Bitter reality (EunsangxDongpyo)

1K 86 6
                                    

Sorot matahari jingga menemaniku dalam termangu, memikirkan salah atau tidaknya keputusanku. Namun, setidaknya ia terlihat bahagia entah itu nyata atau semu. Jika dilihat dari sudut matanya yang berkerut ketika tersenyum, aku yakin ia tulus. Kini waktunya aku yang pergi, pergi untuk meninggalkan kebahagiaan di antara mereka. Seperti lagu let her go dari passanger yang salah satu liriknya, ‘only know you love her when you let her go’. Ya, lirik itu nyata. Tentang cinta yang ia biarkan pergi. Seperti aku, merelakannya untuk sahabatku. Bukannya aku bodoh atau munafik, tapi itu takdir yang sudah digariskan tuhan.

Satu tahun yang lalu…
“Dongpyo, Ibu ingin menceritakan sesuatu yang tidak kamu ketahui” ucap ibu padaku, sorot matanya penuh dengan rasa sedih, amarah, dan penyesalan.
“Iya Bu, ada apa? Apa yang ingin Ibu bicarakan?” tanyaku penuh selidik dengan rasa penasaran yang memenuhi isi kepalaku.
“Dia kakak kamu. Saat ia lahir, keadaan ekonomi keluarga kita sangat buruk. Entah apa yang dipikirkan oleh almarhum Ayahmu sehingga ia tega menitipkannya dia di panti asuhan. Umurnya berbeda satu tahun denganmu. Sungguh Ibu ingin bertemu dengannya lalu meminta maaf padanya. Maafkan Ibu Nak. Andai saja waktu itu Ibu bisa mengubah pemikiran Ayahmu, pasti sekarang kita bisa berkumpul bersama,” jelas ibu dengan air matanya yang mulai berderai. Tangannya tak henti mengusap potret seorang bayi yang baru lahir. Mungkin ia baru berani bercerita sekarang karena ayah telah tiada.

“Namanya Song Eunsang, dia besar di panti asuhan Harapan Bunda. Ibu ingin kamu pergi ke sana lalu meminta informasi tentangnya. Ibu mohon tolong temukan dia, Ibu ingin sekali bertemu dengannya” Lanjut ibu meminta bantuanku. Kentara sekali bahwa ia sangat merindukannya dan juga menyesali perbuatannya dimasa lalu. Aku berjanji aku akan menemukannya karena aku juga penasaran dengannya.
“Iya Ibu, aku pasti akan membawanya kemari untuk bertemu dengan Ibu” Jawabku mantap.

Selasa siang ini aku harus kembali ke sekolah karena panggilan dari organisasi. Teriknya matahari tidak menghapuskan semangatku untuk berangkat ke sekolah, karena ini memang kegiatan favoritku. Sesampainya di sana, sekretaris sedang mengabsen tiap anggota yang hadir.

“Ada yang namanya Song Dongpyo, kelas 10 IPA-7?” tiba-tiba saja namaku dipanggil oleh salah satu kakak kelasku.
”Saya kak!” ucapku lantang agar terdengar olehnya.
“Kamu ditunggu di ruang osis setelah rapat selesai” jelasnya singkat.
Tumben sekali aku dipanggil, mungkin ada keperluan pikirku dalam hati.

Setelah itu, kami melakukan agenda rapat yang dilakukan setiap bulan seperti biasanya. Tak terasa matahari telah condong ke barat, tandanya hari sudah semakin sore. Rapat pun diakhiri. Namun, aku harus pergi ke ruang osis seperti yang tadi dikatakan oleh salah satu senior osis. Setibanya di sana hanya ada dia seorang diri. Aku pun masuk dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Saya Dongpyo kak, ada perlu apa memanggil saya kemari?”
“Ini kakak menemukan buku kamu di kantin kemarin saat isitirahat” ujarnya lalu memberikan sebuah buku kepadaku.
“Oh iya terimakasih kak” saat aku mengambilnya, tak sengaja tangan kami bersentuhan. Sungguh ini menciptakan suasana canggung di antara kita.
“Eh ma-maaf kak” ucapku sedikit terbata-bata.
Ia pun hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang tipis.

Saat aku hendak melangkah keluar dan membelokan badanku, tak sengaja mata kami bertemu. Iris matanya yang berwarna coklat membuatku berhenti sejenak lalu menatapnya. Tidak mau berlama-lama menatapnya, aku pun segera bergegas pulang.

Hari demi hari bulan demi bulan telah aku lewati, aku pun telah naik ke kelas 11. Kini aku tahu namanya, dia adalah Lee Eunsang. Sekarang aku mulai dekat dengannya, perasaan yang tidak bisa aku sangkal pun telah tumbuh. Seperti saat ini, dia mengajakku pergi ke taman di sore hari.

“Apa kamu suka coklat?” tanyanya padaku dengan lembut, matanya selalu saja menatap tepat dengan iris mataku. Tentu saja hal ini membuatku nyaman.
“Ya, aku sangat suka coklat” jawabku padanya. Tak ada lagi bahasa formal diantara kita. Sapaan saya-kamu pun telah berganti menjadi aku-kamu.
“Kalau begitu tunggu di sini ya, aku akan membeli es krim coklat di sana” ucapnya kemudian pergi ke pedagang es krim yang berada di seberang taman.

Sambil menunggunya, aku pun memperhatikan sekeliling taman dengan pemandangan senja yang indah. Tepat di depan tempatku duduk terdapat danau dengan airnya yang jernih dan ditumbuhi pohon disekelilingnya. Ditambah suasana yang teduh membuatku betah menghabiskan waktu di sini. Tak lama kemudian dia datang membawa dua cone es krim.

"Mm, Dongpyo! Sebenarnya aku ingin menceritakan sesuatu tentang masa laluku kepadamu” ucapnya seraya menyodorkan satu cone es krim padaku.
“Apa itu? Aku akan selalu siap untuk mendengarkannya” tanyaku padanya, tak lupa dengan senyum yang selalu tercipta saat sedang bersamanya.

“Aku ini berasal dari panti asuhan, saat aku lahir ayahku menitipkanku dipanti asuhan Harapan Bunda. Lalu pada saat umur tujuh tahun aku diangkat oleh keluarga Lee, sehingga namaku diubah menjadi Lee Eunsang. Oh iya, nama asliku Song Eunsang. Dan aku ingin sekali bertemu dengan keluarga kandungku”

DEG

Perasaan sedih kecewa dan bingung seakan menjadi satu memenuhi pikiranku. Bagaimana bisa seseorang yang selama ini aku cintai ternyata adalah sosok kakak yang aku cari. Sulit untuk menerima kenyataan ini. Di satu sisi aku bahagia, tapi di sisi lain ini terlalu tidak nyata bagiku. Mungkin ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menerimanya. Sebenarnya aku bisa saja melupakan rasa cintaku padanya. Namun, menerima dia –orang yang pernah aku cintai- sebagai kakak kandungku sendiri rasanya terlalu berat, terlalu mustahil.

“Dongpyo, are you okay? Kamu kenapa dari tadi malah bengong kaya gitu?” tanyanya dengan mengibaskan tangannya di depan wajahku.

“Hah? G-gak papa kok, aku baru inget kalo aku harus cepet pulang” jawabku menghindari berbagai pertanyaan yang mungkin akan ia tanyakan padaku.

“Ya udah aku antar pulang” tawarnya seramah mungkin padaku, tapi aku menolaknya dengan halus.

Saat ini yang aku butuhkan hanyalah menyendiri untuk menetralkan pikiranku. Selain itu, aku tidak ingin dia menyadari perubahan suasana hatiku setelah mendengar ceritanya. Aku tidak ingin dia salah paham. Segera saja aku pergi dengan menaiki taxi yang kebetulan lewat, mungkin tuhan sedang memihak padaku kali ini.

Ending di chap berikutnya!

Pdx101ShortStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang