"Ayo kita ulangi lagi latihannya." seru Oliver mengibaskan poni miring rambutnya.
"Dimulai dari kau, Jane." titahnya.
Jane berdiri dengan anggun. Dia berlatih berdiri anggun sebanyak lima belas kali demi jatah 20% dari Oliver. Ya, Oliver memintanya berubah hanya untuk satu malam demi transaksi. Jane menempelkan kedua telapak tangannya dan diletakkan di depan perut seraya tersenyum manis. "Selamat datang Mr. Sanders dan Mrs. Sanders yang terhormat. Silakan masuk," katanya berlagak seakan-akan di depannya ada orang. "Silakan duduk." Jane duduk.
"Gigi," titah Oliver.
"Selamat malam, Mr dan Mrs. Sanders." aku memasang senyum tolol. "Boleh aku bawakan tasmu?"
"Gigi, Mr dan Mrs. Sanders sudah duduk." protes Oliver sambil memperhatikan ekspresi dan sikapku dan Jane secara bergantian.
"Ah!" aku menepuk jidatku keras. "Ma'af," kataku dengan wajah menyesal.
"Kau ini kenapa?" tanya Jane.
Aku biasanya lebih pintar dan lebih cepat menangkap apa pun daripada Jane.
"Suami-istri itu sudah duduk. Ganti kata-katamu, jangan soal tas." perintah Oliver. Ya, dia sutradara untuk drama kelas teri yang dibintangi aku dan Jane.
"Senang bertemu dengan pasangan suami-istri yang ideal ini." aku kembali memasang senyum tolol. "Oliver cerita Anda seorang direktur di perusahaan minyak."
"Ya, dan kami bangga bisa bertemu dengan Anda." kali ini giliran Jane.
"Aku akan memanggil Oliver," Jane beranjak dan beringsut mundur ke arah Oliver.
"Lukisan Oliver memang berbeda dengan kebanyakan lukisan lainnya. Pengaggum lukisannya banyak sekali mulai dari mahasiswa yang kritis, aktor, aktivis, CEO hingga anggota kerajaan." Oke, aku mulai keterlaluan. Tapi, ini perintah Oliver.
"Oliver memang lebih suka melukis dengan tema romantisme, makanya kebanyakan lukisannya terinspirasi dari cerita-cerita Shakespears. Salah satu lukisan yang Anda minati adalah lukisan yang emosional, Mr. Sanders. Sangat menyentuh perasaan bagi saya sebagai seorang perempuan."
"Bagus!" Oliver tepuk tangan. "Pemilihan kata yang tepat. Kau cocok mendapatkan oscar, Gigi." Oliver terbahak. "Kurasa kita akan melanjutkan latihannya besok."
"Oke," sahut Jane.
"Jadi mau kemana kita sekarang?" tanyaku menatap Jane dan Oliver secara bergantian.
"Aku ingin main skateboard, kalian ikut saja denganku."
Aku dan Oliver saling berpandangan. "Boleh juga." Oliver mengangguk-ngangguk.
***
Sebelum ke tempat bermain skateboard Jane, aku dan Oliver pergi ke supermarket untuk membeli biskuit kesukaanku. Oliver memilih menunggu di mobil. Aku melihat seorang pria tampan mendekat dan mengambil biskuit incaranku. Masalahnya biskuit itu hanya tinggal satu di etalase. Oke, aku tahu, aku yang salah karena tidak segera mengambilnya. Tapi, ya ampun, itu biksuit kesayanganku.
"Ma'af, aku melihat biskuit itu terlebih dahulu dan hendak membelinya."
Dia menatapku kalem, lembut dan santai. Dia tersenyum. "Baiklah, untuk Anda." Dia menyerahkan biskuit rasa kelapa itu.
"Terima kasih," balasku. Matanya berwarna hijau cerah dan kulitnya putih kemerahan. Memiliki rahang tegas dan ramput rapih yang klimis.
"Sebenarnya saya suka biskuit rasa keju, tapi entah kenapa biskuit rasa kelapa itu berhasil menggoda saya." Katanya.
Tanpa pikir panjang aku menyobek wadah biskuit dan menawarkan isinya pada pria asing ini. "Cobalah," aku menatapnya seraya tersenyum.
Dia mengambil satu dan mencobanya. Dia makan dengan penuh penghayatan. "Enak dan renyah. Mungkin biskuit rasa kelapa ini akan menjadi salah satu cemilan favoritku." Ujarnya.
Aku tersenyum padanya dan dia membalas senyumku. Senyumnya yang lebar membuat lesung pipinya terlihat jelas.
"Biskuit ini memang enak dan selama beberapa tahun belakangan biskuit ini adalah cemilan favoritku."
"Rasa kelapanya terasa. Ngomong-ngomong terima kasih ya atas biskuitnya."
"Ya, sama-sama."
"Senang bertemu Anda," dia mengulurkan tangannya dan tanpa pikir panjang aku membalas uluran tangannya.
"Chris."
"Gigi."
Kami saling tersenyum sebelum dia melepas jabatannya dan melesat pergi.
Saat aku sampai di dalam mobil, Oliver menggerutu dan cemberut. "Lama sekali."
"Tadi aku bertemu seorang pria tampan," mataku berbinar-binar menatap Oliver.
"Oh ya?" Oliver balik menatapku dengan tatapan meledek. "Tolong sadar diri kau ini akan menjadi calon istri Evan. Kau tidak boleh memuji pria lain dengan sebutan pria tampan."
"Hei, aku tidak pernah menginginkan menikah dengan Evan." protesku.
"Ya, tapi setidaknya kau menghormati dia sebagai calon suamimu."
"Kau ini kenapa Oliver?" aku bertanya heran.
"Aku mencoba membayangkan diriku sebagai Evan." katanya lalu terbahak. Aku memukul-mukul bahu Oliver sebelum Oliver menyalakan mesin mobil.
Dan, wajah pria tampan itu masih menari-nari di pikiranku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With The Bad Actor (21+)
RomanceAdult Romance ❤ Romance comedy ❤ Gigi merasa sial ketika ia harus dijadikan alat untuk membayari hutang kakaknya--Morgan pada Evan yang notabene terkenal dengan label Bad Actor. Evan mengira Gigi adalah fans fanatiknya ketika Gigi berhasil masuk ke...