Suasana duka masih terasa. Terlebih Dimas. Secara mendadak kehilangan orangtuanya secara bersamaan. Dia tak akan menyangka jika obrolan kemarin adalah obrolan terakhir kalinya. Tak ada firasat apapun, hanya Dimas melihat sang ibu nampak bercahaya dan berbahagia bisa melihat cucu-cucu kebanggaannya menikah.
"Papa." Anna tersenyum hangat. Dia baru saja akan membuat sarapan untuk suaminya karena masih terbaring lemah di kamarnya.
"An, mau buat sarapan? Biar mbak Tami yang buatkan." Dimas yang duduk di kursi kayu pantry melihat gerak-gerik menantunya yang sedang membuka pintu kulkas.
"Ga usah, pa. Biar Anna saja. Papa mau sarapan juga?" Tanya sembari mengeluarkan dua telur.
"Papa sudah sarapan sama mama tadi. Bareng yang lain juga."
"Lho, kok ga bangunin Anna, Pa.?" Dimas tersenyum melihat wajah merengut menantunya sama dengan Rayyan.
"Kamu pasti lelah menghadapi anak papa yang manisnya ga ketulungan. Tapi, maaf ya jadi di repotkan. Rayyan kalau sudah begitu kondisinya akan langsung drop. Dan tiba-tiba mimisan."
Anna mendengarkan ucapan baik papa mertuanya itu. Suaminya memang mimisan, jujur saja Anna kaget. Namun mendengar hal itu seperti biasa jadi tak ada yang perlu di cemaskan, kan?.
"Adik suka omlette sosis sama susu coklat. Dia ga ribet kok dalam makanan."
"Iya, pa. Tadi juga minta di buatkan omlette."
"Yasudah, papa tinggal ya. Ada sesuatu yang harus papa urus." Anna mengangguk dengan cerianya.
***
Anna sudah mulai terbiasa dengan seluk beluk rumah milik mertuanya ini. Rumah yang cukup besar dengan tiga lantai, bahkan garasi pribadi milik mertua dan putra-putranya tak kalah besar dengan rumah. Bahkan garasinya di pisah antara motor dan mobil.Anna membuka pintu kamar milik suaminya. Di atas tempat tidur, Rayyan nampak meringkuk dengan memeluk guling kesayangannya dengan tangan kanan masih di aliri cairan infusan.
"Ray, bangun dulu yuk. Sarapan." Anna mengusap lembut wajah suaminya yang masih pucat.
"Hmm..sebentar, Kamu duluan aja." Anna masih mengusap lembut rambut hitam pendek Rayyan.
"Kalau kamu ga makan, aku juga ga akan makan." Perlahan Rayyan membuka matanya. Sedikit mengernyit karena selain silau sinar matahari namun juga pandangannya berbayang.
"Masih sakit kepalanya?" Rayyan menggelengkan kepalanya.
"Ga, lepasin infusannya. Aku mau makan di bawah aja." Rayyan bangun di bantu Anna. Sedikit mengernyit ketika rasa sakit kepalanya mulai kembali terasa.
"Kamu yakin?" Anna mengkhawatirkan kondisi Rayyan yang sekarang ini sedang drop. Terlebih musibah yang menimpa keluarga suaminya pasti sangat berdampak pada psikologisnya.
"Hmm.." Anna mulai melepaskan plester yang menempel pada jarum yang menusuk punggung telapak kanan Rayyan. Dengan hati-hati tentunya.
"Akhhh.. ishhh.." Rayyan menatap tajam wajah istrinya yang nampak menahan tawa.
"Maaf, sengaja. Habisnya kamu ga asik banget sih. Dari kemarin sakit mulu. Kita kan belum.." sontak Anna menutup mulutnya.
"Belum apa?" Rayyan masih menatap wajah Anna.
"Bukan apa-apa." Anna berdiri dengan kotak p3k yang lucu. Namun tangan kanannya di cekal oleh Rayyan.
"Kalau suami bicara jangan di cuekin." Rayyan berdiri, membalikkan badan Anna yang hanya sebatas dagunya.
"Tatap mataku.." Anna tertawa. Rayyan berbicara dengan nada si ozan bocah kecil yang dulu ramai di televisi.
"Sudah ah, ayo sarapan dulu." Rayyan kembali membalikkan badan Anna. Memeluknya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
REAL LOVE ✓(End)
Teen Fiction-lanjutan World Light- Di saat kebahagiaan di rasakan dua orang yang terikat oleh syariatNya. Maka di situ pula kan di uji olehNya berbagai permasalahan. Di saat itulah kita bisa tahu jika kita saling mencintai sesungguhnya atau mencintai semu. Cove...