Hujan. Ia berbicara lewat nada dan kelebatan. Nada berasal dari harmoni indah dari setiap bunyi genting. Ketika hujan, Semua orang akan tetap tinggal di rumah. Terpaksa menikmatinya. Mereka terperangkap dan tak bisa kemana-mana. Hujan mengurungnya. Kadang ia ada, meski tak berbunyi dan tak terasa.
Ada sisa setelah hujan tiba. Ia menyisahkan aliran-aliran kecil membentuk sungai di halaman. Ada aroma khas campur tanah dengannya. Aku bisa melihat jelas aliran sungai yang terbentuk. Kadang aliran itu persis seperti setelah seseorang menangis. Ada aliran melewati sela-sela di pipi. Ia turun perlahan. Hingga tak sanggup berucap meski pelan-pelan.
Aku yakin kamu tau apa yang aku bicarakan. Ketika kamu datang dan tiba-tiba menghilang, aku serasa harus belajar tentang iklim hati seseorang. Aku percaya bahwa hati memiliki iklim. Ia sama persis seperti kehidupan. Kadang seseorang menjadi sangat gembira, kadang murung seketika. Aku mempelajari nya setalah aku mengenalmu
Didalam setiap yang aku sembunyikan, aku selalu tidak bisa menyembunyikannya kepadaku sendiri. Aku bermain denganku sendiri dan disaksikan oleh orang lain. Bahkan, mereka menertawakanku. Aku tidak lebih malang dari perahu mainan. Kau tau perahu mainan, kan. Saat hujan tiba, ia akan hancur. Orang akan meninggalkannya dan membuat perahu mainan yang baru.
Kau tau. Dari dulu. Aku ingin sekali memiliki keberanian untuk menunjukkan kejujuran rasa. Aku telah menciptakan perahu selama ini. Setelah perahu itu jadi, aku tidak berani mendayungnya ke tengah lautan hatimu. Aku takut. Aku hanya bercerita di tepi pantai bersama pohon kelapa dan karang-karang.
Hingga kini. Perahu itu masih utuh. Ia masih terlihat sangat baru. Aku tidak tau kapan aku bisa mendayungnya. Aku ingin sekali ke tengah bersama perahu itu. Bahkan aku ingin berenang. Hingga aku tenggelam. Hingga aku menyatu. Dan hingga aku mati di dasar lautan hatimu.
Teras Rumah, 14 Januari 2019
Oleh Mohammad Faiq