Katanya orang yang bahagia itu adalah orang yang lapang. Ketika dihujat dia tidak marah, ketika dicela dia tidak marah dan ketika dihina, dia pun tidak marah. Karena sebenarnya orang yang sakit adalah orang yang menghujat, menghina dan mencela. Mereka tidak bahagia dengan hidupnya. Saat aku masih sekolah dulu, aku selalu mendapat hujatan, celaan dan hinaan. Karena orang yang membenciku itu banyak dan aku tidak tahu secara pasti kenapa mereka membenciku. Setiap pagi aku akan menemukan kertas yang berisi kata-kata kasar yang ditempel di depan lokerku. Setiap aku menemukannya pula, aku membuang kertasnya. Aku kesal dan marah karena mereka selalu saja begitu hingga Jane hadir dengan kepolosannya. Dia adalah murid pindahan dari Sussex. Dia berteman baik dengan Oliver yang tidak lain adalah tetangganya. Oliver dan kami tidak satu kelas, dan sejak itu tidak ada yang berani menghujatku, mencela dan menghinaku. Aku merasa punya kekuatan berteman dengan Jane dan Oliver. Mereka menguatkan aku, dan mereka selalu menjadi yang terdepan ketika ada yang membicarakanku. Aku bahagia dan merasa sempurna memiliki mereka. Karena itulah aku menyayangi mereka.
"Sepertinya aku harus mandi," Oliver mengambil handukku dan melesat ke kamar mandi.
"Besok malam ada konser The Braindits, nonton yuk!" ajak Jane. "Oliver akan ikut, kau ikut ya."
Aku mengambil satu kue kering di toples dan memakannya. "Aku tidak punya uang untuk membeli tiketnya." Morgan saja hutangnya banyak dan lagi royaltiku belum cair.
"Ada aku dan Oliver. Kau ini seperti tidak punya sahabat saja."
Aku bangkit, tersenyum lebar pada Jane dan mencubit pipinya karena bahagia bisa menonton salah satu band rock favoritku. Sebenarnya bukan karena musiknya tapi karena vokalisnya yang tampan dan menggemaskan.
"Ngomong-ngomong, Evan kapan bertemu denganmu?"
"Barusan."
"Kapan?"
"Sebelum aku bertemu Mrs. Brugg dan sebelum aku bertemu kau dan Oliver."
"Serius?"
Aku mengangguk.
"Yah, padahal aku ingin melihat Evan secara langsung." Jane tertunduk lesu.
"Tenang, nanti aku ajak kau kalau aku bertemu lagi dengan Evan."
"Benar?" mata Jane berbinar-binar.
"Betul."
Jane memelukku erat hingga aku merasa sesak napas.
***
Morgan mengajakku makan malam di luar. Dia bilang, malam ini aku harus ikut karena Evan ingin bertemu denganku. Aku ingin menghubungi Jane karena sahabatku pasti akan sangat senang bertemu dengan Evan. Namun, Morgan melarangku.
"Ini bukan kencan kan?" tanyaku menatap curiga Morgan.
"Bukan, ini makan malam biasa. Lagian aku ada di antara kalian kok."
Morgan mengenakan sweater abu-abu dengan corak rusa-rusaan. Sepatu model lama yang terlihat menggelikan dan rambut gaya mohawk. Aku heran kenapa kakakku dan aku begitu berbeda. Dimulai dari fisik, kami tak punya kemiripan begitu juga dengan karakter kami. Jangan-jangan dia anak pungut atau mungkin aku yang anak pungut, huft!
Aku memilih mengenakan pakaian kasual favoritku, celana hitam dan kaos putih dengan tulisan 'I'm beautyful better than your girlfriend' entah kenapa aku suka kalimat ini. Morgan protes dan menyuruhku mengganti pakaianku dengan dress.
"Aku tidak mau!"
"Kau ini mau ketemu calon suami tapi penampilanmu seperti itu, bagaimana sih?"
"Dia calon suamimu, bukan calon suamiku. Yang berhutang itu kau, Morgan sinting!" balasku seraya menatapnya tajam.
"Ya ampun, adikku benar-benar wanita aneh. Hei, ratusan juta wanita di dunia ini rela mengantre untuk bisa berkencan dengan Evan." Katanya hiperbola.
"Haha—ups!" aku menutup mulutku dengan tangan. "Dia bukan seleraku, Morgan. Dan aku tidak akan mau berkencan dengannya."
"Tapi kau harus dan mau menerimanya sebagai suamimu kalau kau masih menganggapku sebagai kakakmu dan kau masih menyayangiku serta tidak rela kalau aku dipenjara."
Aku mendesis sebal. "Aku lebih rela kau masuk penjara." Kataku dengan ekspresi datar.
"Gigi!"
"Morgan!"
Sejak kecil setiap kali Morgan marah aku akan membalas dengan kemarahan yang sama. Entah yang salah aku atau Morgan. Tapi memang seperti itulah kami. Meskipun aku kesal setengah mati pada Morgan, membencinya setengah mati, dan ingin sekali membunuhnya, tapi dia adalah kakakku. Satu-satunya saudara yang kumiliki. Dan tidak bisa dipungkiri aku menyanginya.
Ya, aku memilih mengganti pakaian kasualku dengan dress hitam selutut. Dengan bergumam-gumam panjang aku mengganti pakaianku dan dengan kemarahan yang memburu. Aku mencoba bersikap positif. Ini demi kakakku.
Evan, tunggu aku menjadi istrimu. Tapi aku tidak bisa berjanji kalau kau akan bahagia bersamaku karena aku tahu kau ingin menikah hanya gara-gara harta warisan.
***
Akan dinext setelah komentar mencapai 15++
Thank you ❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With The Bad Actor (21+)
RomanceAdult Romance ❤ Romance comedy ❤ Gigi merasa sial ketika ia harus dijadikan alat untuk membayari hutang kakaknya--Morgan pada Evan yang notabene terkenal dengan label Bad Actor. Evan mengira Gigi adalah fans fanatiknya ketika Gigi berhasil masuk ke...