Tujuh

8.8K 434 18
                                    

Karena mungkin tugas kantorku hari ini tidak banyak, aku memberi kabar pada Yogi kalau aku sudah di depan gerbang kantor bersiap untuk pulang. Mungkin beberapa menit lagi Yogi akan sampai menjemputku untuk pulang, hari masih sore dan aku lihat ke arah jarum jam tanganku masih menunjukkan pukul lima sore. Selagi aku menunggu, aku lihat ada seorang nenek yang berjualan ubi bakar di pinggiran jalan tak jauh dari gedung kantor, tapi diwaktu yang bersamaan aku juga melihat seorang pria dengan seragam seperti satpam menghampiri nenek tersebut seperti sedang marah-marah dan berteriak.

Wajah sang nenek aku liat tidak tenang, sepertinya beliau takut dengan sosok satpam itu yang mulai mengusirnya namun beliau tetap keukeuh untuk berjualan meski sudah di larang.

"Pergi dari sini! Sudah saya bilang Nek berulangkali jangan berjualan disini."

Nenek itu melawan meski air mata beliau mulai terlihat jatuh membasahi pipi, "Maaf Pak, saya nggak tau harus berjualan dimana lagi. Hanya sore hari Pak, tolonglah pak."

Satpam itu juga meksi terlihat galak namun masih ada sisi etika, karena mungkin saja dia juga sudah mandat dari atas untuk menertibkan jalanan sekitar. "Nek, maaf sebelumnya. Saya sudah bicara pelan ke nenek dari awal, sampai saya benar-benar ditegur oleh bos saya karena nenek masih bersikeras ingin berjualan disini." tuh kan benar, pasti Pak Satpam itu juga merasa tertekan dengan tugas yang diberikan bosnya.

Aku pun mulai menghampiri, dengan hanya bermodal keranjang kecil berisi beberapa ubi nenek tersebut masih mencoba melawan satpam itu. Miris rasanya, tapi inilah peraturan, kedua orangtua itu baik nenek ataupuk si Pak Satpam juga tidak punya pilihan lain mungkin. "Permisi." ujarku sambil menghampiri kedua orangtua itu lebih dekat. "Maaf, ada apa ya Pak?" aku bertanya pada Pak satpamnya.

"Ini loh, nenek ini sering banget jualan disini. Padahal sudah saya bilang kalau jualan disini tuh nggak boleh." jelasnya lagi.

Si nenek pun hanya menundukkan kepalanya sambil membenahi ubi-ubinya.

"Oh begitu."

"Tolonglah Pak, ini juga untuk anak saya lagi sakit, buat tebus obat Pak. Obat anak saya sudah habis." Nenek itupun kembali bicara dan hal itu membuatku semakin tidak tega melihat beliau.

"Saya boleh bicara sama neneknya sebentar Pak?" aku meminta waktu dan izin agar bisa bicara dengan neneknya.

"Silahkan, saya kembali dulu ya." Pak satpam itu kembali untuk berjaga di room, dengan ekspresi kesal masih terlihat di wajah bapak tersebut.

Kemudian dengan tersenyum aku mulai menatap sang nenek yang sedang menghapus air matanya, "Maaf, Nenek. Lebih baik kita pindah ke depan taman saja yuk, disini nanti diomelin satpam lagi." aku mulai berusaha mengangkat keranjang berisi ubi tersebut. Usahaku memindahkannya ke dekat taman yang lokasinya tidak jauh dari gedung kantorku.

Tiba-tiba dengan sigap nenek tersebut menahan dan menarik tanganku, "Jangan dek, kalau saya jualan disana nanti ada preman yang minta uang pajak, sedangkan nenek saja tidak punya uang, ubinya belum laku." lagi-lagi suara rintihan itu terdengar dan membuat diriku merasa iba sekali. Entah apa yang harus aku lakukan, sepintas aku berpikir kalau memang benar kehidupan di Jakarta itu berat.

Terdiam aku sejenak, kemudian aku merogoh kantung celana dan melihat beberapa lembar uang yang masih aku punya. "Maaf nek, bukan maksud aku lancang. Kalau gitu aku beli semua deh ubi nenek, ini ada 1-2...7 ya, ketujuhnya aku beli deh. Gimana?" aku tersenyum memandang wajah nenek itu dengan miris sebenarnya, dengan tubuh yang sudah harus dipapah namun beliau malah harus berjualan begini.

"Beneran mau beli ubi nenek?"

"Yaialah dibeli, kalau minta nanti nenek nggak dapet duit dong." kataku yang menjawabnya dengan terkekeh pelan. "Semuanya berapa?" lanjutku menanyakan harga ubinya.

BEGAJUL - BoyxboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang