Delapanbelas

10 0 0
                                    

Waktu itu aku teringat satu sentuhan tiba-tiba yang mengagetkan. Waktu dimana kamu tiba-tiba memukulku  dengan satu tepukan di pundak dari belakang. Tentu kamu selalu mengejutkanku dengan cara seperti tadi. Cara yang cukup memukau untuk membuatku kaget dan menyenangkan. Antara kaget dan menyenagkan adalah dua rasa yang menjadi satu. Aku tidak tau apa itu namanya. Hingga lama. Hingga aku hafal ritmenya. 

Biasanya, kamu melakukan itu ketika kita lama tidak berjumpa. Kamu melakukannya sebagai suatu kejutan. Kau simpan senyumanmu dari siapapun. Selama kita berpisah. Dan mengeluarkannya tepat ketika kita bertemu. Biasanya, kita berpelukan dengan begitu hangat dan menanyakan kabar masing-masing. Aku rindu suasana itu. Aku rindu kamu.

Sekarang, kamu entah dimana. Bekas tanganmu di pundakku sudah semakin menghilang, pertanda kamu jarang menepukku lagi. Bukan hanya aku yang merindukanmu, melainkan pundakku yang cukup malang itu. Aku terkadang kasihan ketika pundak itu mengomel sendirian dan tidak pernah jelas apa yang dia rasakan. Aku tidak bisa menghiburnya. Apa yang bisa aku lakukan sedang disaat aku juga merindukanmu. 

Aku berharap kamu tau satu hal. Aku yakin kamu tau pundak siapa yang menunggu. Aku percaya kamu pasti pulang. Kamu akan pulang dengan cerita-cerita sambil sesekali memberikan cubitan dan sikap-sikap manja. Aku selalu hidup dengan keyakinan. Entah seberapa lama keyakinan itu, akan aku pertahankan. Aku akan bertahan hingga keyakinan itu menjadi kenyataan.

Barangkali kamu sekarang sedang mengujiku. Kau membuatku merasa kehilangan. Kau membuatku sendirian. Dan aku memilih untuk tidak menduakanmu. Aku tidak memilih wanita lain selainmu. Aku hanya memilih bersama tulisan saja. Ya. Aku tidak masalah dengan tulisanku yang selalu murung, pilu dan menyedihkan. 

Tulisan menghibur hatiku seolah-olah sedang bercengkrama. Seandainya tulisan memiliki lisan, mungkin aku tidak perlu minta bantuan sepuluh jariku untuk mengetik dan menerjemahkan perasaan. Jika ia berlisan, aku langsung bicara saja. Aku minta pendapatnya. Aku minta penilaian kepadanya. Pendapat ia tentang kamu sebagai wanita yang aku pilih. Aku tau ia hanyalah kertas kosong. Tapi ia menerimaku, menemaniku, mendengarkanku dan kadang melihat tentang pilu yang ada didalam dadaku.

Aku yakin suatu saat. Kamu akan datang dengan satu tepukan di pundak. Suatu saat nanti. Lama. Lama sekali. Aku masih menunggunya. Selama apapun itu. Bahkan. Aku sangat yakin, suatu saat, kamu tidak hanya meletakkan tangan. Melainkan kamu akan meletakkan kepalamu, tepat di atas pundakku. Aku yakin itu. 

Mark Us, 08 Januari 2019

22 Sajak Untuk Rahma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang