RL 17

1.2K 146 16
                                    

Pukul delapan pagi mereka sampai di daerah Bandung. Rencananya mereka akan melewati jalur pasteur, fly over Surapati, kebun binatang Bandung, Ciumbeulieut, Punclut dan baru sampai Lembang.

Sepanjang jalan, Rayyan dan Anna saling melempar ejekan. Dan di timpali oleh Denis yang memang jarak keduanya berdekatan. Jalanan Ciumbeulit tak terlalu ramai. Melewati perkampungan yang akan membawanya ke panti asuhan.

"Udah sampe?" Tanya Anna bingung. Pasalnya motor-motor di depannya berhanti.

Rayyan tak menjawab. Dia sibuk dengan Denis yang ada di sampingnya. Lagi-lagi Anna di nomor duakan. Anna bisa melihat panti asuhan bernama Al barakah dengan papan terbuat dari besi di pasang di depan bangunan.

"Ayo, turun." Rayyan memerintah istrinya. Membantu melepaskan helm dan menyimpannya di atas motor. Menggenggam tangan istrinya seolah-olah tak ingin di tinggalkan. Mereka bergerombol memasuki panti asuhan dan di sambut oleh pemilik panti.

Semua anak komunitas terhanyut dengan penuturan sang ibu panti yang menceritakan sejarah berdirinya panti ini. Rayyan menunduk, dia teringat panti yang di tempatinya dulu. Panti yang menjadi rumahnya sejak lahir dan sampai mama kandungnya meninggal. Panti sederhana yang penuh kenangan. Mengukir sejarah hidupnya.

"Kenapa?" Tanya Anna khawatir. Rayyan masih menunduk. Menitikan air matanya yang tak kuasa dia tahan. Menangis tanpa isakan. Terbayang wajah Amih yang sudah tua renta, almarhumah mamanya yang masih terekam jelas di ingatannya dan wajah Bagas dengan senyum riangnya.

"Big boss."

"Sebentar dokcan." Anna tak bertanya lagi. Kini dia bisa melihat wajah anak-anak kecil yang tertawa dan berbisik-bisik. Wajah polos mereka nampak lucu. Anna beruntung dengan lahir dan tinggal di keluarga yang mapan tak kurang satu apapun.

Perhatiannya teralihkan ketika lengungan lirih terdengar dari suaminya. Anna bisa melihat titik merah secara perlahan yang jatuh di atas rumput hijau.

"Rayyan," Anna langsung menangkup wajah Rayyan. Dia bisa melihat jelas raut kesakitan suaminya dengan darah yang masih keluar dari lubang hidung suaminya.

"Kenapa?" Denis yang berada di belakang mereka langsung menahan tubuh Rayyan yang nampak lemas. Dan detik itu juga kesadaran Rayyan terenggut kegelapan.

***

Athar nampak melamun di sela-sela pekerjanya. Entah kenapa pikirannya menerawang. Sosok Rayyan selalu terbayang diingatannya. Jika di ingat, dirinya sudah lama sekali tidak bercanda dan menjahili adik manisnya itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan Zia, istrinya.

"Abang kangen sama adik." Gumamnya.

Dengan perlahan, Laki-laki berjas formal itu mengeluarkan smartphone dari sakunya. Mencari nama adiknya.

"Pak? maaf klien dari Kamajaya sudah datang dan menunggu bapak sekarang." Sekertaris pengganti Zia membuka pintu ruang kerjanya.

"Baik." Sejenak Athar melupakan niat awalnya yang ingin menghubungi adiknya. Ini hari minggu, namun karena sesuatu hal dirinya seolah di paksa bekerja karena pihak kamajaya tak bisa lama-lama di kota. Athar mulai berjalan menjauhi meja kerjanya tanpa beban namun tidak drngan hatinya yang terasa hampa.

***

Anna menatap wajah yang masih terlihat pucat dengan khawatir. Rayyan sudah membaik, bahkan sekarang tengah bermain bola dengan anak panti.

"Makan dulu, ibu Dokter." Jodie, laki-laki berkacamata itu menghampiri Anna dengan sepiring nasi dan lauk pauknya.

"Terimakasih." Jodie tersenyum simpul menampilkan lesung pipinya yang tipis.

"Jangan terlalu khawatir. Adik kuat kok." Hibur Jodie. Dia mengerti kekhawatitan istri sahabatnya itu. Bahkan dia hafal betul tabiat Rayyan. Jodie yakin Rayyan tak akan tumbang saat ini.

