BAB 15

3.2K 253 11
                                    

Malam ini Jane, Oliver, Morgan dan Rose memusatkan pandangannya padaku yang tampak seperti badut. Rambut blondeku tergerai lurus berkat catokan. Make up tebal menghiasi wajahku. Lipstik berwarna merah menyala membuat bibirku yang tebal semakin membara. Aku mengenakan rok high waist berwarna abu muda dan memadukannya dengan blouse putih sebagai atasan. Aku pikir malam ini aku lumayan cantik dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya.

"Aku rasa Gigi tidak cocok memilih atasan blouse putih. Kenapa tidak mengenakan atasan warna biru tua atau hijau tua. Sepertinya warna itu lebih cocok." komentar Rose.

Aku menatapnya sengit.

"Tidak. Blouse putih membuat Gigi terlihat cantik dan lembut. Kau saja Rose yang pakai blouse warna hijau tua." Celetuk Jane. Aku tersenyum senang mendapatkan pembelaan dari Jane.

"Menurutku ide Rose bagus juga. Coba kau pakai blouse warna biru tua atau hijau tua." Morgan menimpali.

Ah, sialan! Rose kau pakai mantra apa sampai kakakku selalu menyetujui saran tololmu itu?!

"Tidak. Aku suka blouse putih ini. Ah, sudahlah. Aku mau pakai blouse ini. Aku suka titik. Dan tolong telpon Evan agar dia secepatnya bisa datang. Nanti make-up ku luntur." kataku pada Morgan.

Lima belas menit kemudian Evan datang ke rumah. Dia mengenakan kemeja warna biru tua, celana jeans dan sepatu formal. Ini penampilan terapihnya yang pernah aku lihat. Jane dan Rose tentu saja terpesona pada Evan. Jane bahkan tidak berkedip dari kedatangan Evan.

"Evan, aku teman Gigi, Jane." Jane mengulurkan tangan dan disambut Evan dengan ramah.

"Tentu, teman Gigi adalah temanku juga." Jane langsung meleleh.

"Aku, Rose. Calon kakak iparnya Gigi." kali ini giliran Rose. Dia tersenyum genit dan tipe-tipe wanita penggoda selalu seperti itu bukan?

"Emm, aku rasa Gigi dan Evan harus segera pergi. Keluarga Evan pasti sedang menunggu kedatangan Gigi." potong Morgan. Aku tahu dia berusaha menjauhkan Rose dengan Evan.

"Betul." timpal Oliver yang sedari tadi hanya terdiam. Aku rasa dia sedang berpikir bagaimana caranya agar da layak bersanding dengan Olivia kalau saingannya seberat Evan.

Evan dan aku melangkah menuju mobil alphard milik Evan. Aku duduk di samping kemudi Evan. Dia mencuri-curi pandang padaku. Ya, aku tahu itu tapi aku berpura-pura tidak tahu karena aku bisa mencakarnya kalau aku tahu dipandang dengan caranya yang sangat-sangat nakal.

"Ngomong-ngomong, kau malam ini cantik juga."

"Terima kasih." Balasku seadanya tanpa memandang Evan.

"Kakekku itu pria yang bawel. Aku yakin pasti dia banyak bertanya kepadamu. Kau jangan gugup. Dia suka bercanda tenang saja."

"Ada kakakku juga. Dia dipungut dari Afrika."

"Dari Afrika?"

"Ya, tapi kulitnya putih. Maksudku dia anak buangan dari Eropa yang tersesat di Afrika. Kurang lebihnya seperti itu."

Sesampainya aku dan Evan di depan rumahnya. Aku ternganga. Rumah itu bergaya victoria dengan interior super mewah. Konglomerat.

"Masuk," Evan menggandeng tanganku.

Aku membeku.

"Kenapa? Hei, kau calon istriku. Aku berhak melakukan yang lebih dari ini."

"Hah?" dahiku mengernyit heran.

"Ini rupanya calon istri cucuku." Seorang pria tua yang rambut dan kumisnya memutih menyambutku dengan senyum dan suara yang hangat.

"Ini, kakekku." Evan melepaskan tanganku.

"Hai, Kek." Sapaku menjabat tangan besarnya. Dia sangat gemuk sampai aku yakin aku bisa tertidur lelap di atas tubuhnya.

"Halo, masuk, Sayang."

Aku terkesima dengan perabotan yang ada di dalam rumah super mewah ini. Rumah ini di dominasi warna kuning keemasan. Ada lukisan-lukisan dramatik di sepanjang dinding rumah. Ini rumah terkeren yang pernah aku datangi. Sungguh!

Kakek Evan mempersilakan aku duduk di sofa warna ungu. Menyuruh pelayan memberikan minuman.

"Mau minum apa, Nona?" tanya pelayan muda dengan rambut kuncir kuda.

"Apa saja."

"Buatkan jus jeruk saja ya." Titah Evan.

"Siapa namamu, Nak?" tanya Kakek Evan menatapku ramah.

"Gigi. Gigi Hadid."

Dia tersenyum. "Nama yang bagus. Kau tinggal di mana?"

"Dulu, aku tinggal di Pagford sampai usiaku 15 tahun dan orang tuaku pindah ke London."

"Oh, kudengar kau seorang penulis ya?"

Aku tersenyum malu. "Ya, begitulah, Kek. Tapi aku rasa aku akan mencari pekerjaan lain."

Dahi Kakek Evan mengerut. "Kenapa?"

"Aku tidak bisa menggantungkan hidupku dari pekerjaan seorang penulis, Kek."

"Ah, aku rasa bisa saja. Mungkin biaya hidupmu mahal."

Biaya hidupku mahal? Ya Tuhan, aku tak pernah membeli baju baru, celana baru, tas baru sejak setahun lalu. Dan ini adalah blouse almarhum ibuku. Hmp!

"Tidak usah bekerja lagi. Pensiuan saja dari pekerjaan menulismu itu kalau tidak bisa membiaya hidupmu. Lagian kamu calon istriku ini, aku sanggup memberimu satu juta euro per tahun." katanya dengan sombong.

Bukannya senang aku malah sebal melihatnya seperti itu. Sungguh! Kau, hei, Evan, sombong benar!

"Itu kakak Evan," kakek Evan menunjuk seorang pria yang mengenakan kaos merah dan celana jeans yang berjalan menghampiri kami.

Ya Tuhan, pria tampan itu... pria yang aku temui di mini market. Pria yang mencicipi biskuitku? Dia, kakak Evan?

"Hei, rasanya kita pernah bertemu?" tanyanya seraya menatapku.

"Ya, di mini market. Biskuit kelapa." Kataku tidak teratur. Saking terkejut dan gugupnya.

Dia tersenyum. Senyum hangat yang aneh.

Senyum misterius.

***

Married With The Bad Actor (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang