BAB 10

4.8K 342 13
                                    

Dub the mic on the piano quite low this

Just keeping it like maracas, you know

You know those old pianos

Ok, were on

Sugarplum fairy, sugarplum fairy

Lagu dari band legendaris The Beatles yang ditulis Paul dan John membuatku terhipnotis dalam lirik dan nadanya. Salah satu lagu favoritku yang pas didengar sedang apa saja dan kapan saja. A day in the life—sebuah lagu yang memberi pelajaran tentang hidup ketika aku merasa bingung karena kehilangan arah dan tujuan. Ayah bilang lagu A day in the life pernah berada di puncak tangga lagu Inggris selama 27 minggu dan di tangga lagu terbaik Amerika Serikat selama 15 minggu. Ya, ayah adalah fans The Beatles dan dia menularkan kesukaannya pada band yang dibentuk pada Maret 1957 ini kepadaku.

Aku sangat menyukai suara John Lenon. Suara khas yang membuatku selalu merasa lebih baik setelah membaca buku usang yang ditulis nenek. Aku masih syok dan aku butuh ketenangan. Yang membuatku sangat terkejut adalah soal jodoh. Dan ya, mungkin dengan mendengarkan lagu ini suasana hatiku bisa membaik.

Aku meletakkan buku usang itu di atas meja riasku dan nanti kalau Morgan bangun aku akan memberitahunya soal ramalan nenek. Ya, aku harus memberitahu Jane dan Oliver. Ketika aku di ruang tamu, aku melihat Rose memakan kue kering yang kubeli di toko kue yang—di mana aku bertemu dengan Evan untuk pertama kalinya. Kebencianku memuncak pada Rose. Dia memang wanita sinting. Dan yang paling aku benci adalah bibirnya yang selalu dipolesi lipstik merah menyala.

"Hai, Gigi. Aku dengar tadi malam kau kencan dengan Evan." katanya dengan mata menatap jahat. Dasar nenek syihir!

Karena setahuku Rose adalah salah satu fans fanatik Evan, maka alangkah baiknya kalau aku membuatnya panas. Haha!

Aku menghampirinya dengan gaya songong sekaligus bahagia. Hei, aku hanya berpura-pura menyukai Evan dan senang karena dapat kencan dengannya meskipun aku tidak ingin menjadi teman kencan Evan. Lagian kencan itu hanya makan malam saja. Mungkin sedikit bumbu akan membuat cerita kencanku sedikit panas.

"Pasti kau senang bisa kencan dengan pria terkenal seperti Evan." katanya sinis.

"Haha, tentu saja. Uh, kencan yang sangat aku nikmati." dustaku dengan mata berbinar-binar bohong.

"Kau pasti akan kaget kalau tadi malam aku dan Evan..." mataku berkilat nakal.

Rose menatapku penasaran. "Ciuman?" terkanya.

Aku menggeleng. "Lebih dari sekadar ciuman." Aku tertawa.

"Oh ya? Kau melakukannya di mana? Hotel mana?" Rose semakin penasaran. Aku suka membuat dia tampak bego seperti itu.

"Yang jelas tidak di rumah. Evan tertarik padaku dan dia menyukai semua apa yang ada pada diriku."

"Oh ya?" gumamnya lirih. Rose tampak tak percaya dengan kalimatku. Ya, kurasa Evan tidak akan jatuh cinta padaku karena—tentu saja wanita di sekitarnya lebih segalanya dari aku.

"Ya."

"Bagaimana bisa?" dahinya mengernyit.

"Semua bisa terjadi, Rose."

"Yang aku tahu Evan berniat menikahimu karena hutang Morgan. Intinya, kau dijadikan sebagai barang taransaksi antara kakakmu dan Evan. Agak sulit dipercaya kalau Evan menginginkanmu."

"Haha, ya karena sebab hutang Morgan yang—karena kau pula penyebab hutangnya aku berterima kasih padamu. Aku menganggapnya sebagai keberuntungan, padahal kan seharusnya kau yang menikah dengan Evan."

Rose tampak berpikir. Ya ampun, sumpah demi apa pun aku membenci bibir tebal Rose. Kuharap Rose bukan jodoh Morgan. Aku tidak akan rela kakakku dimanfaatkan wanita semacam Rose. Yang jahat, nenek syihir dan picik. Dia benar-benar ingin membunuh karirku sebagai penulis novel. Aku ingin sekali menamparnya, menjambaknya dan menginjaknya. Huh!

Membahas soal jodoh, membuatku kembali teringat akan buku usang milik nenekku. Tiga kali pacaran dan aku akan menemukan jodohku? Evan?

***

"Ya ampun, sumpah itu buku yang ditulis nenekku, Jane." kataku meyakinkan Jane soal buku catatan, ramalam atau apalah yang menuliskan kehidupanku dan Morgan.

Jane mendekatkan wajahnya padaku. "Kau membawa buku itu?" tanya Jane dengan mata memelotot.

Aku menggeleng.

Jane menjilat ice creamnya dan kembali menatap pantai yang ombaknya semakin meninggi mendekati kami. "Aku tidak percaya ramalan, Gi. Aku percaya takdir. Nenekmu mungkin hanya iseng."

"Tapi, aku merasa ini kebenaran."

"Kalau kau bilang seperti itu berarti kau setuju kalau Evan akan akan menjadi suamiku."

"Aku stres." kedua tanganku memegang kepalaku.

"Jangan stres. Kau harus bahagia karena sebentar lagi kau akan menyandang gelar sebagai istri seorang aktor muda yang tampan. Kau tahu berapa banyak wanita yang ingin menikah dengan Evan, aku salah satu yang mau menikah dengan Evan, lho."

Mendengar perkataan Jane aku makin stres.

Tanpa sengaja mataku memandang ke arah wanita yang membawa papan seluncurnya. Dia tinggi, cantik dan seksi. Rambut cokelat kemerahannya tampak mempesona. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, di mana ya?

"Gi, kau sedang melihat apa?"

Aku menoleh pada Jane. " Sepertinya aku pernah melihat wanita itu. Di mana ya? Aku lupa." Jane mengikuti arah pandanganku.

Matanya membelalak takjub. "Oh My God, you don't know her?"

Aku menggeleng. "Dia siapa?"

Wajah Jane mendekat dan berbisik. "Dia mantan kekasih Evan." Jane memberitahuku seakan-akan itu adalah rahasia terbesar sepanjang abad 21 yang belum pernah aku tahu.

***

Ini lho mantan Evan yang rumornya gak bisa bikin Evan move on wkwk

Married With The Bad Actor (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang