Tiga hari kemudian, seseorang datang ke rumah dan mencariku. Dia bilang ada paket untukku, aku keluar dengan baju tidur. Ya ampun, ini masih pagi dan aku belum mandi. Pria itu mengenakan topi berwarna putih dan tersenyum ramah.
"Gigi?"
"Ya."
"Ini, ada paket untuk Anda." Dia menyerahkan box kecil yang masih dibungkus rapih.
"Paket?" dahiku mengernyit. "Dari siapa?" tanyaku.
"Saya tidak tahu. Tolong tanda tangan di sini." Dia menyerahkan smartphonenya.
Setelah tanda tangan dia pamit dan berterima kasih. Seharusnya aku kan yang berterima kasih kenapa malah dia?
Aku kembali masuk ke kamarku dan membuka bungkusan paket itu. Sebuah jam tangan mewah berwarna silver. Setahuku jam tangan ini sering dipakai aktris Hollywood.
"Dari siapa ya?" gumamaku.
"Jangan-jangan fansku. Tapi, bukannya aku tidak punya fans." Aku tersenyum kecut.
Beberapa saat kemudian ponselku berdering tertera nama di layar Evan.
"Halo," sahutku.
"Kau sudah menerima oleh-oleh dariku?" tanyanya.
"Jadi, kau yang membelikan jam tangan untukku?"
"Hmmm. Kau suka?"
Untuk beberapa saat aku terdiam. Aku bingung harus bilang apa. Apakah aku suka? Jelas. Tapi aku malu mengatakan kalau aku suka jam tangan pemberiannya.
"Aku tidak minta oleh-oleh." ujarku ketus.
"Tapi, aku ingin memberi. Dan jangan lupa jamnya dipakai ya. "Ma'af, aku tidak sempat memberikannya langsung, aku tidak punya waktu. Pulang dari Swiss aku langsung syuting. Jadwalku padat."
"Hei, kau tertidur?"
"Tidak. Aku mendengarkanmu kok."
"Baiklah, aku hanya ingin memberitahu kalau jam itu dariku."
"Ya."
"Oke, aku akan kembali ke tempat syuting."
"Evan," panggilku.
"Ya," sahutnya.
"Terima kasih."
"Aku terima ucapan terima kasihmu."
Dan aku mematikan telepon secara sepihak.
***
Hari ini Rose tidak muncul dan inilah saatnya aku memberitahu Morgan sebelum kakakku itu pergi bekerja. Aku membuat puding dihiasi seonggok krim dan violet berlapis gula.
"Pagi Morgan," sapaku ketika melihat Morgan masuk ke ruang dapur.
"Kau sedang apa?" tanya Morgan keheranan melihat aku sibuk di dapur.
"Aku sedang masak, kau tidak lihat?"
"Adikku memasak? Haha!" dia tertawa.
Aku melipat tangan di atas perut. "Kenapa?"
"Ayo makanlah, aku masak untukmu hari ini." Kataku memotong daging panggang yang baru keluar dari oven dan menyerahkannya pada Morgan.
Morgan makan dengan lahap dan dia tidak banyak berkata.
"Morgan," panggilku.
"Ya," sahutnya.
"Aku menemukan buku usang milik nenek. Isinya catatan tentang kita—emm—lebih ke ramalan sih."
Morgan tersedak. Aku memberikan bala bantuan tisu padanya.
"Kau menemukan buku milik nenek di mana?"
"Di kamarnya. Sungguh itu berisi karaktermu dan karakterku dan tentang jodoh. Aku baru membaca halaman pertama. Aku tidak berani membaca halaman berikutnya.
"Itu pasti horor." Ekspresi wajah Morgan seperti ketakutan.
"Kau tahu soal buku itu, nenek, ramalan..." aku menatapnya dengan tatapan menuntut.
"Mum memberitahu kalau nenek suka menulis tentang kita di bukunya. Mum bilang, ketika dia menulis wajahnya terlihat serius seperti bukan nenek. Makanya jangan dibaca buku itu. Lebih baik kau menempatkan ke tempatnya lagi."
Bulu kudukku meremang mendengar pernyataan Morgan. Aku tidak berani bertanya lagi. "Temani aku mengembalikan bukunya ke kamar nenek."
Morgan mengangguk.
***
Aku menatap layar laptopnya dan cerita baruku sudah sampai bab lima. Novel ini harus selesai selama satu bulan agar aku bisa punya uang dan membeli buku baru. Sudah empat bulan aku tak pernah membeli buku. Dan ini sangat menyiksa. Meskipun aku masih merasa horor akan cerita Morgan, tapi aku berusaha untuk biasa saja dan menganggap semuanya tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba melupakan isi buku itu.
Bel pintu rumah berbunyi dan aku langsung menuju ke sumber suara. Aku mengintip dari balik gorden. Evan. Dia datang mengenakan kaos oblong hitam, kacamata hitam dan celana jeans ketat.
"Hai, calon istriku." Dia tersenyum.
"Ada apa?" tanyaku ketus.
"Kau tidak mempersilahkan aku masuk?"
Aku memutar bola mata jengah dan masuk ke rumah. Evan mengekor. Evan duduk tanpa disuruh. Dia duduk dengan gaya khas seorang pria bengal. Mengangkat sebelah kakinya dan merentangkan kedua tangannya di bahu sofa.
Evan menatap pergelangan tanganku. "Kau tidak memakai jam tangan pemberianku?"
"Akan kupakai kalau aku keluar rumah. Sayang, jam tangannya mahal. Aku tidak ingin merusaknya sebelum waktunya rusak." kataku.
"Kau tidak mau duduk denganku?" Evan menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
"Aku harus membuatkanmu minuman dulu," kataku menghindar.
"Tunggu," cegahnya. "Besok malam, kau datang ke rumahku ya. Aku akan memperkenalkanmu pada keluarga besarku. Kakek akan senang jika istriku seorang penulis." Katanya dengan hangat. Ini permintaan yang tulus dan lembut.
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan menyeret Morgan ke penjara." Oke, ini ancaman dari Evan.
"Dia temanmu," kataku yang seketika merasa ngeri mendengar Evan berkata demikian.
"Tapi dia sudah membohongiku. Jangan bermain-main denganku, Gigi. Aku serius." Evan berdiri. "Kalau sampai besok malam tidak ada, malam itu juga aku akan menyeret Morgan dan mengambil alih rumahmu ini." Ancamnya mengerikan.
Aku menggeleng tak percaya. Terlihat jelas raut wajah arogan Evan. Dia menghampiriku dan menatapku angker sebelum keluar dari rumah. Oke, aku paham siapa Evan. Dia pria yang menyenangkan tapi ketika permintaannya tidak dituruti, dia akan berubah menjadi monster yang mengerikan. Mungkin itu sebabnya kenapa Morgan terlihat takut saat dia menceritakan soal hutangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With The Bad Actor (21+)
RomanceAdult Romance ❤ Romance comedy ❤ Gigi merasa sial ketika ia harus dijadikan alat untuk membayari hutang kakaknya--Morgan pada Evan yang notabene terkenal dengan label Bad Actor. Evan mengira Gigi adalah fans fanatiknya ketika Gigi berhasil masuk ke...