Malam hari ketika hanya terdengar jam dinding yang berputar, suara kodok yang mendengkur, dan bahkan jangkrik yang bernyanyi bersahutan. Aku tidak yakin kalau diriku baik-baik saja, perutku kembali berkontraksi dan ingin rasanya muntah, karena tidak tega melihat Yogi yang tertidur lelap di sebelahku, aku segera berguling keluar dari tempat tidur dan berlari pelan menuju toilet. Rasanya apa yang aku makan tadi sore keluar semua dan mulai tercium aroma tidak enak, muntah, ya aku akhirnya muntah dan nafasku tersengal-sengal.
Setelah cukup bagiku mengeluarkan segalanya, aku segera berdiri dan terkejut ketika melihat sosok Yogi yang berdiri di ambang pintu toilet dengan raut wajah masam. Suamiku itu langsung membantu diriku untuk berjalan dan duduk di ruang tengah di sofa, "Kamu muntah?" tanya Yogi dengan memberikan segelas air putih yang ia ambil tak jauh dari arahnya.
Sebelum menjawab, aku meminum air itu dan segera memeluk pelan pria tersebut. Dengan memangku kepalaku dipundak kemudian aku meneteskan air mata. "Sayang, sakit.... Sakit sekali." ujarku yang malah membuat Yogi langsung memandang ke arah wajahku.
"Sayang..." Yogi mengusap air mataku terlebih dahulu, "Jika memang sudah tidak kuat, aku tidak akan memaksakan. Lebih baik kita selesaikan program ini ya?"
"Maksudmu?" aku langsung terdiam mendengar ucapan Yogi barusan. "Menyelesaikan dengan cara?" sedikit emosi, aku sebenarnya sudah tau maksud dia apa.
Yogi menatapku dengan wajahnya yang khawatir. "Ya habis harus gimana lagi? Aku tidak tega melihatmu menahan rasa sakit. Jadi, lebih baik kita...."
"Nggak! Nggak Sayang, aku nggak akan melakukan hal itu. Yang aku butuhkan ketika aku mengeluh adalah kamu selalu ada di sisiku, itu sudah cukup. Tapi kenapa kamu malah bicara begitu?" dengan sikapku yang mulai marah, diriku berdiri dan berjalan meninggalkan Yogi untuk ke kamar.
Tidak aku sangka kalau Yogi bakal berpikir begitu, aku tau dia nggak bakalan tega melihat aku kesakitan begini. Tapi kalau harus mengorbankan nyawa yang ada dalam perutku ini maka aku tidak bisa. Aku malah lebih rela sakit dibandingkan harus mengorbankan jiwa yang tidak bersalah. Aku duduk di pinggir kasur dan melihat Yogi kembali hadir di sebelahku dengan ekspresi yang masih sama.
"Maaf, kalau aku terlalu berlebihan. Tapi jujur aku tidak tega melihatmu terus-menerus menahan rasa sakit." Yogi kembali memelukku dari sebelah, menaruh kepalaku dipundaknya dan mengelus pangkal kepalaku.
Terdiam aku dimanjakan olehnya, "Maaf Sayang, telah membuatmu bingung. Aku hanya butuh perhatian kamu aja kok, melihat kamu selalu siaga disisiku itu sudah menjadi penguat diriku, aku bisa. Ya, aku bisa Sayang."
Kemudian Yogi mencium keningku, mengecup bibirku dengan lembut dan terus memelukku dengan erat.
•••
•••
•••Sebagai seorang yang pengurus rumah ketika bersama suami, aku pagi ini harus menyiapkan sarapan dan juga teh hangat untuk Yogi. Bahkan aku sekarang bisa membuat salad buah segar untuk disajikan, ketika suamiku itu sibuk di depan laptopnya, saat itulah aku menyiapkan teh, salad, dan juga roti lapis untuk ia konsumsi pagi ini sebagai sarapan.
"Ini sarapannya ya Sayang, oh iya, kamu nggak ke studio hari ini?" sebelum kembali ke dapur, aku bertanya pada suamiku itu.
Yogi menarik sebentar tanganku untuk mendekat padanya, dia mencium pipiku pagi ini. "Aku hari ini di rumah aja, udah ada pengganti aku sementara di studio, hari ini juga aku harus selesaikan editing foto sebelumnya buat di kirim." jawabnya dengan masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Matanya sibuk banget di layar laptop, biarin deh namanya juga sibuk kerja demi menghidupi keluarga kecil ini.
Langkahku kembali menuju dapur namun di tengah perjalanan aku menengok cermin besar di dekat meja, ternyata saat aku sadari sekarang perutku mulai membesar alias menonjol layaknya ibu-ibu hamil. Bedanya aku bapak hamil deh kayaknya. Lucu sih, tapi aku menikmati prosesnya yang dari sakit sampai mual sudah aku rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEGAJUL - Boyxboy
Short StoryDia seorang fotografer yang pertamakali membuat diriku nyaman...