Chapter 22 (Kenapa tidur lagi?)

612 19 2
                                    

Seperti yang tadi dikatakan Arsya, ia telah sampai didepan pekarangan rumah Bunga. Entah kenapa hari ini, ia ingin sekali menemui Bunga dan mengajaknya jalan jalan.

Setelah mematikan mesin mobil, Arsya keluar dan berlalu menuju pintu depan. Ia mengetuk ngetuk pintu secara perlahan. Tak lama muncul sosok Citra yang kini sudah rapih memakai seragam sekolah.

"Assalamualaikum Citra" ucap Arsya sambil tersenyum manis pada Citra. Berbeda dengan Arsya, Citra malah menampakkan senyum tipisnya dan kegugupan menyerang tubuhnya.

"Wa..walaikumsalam ka. A..ada apa ya?" Tanya nya tersendat, lidahnya terasa kelu. Ia takut, Arsya kesini untuk menemui Bunga.

"Hmmm Bunganya ada kan? Kakak mau ajak jalan dia" tanya Arsya. Benar dugaan Citra. Arsya kesini pasti ingin menemui Bunga.
"Kakak sebaiknya masuk dulu. Ada ayah juga di ruang tamu." Suruh Citra. Ia tak bisa menjelaskan dimana Bunga. Lebih baik ia biarkan Arsya bertemu ayahnya dan menjelaskan semua tentang Bunga.

"Assalamualaikum ayah" sapanya pada Bramantyo yang sedang membaca koran. Bramantyo menoleh kaget pada Arsya. Ia berusah tersenyum menyambut kedatangan Arsya.
Arsya menghampirinya dan mencium puggung tangan Bramantyo. Bramantyo berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Ia sudah siap bila nanti Arsya bertanya mengenai Bunga.

"Walaikumsalam sini Sya duduk samping ayah"
Arsya mengikuti perintah Bramantyo. Ia duduk disamping kiri Bramantyo. Terkadang,matanya meneliti sekeliling rumah mencari gadisnya. Tapi, sepertinya rumah ini terlihat sepi.

"Ayah. Bunga dimana ya? Rencananya aku mau ajak dia jalan jalan." Ucap Arsya. Bramantyo menoleh kearah Arsya. Mau tidak mau dia harus mengatakan yang sebenarnya.

"Sya sebenarnya ada yang ingin ayah ungkapkan. Tapi, ayah harap kamu harus kuat mendengarnya."

"Memang apa yah? Apa ini ada hubungannya dengan Bunga?" Tanyanya. Bramantyo terlihat mengangguk membenarkan pertanyaan Arsya.

"Sya Bunga tidak ada disini. Dia di..dia kembali drop Sya"
Bak disambar petir, Arsya hanya bisa mencerna apa yang dikatakan Bramantyo tadi.

"Jadi maksud ayah Bunga dirumah sakit?" Tanyanya memastikan.
Bramanto kembali mengangguk dan menepuk pelan pundak Arsya.

"Arsya mau kesana" Ucapnya datar. Ia langsung berdiri. Tatapannya sayu. Pikirannya sekarang hanya ingin secepatnya menemui Bunga. Ia ingin melihat bagaimana keadaannya.

Baru selangkah Arsya berjalan, Bramantyo menahan langkahnya.

"Tunggu Sya. Biarkan Ayah yang mengantarmu. Ayah khawatir nanti dijalan kamu kenapa napa"
Arsya menoleh sekilas dan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara apapun.

"Ayo Sya."
"Citra. Kamu naik ojek online aja ya. Ayah dan Arsya langsung berangkat." Ucapnya lagi.
Bramantyo berjalan terlebih dahulu kedalam mobil Arsya. Kali ini, ia yang menyetir. Karena tak mungkin ia biarkan Arsya yg menyetir dalam keadaan yang kalit seperti ini.

———

1 jam lebih perjalan untuk sampai dirumah sakit.
Setelah sampai, Bramantyo dan Arsya turun dari mobil dan berjalan kearah kamar rawat Bunga.

Hingga sampai di ruang "Mawar no 250". Bramantyo dan Arsya berhenti dan terlihat  Jeny sang Bunda yang terduduk lesu sambil memejamkan matanya. Ia pun tak sadar bahwa kini didepannya ada dua laki laki berbeda usia yang sedang menatapnya dengan sayu.

"Bunda" panggil Bramantyo. Ia beralih duduk disamping istrinya dan mengelus pelan pundak Jeny hang tertutup jilbab biru muda. Jeny menoleh kaget tak sadar bahwa ada suaminya disampingnya.

"Ayahh kok gabilang kalo mau kesini"

"Ayah tau bunda pasti lelah menunggu Bunga semalaman. Makanya ayah kesini untuk menggantikan menjaga Bunga" Jeny hany tersenyum tipis menanggapi ucapan suaminya. Pandangannya beralih pada Arsya yang berdiri dengan tatapan kosong.

"Arsya" panggil Jeny. Ia sedikit menepuk pelan lengan Arsya. Arsya terjengkit kaget dan berusaha tersenyum tipis pada wanita yang telah melahirkan gadisnya ini.

"Bunda" . Arsya mencium punggung tangan Jeny yang sedikit hangat. Sepertinya Jeny pun kelelahan Pikir Arsya.

"Ayah Bunda apakah aku boleh masuk" tanya Arsya dengan nada yang terdengar lirih.
Bramantyo dan Jeny dengan kompak hanya menyunggingkan senyumannya dan mengangguk.

Arsya langsung berlalu masuk kedalam ruangan serba putih dan bau obat obatan menyeruak dalam indra penciumannya.

Dilihatnya gadis yang sangat berarti untuknya sedang terbaring lemah dengan alat alat yang menempel ditubuh mungilnya. Sebelum masuk, Arsya sudah memakai pakaian steril dan ia beralih menarik pela kursi yang berada disamping jendela agar semakin dekat ke samping brankar.

Menatap sendu gadisnya, Arsya mengambil dan menggenggam tangan halus nan dingin milik Bunga.

"Sayang, kenapa kamu tidur lagi?" Tanyanya lirih.
"Aku sudah bilang jangan sampai kamu kembali seperti ini. Aku takut sayang. Sungguh aku takut. Aku gabisa melihat kamu seperti ini. Kalau boleh, lebih baik aku saja sayang yang menggantikan posisimu. Biarkan aku saja yang merasakan sakitnya. Jangan kamu" ucapnya lagi. Tak terasa airmatanya pun kini menetes.

Arsya tak pernah menangis sebelumnya. Ia adalah tipikal laki laki yang cuek dan tak perduli pada sekelilingnya. Bahkan, terakhir ia menangis saat ia ditinggal pergi oleh mamanya.

"Sayang, kuharap nanti setelah kamu sadar, jangan lagi kamu kembali pada ruangan ini. Ruangan yang sangat aku benci"Ucap Arsya. Ia tak kuat bila berlama lama disini. Hatinya merasakan sakit teranat dalam melihat respon Bunga hanyalah tetap menutup matanya. Bahkan, mungkin suara detk jantungnya  pada EKG yang terdengar menemani Arsya yang sedari tadi berbicara.

Sebelum meninggalkan ruangan ini, Arsya mengelus pelan tangan Bunga yang tadi ia genggam, kemudian mencium keningnya cukup lama. Sambil membisikkan sebuah kata yang menyiratkan harapan luar biasa
"Cepat bangun sayang" bisiknya terdengar lirih.

———
Cklekk.
Arsya keluar dari ruangan dan menatap kedua orang tua gadisnya. Btamantyo dan Jeny pun kini menatap Arsya.

"Arsya sini nak duduk. Bunda mau bicara" ucap Jeny lembut. Arsya menurut dan duduk disamping Jeny.

Jeny mengelus pelan pundak Arsya. Ia tahu sekali bahwa kekasih gadisnya ini sangat terpukul. Ia sangat tahu bahwa Arsya sangat mencintai anak perempuannya. Terlihat dari matanya bahwa sangat menyimpan kesedihan yang mendalam.

"Bunda harap, Arsya jangan sedih ya. Arsya harus kuat demi Bunga. Kita tidak boleh lemah. Kita harus sama sama berdoa sama yang kuasa. Berharap bahwa harapan kesembuhan Bunga itu ada"

"Iya Arsya. Ayah tak mau kamu murung seperti ini. Ayah tak mau kamu juga sedih lagi. Kita sama sama berdoa aja sama Tuhan. Semoga Bunga secepatnya akan sadar. Dan semoga ada pendonor jantung secepatnya." Ucap Bramantyo menambahkan. Arsya hanya bisa mendengarkan dan mencerna apa yang dikatakan Bramantyo dan Jeny.

"Iya ayah Arsya akan berdoa terlebih untuk kesembuhan Bunga" balas Arsya. Ia berusaha mengukir senyum kecutnya untu Bramantyo dan Jeny. Bagaimanapun perkataan mereka benar. Bahwa sekarang yang dibutuhkan hanyalah doa agar Bunga cepat sar kembali.

Arsya melihat sekilas jam dipergelangan tangan kirinya. Sudah pukul 09.00. Ia kembali menoleh ke arah Bramantyo dan Jeny.

"Ayah Bunda. Arsya izin mau sholat dhuha dulu. Mungkin dengan ini Arsya bisa sedikit tenang" ucap Arsya. Bramantyo dan Jeny yang mendengar terenyuh.
Bunga tak salah memilih Arsya menjadi kekasihnya. Dia memang laki laki baik. Maka dari itu, Bramantyo dangat percaya kepada Arsya.

"Silahkan. Biar nanti insyaallah Ayah dan Bunda nyusul" jawab Bramantyo. Arsya mencium punggung tangan keduanya dan berlalu mencari mushola disekitar rumah sakit.

—————————————————————————————

SUDAH DI NEXT GAESSS.
Jangan lupa Vote and Comment❤️❤️❤️

Aku Kamu dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang