. Aku mau bantu si kodok dulu." Jawabnya dengan lemas.
"Kok lemes? Pasti belum sarapan. Sarapan dulu ya, baru bantuin si kodok?" Rayyan menggelengkan kepalanya.
"Bantin dulu deh, nanti sarapan." Rayyan berjalan melewati istrinya menuju samping rumah mamanya. Karena itu satu-satunya jalan yang menghubungkan area rumahnya menuju teras rumah mamanya.
Anna hanya bisa melihat suaminya berjalan pelan bahkan sesekali tersandung kakinya sendiri. Ada yang tak beres, Anna sadar akan hal itu. Lamunan Anna terbuyarkan ketika melihat suaminya membungkuk seketika meluarkan cairan bening.
"Astaghfirullah.." Anna sedikit berlari ke arah suaminya. Mengurut pundak suaminya memperingan aksi muntahnya.
"Tuh kan pasti masuk angin. Kamu nakal sih."
"Hahh...Anna..Hahh.. ma..af." setelah itu hanya teriakan Anna yang terdengar. Rayyan jatuh tak sadarkan diri di lantai beton tanpa bisa Anna cegah. Gerakannya sangat cepat dan Anna tak siap karena terhalang perutnya yang sudah membesar di usianya tiga bulan.
***
Lagi, Semuanya hanya bisa menatap sosok yang terbaring lemah di atas ranjang. Dokter Wisnu menyatakan menantunya kini tengah dalam keadaan koma. Gumpalan darahnya semakin membesar dan di khawatirkan akan pecah jika tidak cepat di ambil tindakan.
"An, jangan sampai kondisi Rayyan membuatmu stress ya. Ingat di sini ada Rayyan kecil." Dokter Wisnu mengusap lembut perut putrinya yang semakin besar.
"Tapi, pa? Bagaimana Anna biasa-biasa saja jika kondisi suami Anna kritis begitu. Anna ga mau kehilangan Rayyan, pa." Anna menangis di pelukkan papanya. Sungguh dia sudah berfikiran yang buruk sejak tadi. Bagaimana jika kali ini Rayyan menyerah? Jika Allah sudah menyelesaikan kontrak hidupnya? Bagaimana nasib anaknya jika suaminya tak ada?
"Yakin, allah masih akan memberikan keajaiban. Rayyan akan kembali bangun, dia pasti ingin melihat buah hatinya nanti." Anna semakin terisak di pelukkan papanya. Tak berani menemui suaminya yang kini di ruangan khusus yang di batasi oleh kaca.
"Berdoa selalu." Anna mengangguk. Dia akan menunggu sembari berikhtiar dan terus berdoa.
***
Nadine dan Dimas kembali ke ruangan ini setelah beberapa kali absen karena Rayyan menempati ruangan kamar rawatnya. Bukan di ruangan khusus seperti ini. Kedua orangtua itu masih saja spot jantung mendengar putranya kembali jatuh pingsan bahkan sampai tak sadarkan diri dan di nyatakan koma. Putra manisnya kembali terbujur lemah di dalam sana dengan peralatan yang entah apa."Adik, hobi banget ya masuk rumah sakit?" Ucap Nadine yang mencoba bercanda.
"Kayanya kita harus buat rumah sakit kaya Papa ya. Biar adik di rumah sakit milik kita sendiri. Setidaknya tidak biaya kita tak membengkak." Dimas hanya bercanda. Dia tak mungkin mempersalahkan biaya karena uangnya masih cukup untuk membiayai anak-anaknya. Bahkan sampai cucunya lahirpun tak akan kehabisan.
"Tapi, kalau kita bangkrut kita jual aja motard punya adik, iya kan yang?" Nadine mengangguk dengan air mata menuruni pipinya yang sudah nampak gurat-gurat penuaan.
"Kita lelang aja semuanya, Dim. biar adik bisa bangun. Suruh adik bangun, Dim. Bilang sama dia, mama ini sudah tua jangan terus di buat khawatir. Kalau mama jantungan gimana?" Dimas langsung memeluk istrinya yang kini sudah terisak hebat. Dia tahu perasaan Nadine, sangat tahu. Dirinya juga terpukul dengan keadaan namun inilah takdir yang allah berikan. Qadha allah yamg di luar jangkauannya. Qadha yang di luar daerah yang menguasainya karena di sana hanya ada campur tangan allah tanpa campur tangan manusia.
***
Haiiii...ada yang rindu? Maaf ya teman. Baru bisa updte adik. Dan mohon maaf masih banyak typo karena ngebut ngetik dan malas revisi wkwkwkk...
KAMU SEDANG MEMBACA
REAL LOVE ✓(End)
Teen Fiction-lanjutan World Light- Di saat kebahagiaan di rasakan dua orang yang terikat oleh syariatNya. Maka di situ pula kan di uji olehNya berbagai permasalahan. Di saat itulah kita bisa tahu jika kita saling mencintai sesungguhnya atau mencintai semu. Cove...