BAB 8

5.2K 417 6
                                    

Aku dan Morgan sampai di restoran berkonsep retro. Di salah satu meja terlihat Evan yang sedang menunggu. Evan mengenakan stelan jas formal. Dia tampak lebih berwibawa dengan jas hitamnya.

"Kok pengunjungnya Cuma ada Evan?" tanyaku heran pada Morgan. Restoran ini benar-benar sepi. Hanya ada beberapa karyawan yang bersileweran.

"Ya, kau pikir dong, kalau banyak pengunjung bisa-bisa Evan remuk direbutin buat foto, dicium, dipeluk, dicakar. Kau ini seperti tidak tahu kisah selebritas yang sering dicakar fansnya saja."

"Fans yang baik tidak akan mencakar idolanya." Balasku mantap.

"Hei, itu bukan cakaran yang disengaja, Gigi. Kau ini perlu jadi selebritas dulu sebelum benar-benar paham. Penulis novel tapi cacat logika." Sembur Morgan.

Aku memberengut kesal.

"Evan," setelah mereka sampai di tempat duduk Evan, Morgan menyapa dan mereka berjabat tangan.

"Ini, Gigi." Evan menatapku dengan tatapan khas Evan. Nakal sekaligus lembut.

Evan mengulurkan tangannya. Aku hanya menatap tangan itu kemudian menatap mata Evan. Mata cokelat yang menawan. Untuk sesaat aku seakan berada di dimensi lain. Aku tersadar dan mengerjap.

"Tangan Evan perlu dijabat, Gi, bukan Cuma ditatap seperti itu." Bisik Morgan.

Aku menjabat tangan Evan yang lembut dan segera melepas jabatan itu. Takut kalau Evan menyuntikkan racun dari jabatan tangannya.

"Baiklah, aku akan pergi sebentar. Aku lupa aku ada keperluan." Kata Morgan, sontak aku menatapnya dengan mata membelalak.

"Morgan, kau bilang kau akan—"

"Gigi, aku ada perlu sebentar. Tolong, kau sudah 24 tahun. Jangan manja, oke?" Morgan melesat pergi.

Sialan! Apa-apaan ini?!

Kencan? Oh my God.

"Kau mau pesan apa?" tanya Evan.

"Samakan saja denganmu." Kataku cuek.

"Aku mau makan Roast Meats, black pudding, Fish and Chips, muffin dan minum wine."

Aku melongo mendengar dia menyebutkan pesanannya. Hei, Evan tidak bertubuh sebesar tank dan dia memesan makanan sebanyak itu?

"Aku, Fish and Chips saja." Kataku. "Dan tolong aku hanya ingin minum air putih. Tenggorokanku agak sakit." Dustaku. Aku tidak mau mabuk malam ini.

"Oke," Evan memanggil pramusaji dan dengan ramah pramusaji itu mengiyakan pesanan Evan.

"Ini kencan yang romantis kan?" salah satu sudut bibir Evan terangkat ke atas. Dia tersenyum tapi senyum mengejek.

"Apa maksudmu?" tanyaku heran.

Sesaat Evan tertawa.

"Ya, Morgan bilang kau sudah tidak pernah pacaran selama empat tahun. Dan tidak ada pria yang mengajakmu makan malam berdua seromantis ini."

Sial!

Oke, aku memang tidak pacaran selama empat tahun, tapi, Ya Tuhan, kenapa Morgan membuka aibku pada Evan.

Aku terdiam. Aku bingung harus berkata apa dan bersikap bagaimana.

"Jangan kikuk begitu, aku sudah tahu semua tentangmu, Gigi."

Aku sudah tahu semua tentangmu, Gigi. Itu adalah kalimat yang sukses membuat bulu kudukku meremang. Kenapa pria ini tertarik padaku sih? Apa karena aku pasti mau untuk menjadi istrinya karena Morgan berhutang padanya. Jadi, Evan menganggapku sebagai barang yang perlu diketahuinya sebelum benar-benar menjadi miliknya?

"Aku rasa menjadi penulis novel bukanlah pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Bekerjalah denganku untuk menjadi istriku."

"Menulis adalah pekerjaan hati, Evan. Kau pikir semua orang bekerja seperti dirimu yang hanya mengandalkan kesombonganmu dengan akting pas pasan." Kataku pedas.

Evan terdiam sesaat kemudian dia tertawa.

"Tidak ada yang lucu."

"Memang tidak ada. Tapi melihatmu menghakimiku seperti itu membuat wajahmu lucu. Terkadang orang memang suka begitu, dia lebih senang mencerna berita murahan tanpa diketahuinya secara pribadi. Dan tanpa mau mengecek kebenaran berita itu."

"Tidak ada yang perlu dicek, semuanya sudah jelas. Wanita yang pernah kau tiduri malah terang-terangan memperlihatkan fotomu yang tidur di ranjangnya pada media."

Lagi-lagi Evan tertawa. Sebenarnya itu adalah berita tahun 2018 lalu. Berita Evan meniduri seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan bar itu sempat menjadi trending topic di twitter.

"Dia hanya membuat gosip untuk mengangkat namanya." Evan berkata dengan mimik wajah serius. "Aku bahkan tidak mengenalnya. Dia juga penyebab aku dan mantan kekasihku putus. Itu hanya sensasi yang dibuat pihak manajemennya."

"Bukankah dia pelayan bar. Pelayan bar tidak butuh sensasi untuk mendongkrak namanya, memangnya dia selebritas apa."

"Dia pelayan bar sekaligus model. Dia jelas butuh sensasi agar namanya dikenal publik dengan seperti itu banyak brand yang akan mengontraknya."

"Tapi, saat itu kau tidak membantah berita itu?" lama-kelamaan aku penasaran dengan cerita Evan.

"Karena pihak manajemennya telah bekerja sama dengan pihak manajemenku."

Untuk kali pertama aku merasa bersalah pada Evan karena telah menghakiminya. Tapi, siapa tahu Evan hanya berbohong. Pria dengan tatapan nakal ini tidak bisa dipastikan ucapannya sesuai dengan kebenaran yang ada.

***

Married With The Bad Actor (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang