Aroma tanah di waktu pagi. Segar dan tetap sama saja. Aku menghirupnya sambil memejamkan mata. Kemudian mengehembuskan pelan-pelan ke udara. Tidak ada pagi yang indah kecuali terletak kepada aroma khas dan kicauan burungnya. Aku masih disini, dengan beribu hal yang tak pernah kau ketahui.
Aku beranjak sesekali melukis awan di atas genting. Berharap kamu bisa melihat dari kejauhan sana. Awan yang aku lukis mencerminkan makna-makna. Ia akan dibawa angin menuju setiap atap genting tanpa merusak pesan-pesan nya. Hingga dengan sangat jelas, kau bisa membaca dan melihatnya.
Aku memilih untuk tidak mencampuri apa yang kau mau dibandingkan dengan apa mauku. Sesekali menekan dada karena itu adalah hal termudah dalam situasi sesulit apapun. Menggema, memberatkan hati dan memenuhi pikiran. Kamu terbang kemana-mana seperti balon udara disana. Bertemu dengan angin dan pepohonan rindang yang menyapa.
Kini. Orang-orang sudah mulai iri denganmu. Ia berharap aku memperlakukan mereka sama dengan cara aku memperlakukanmu. Menyirami hati dengan hujan, menaunginya dengan payung di tengah terik yang menjulang. Aku selalu bisa membuat orang lain mengerti. Mengerti tentang pilu dan derita.
Seusai itu. Petang mengganti bajunya dengan selimut malam, aku kembali dengan berita yang dibawa burung dari atas atap rumahmu. Burung memberitauku bahwa awan yang aku kirim telah sampai dan telah kau saksikan. Burung sambil tersenyum dan bercerita, bahwa kamu menyaksikan lukisan awanku dengan menyipitkan mata dan senyuman mengembang. Aku terharu dan bulan pun menutup diri di tengah malam.
Kafe Melati, 3 Januari 2019
Oleh Mohammad Faiq