"Jangan dilihatin terus, ayo makan." Jodie mengelus dada saat sahabat manisnya itu menggeser dirinya untuk berpindah tempat duduk.

"Sopan dikit ngapa." Jodie mendelik tak suka.

"Makanya minggir, gangguin istri orang aja."

"Ralat, nemenin." Rayyan tak peduli. Dia mengambil piring yang di bawa jodie tadi dan memberikannya pada Anna.

"Suapin." Rengeknya. Bahkan Anna bisa melihat wajah merajuk suaminya yang bisa di katakan bocah sekali.

"Sialan." Jodie memilih pergi sebelum menonton adegan picisan yang sahabatnya lakukan. Nasib seorang jomblo seperti dirinya selalu di tindas dengan hal-hal sepele.

Setelah kepergian Jodie, Anna menuruti kemauan suaminya. Menyuapinya dengan sabar terlebih perasaannya yang masih terguncang akibat kambuhnya sang suami.

"Tenang, aku baik." Rayyan mengerti sekali jika istrinya masih panik.

"Hmm, iya tadi juga teman kamu bilang gitu." Rayyan mengangkat kedua alisnya.

"Jodie? Dia bilang apa? Eh awas ya kalau kamu berpaling. Emang sih Jodie itu manis karena ada lesung pipinya tapi coba dong perhatiin lagi. Aku ini paling manis." Dengan kepercayaan diri tingkat tinggi, Rayyan berpose seperti anak kecil dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua pipinya. Anna terkekeh melihat tingkah suaminya yang meniritnya bocah sekali.

"Iya, suamiku ini memang manis. Tapi jangan buat aku khawatir lagi. Aku takut..." Anna sudah mulai berkaca-kaca.

"Iya. Udah ahh jangan nangis. Di sini ga ada balon. Ayo suapin lagi, aaaaaaa..." Rayyan berusaha supaya istrinya tak menangis lagi. Dia takut jika wajah istrinya akan menjadi bayang-bayang kesedihan untuknya. Dia ingin wajah Anna yang teesenyum bukan yang menangis seperti tadi.

"Aku makin cinta." Bisik Rayyan. Anna mendengar itu dengan senyuman yang terpatri jelas di wajah cantiknya.

***

Perjalan di lanjutkan. Kini mereka menuju Lembang. Cuaca hari itu tidak terlalu panas namun tidak hujan juga. Cuaca yang paling pas untuk jalan-jalan ke Lembang.

Anna hanya menikmati perjalanan dengan memeluk suaminya. Entah suaminya mendumel tentang apapaun yang di lihatnya.

"Ahh..kok lewat punclut sih. Macet banget deh, pasti." Rayyan berkomentar sedikit tak setuju.

"Punclut emangnya rame ya?" Tanya Anna penasaran.

"Jalan alternatif soalnya. Kalau weekend kaya gini pasti banyak yang lewat Punclut belum lagi turunannya." Anna tak bertanya lagi. Dia membiarkan suaminya berdumel-dumel sepanjang jalan. Mengomentari hal-hal yang tak penting. Anna menyukainya karena dengan cerewetnya Rayyan itu menandakan jika dirinya baik-baik saja.

"Big boss, mau itu dong." Tunjuk Anna ke arah warung-warung yang berjejer memanjang di sisi jalan. Mereka kini sudah memasuki wilayah Lembang setelah melewati Punclut yang sedikit padat.

"Dokcan, ribet bawanya. Nanas buat apa coba? Ingat lagi hamil. Bahaya."

"Beliin buat mama. Lagian kita mau ke rumah neneknya Denis kan? Beliin aja sekalian."

"Susah bawanya."

"Akhhh.." Rayyan memekik ketika tangan istrinya kembali mencubit pinggangnya.

"Beliin ga?"

"Iya." Pada akhirnya Rayyan menepi, membiarkan teman-teman yang lain pergi lebih dulu.

Rayyan merenggut tak suka. Bagaimana si prince yang kini penuh dengan nanas. Tak tanggung-tanggung Anna ingin sepuluh nanas yang besar-besar untuk diberikan kepada nenek Denis dan sisanya untuk Mama Nadine di rumah.

"Ckckkc...jadi mamang nanas dong." Batin Rayyan yang kini mulai menghidupkan mesin si prince.

***

Segini dulu ya, pencinta adik.
Maaf kalau sedikit dan ga ada feel2nya😅😅.
Salam sayang dari adik. 😘😘😘😘

REAL LOVE ✓(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang