Rl 20

1.4K 136 82
                                    

Anna dan  Zia sedang berolahraga pagi. Jalan pelan menjadi pilihannya. Zia sudah melahirkan sebulan yang lalu dengan normal. Anna tidak bisa menemani karena masih sibuk menjaga suaminya yang masih terbaring di ruangannya. Bahkan kamar rawatnya yang sedari dulu kini menjadi rumah keduanya. Kamar rawat itu di hias seperti kamar mereka. Foto-foto Anna dan Rayyan terpampang di sana.

"Kalau lelah bilang ya." Zia senantiasa menggenggam tangan adik iparnya ini. Perut besar adik iparnya sangat berat karena menjadi tempat tinggal keponakan-keponakannya. Jenis kelaminya masih di rahasiakan karena Anna tidak mau tahu. Biarkan itu menjadi kejutan saat lahirannya nanti.

"Kak duduk dulu ya." Anna meringis saat akan duduk di bangku pinggiran taman rumah sakit. Akhir-akhir ini dia sering mengalami kontraksi itu karena tanggal prediksi lahirannya sudah dekat.

"Minum?" Anna menggeleng.

"Kak? Melahirkan normal sakit tidak?" Zia menggelengkan kepalanya.

"Jangan fikirkan sakitnya An, tapi bayangkan wajah bayi-bayi kecil yang menanti ingin melihat dunia. Rasa sakitnya akan hilang dengan sendirinya."

"Aku takut." Zia memeluk Anna. Dia sangat tahu perasaan adik iparnya. Tertekan dan stress akibat kondisi suaminya yang masih sama sejak sembilan bulan yang lalu.

***

Nadine tak pernah absen dari sisi sang putra. Senyum lembut selalu Nadine berikan kepada putranya yang masih tertidur.

"Lihat, kumis adik mulai panjang lagi. Janggutnya juga. Anna pasti akan langsung memotongnya nanti. Kasihan istri kamu, dik." Nadine mengusap pipi Rayyan yang sudah sedikit kasar karena cambangnya mulai panjang.

"Mama lap dulu ya." Nadine mengambil lap di dalam tempat biasa Rayyan di lap. Semenjak sembilan bulan yang lalu Rayyan hanya di bersihkan secara di lap saja.

Nadine selalu terbayang saat Rayyan kecil. Dia selalu berceloteh ini itu saat di mandikan. Bahkan boneka bebek berwarna kuning selalu menemaninya mandi dengan sabun yang banyak.

"Ma..!!!" Zia terlihat panik. Dia membuka pintu kamar rawat adiknya.

"Kenapa Zi?" Tanya Nadine. Perasaannya mendadak tak enak.

"Anna, Anna mau melahirkan ma. Sekarang lagi di ruang persalinan." Nadine langsung bangkit. Wajahnya menyiratkan rasa bahagia namun juga khawatir.

"Ma, biar aku yang jagain adik. Mama temani Anna. Tante Aisyah belum datang." Itu suara Athar.

"Iya, bang. Nitip dulu ya." Nadine membungkuk dan menciumi wajah putranya. " sayang, bangun nak. Anna akan melahirkan. Sambutlah buah hati kalian dengan cinta." Nadine berat hati. Namun Anna sedang membutuhkannya.

"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi mama ya." Athar mengangguk dengan pasti.

***

Di ruang bersalin, Anna sudah terbaring dengan gurat-gurat kesakitan. Nadine mengenggam tangan Anna dengan erat. Ada Dokter Dewi dan para suster yang siap membantu.

"An, kamu pasti tahu kan. Jangan mengejan sebelum saya instruksikan. Kamu paham, An." Anna mengangguk.

Nadine senantiasa memberikan semangat untuk menantunya yang tengah berjuang demi cucu-cucunya. Setelah Zia melahirkan bayi laki-laki kini Nadine tak berharap banyak, yang penting menantu dan cucu-cucunya sehat.

"Arghhhhh.. hahh.. hah..." Anna menarik nafas dan membuangnya lewat mulut.

"Satu.. dua.. tiga. Mengejan.." instruksi Dokter Dewi.

"Eughhhh....."

"Tarik nafas."

Begitu seterusnya. Anna sudah lelah karena terus mengejan sejak sepuluh menit yang lalu. Dokter Dewi gelisah karena sahabatnya ini sudah pembukaan sempurna namun anehnya tak ada dorongan si bayi dari rahimnya.

REAL LOVE ✓(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang