3

3.2K 448 43
                                    

— Doppelgänger —



03 : Sinkronisasi








Aku membuka mataku perlahan. Kali ini alarmku berhenti dengan sendirinya. Aku tak banyak berpikir lagi. Tungkaiku sudah menapak ke lantai. Seperti biasanya, aku harus bekerja. Hanya itu yang pertama kali terlintas di benakku.



Semuanya sudah siap, aku hanya tinggal membuat sarapan. Saat aku menutup pintu kulkas, aku dikejutkan dengan keberadaannya.



"Ya ampun! Taeyong... gue kaget sumpah" ku lihat Taeyong terkekeh, namun tak bersuara. Hatiku menghangat seiring aku melihat tawanya yang indah. Kalau saja aku bisa mendengar suaranya lagi, Taeyong pasti sedang terbahak. Taeyong pun meminta maaf padaku dengan bahasa isyaratnya. Beruntung sekali aku bisa paham.



"Gak apa-apa sih, lagian gue gak jantungan kok" sahutku sembari terkekeh. Taeyong bertanya padaku.



"Hmm? Gue lagi masak buat sarapan"



"Lo mau bantuin? Lo emang bisa masak?" ku lihat Taeyong mengangguk dengan mantap.



"Oh iya ya, gue lupa kalau lo bisa lakuin poltergeist juga" Taeyong menyelaku.



"Hah? Kenapa?"



"Energi lo bakalan habis kalau dipake buat poltergeist terus?" Taeyong mengangguk lagi. Kali ini pelan, tidak segembira tadi.



"Dan lo... bakal menghilang?" ku lihat rona ceria di wajahnya memudar, Taeyong terlihat sedih.



"Ya udah, lo lihatin aja ya. Jangan bantuin gue, gue bisa sendiri kok. Kalau lo mau kasih saran ke gue, tepuk aja tangan gue" Taeyong mengangguk, dia kemudian memperhatikanku dari samping. Jujur aku belum terbiasa dengan semua ini. Hidup bersama sosok asing yang sebelumnya pernah memiliki kehidupan sepertiku juga.



Saat aku berkutat dengan masakanku, Taeyong mencoba menyentuh tanganku. Ku lihat jarinya menembus ke dalam tanganku. Aku baru ingat jika dia tidak bisa melakukan itu, aku merutuki diriku yang mudah lupa. Taeyong terlihat kecewa, sementara aku menatapnya iba. Sepertinya Taeyong ingin memberi saran padaku. Namun tidak bisa, mengingat dimensi kami yang jelas berbeda.



"Kenapa?"



"Oh... iya bener, gue lupa kasih garam. Makasih Taeyong" Taeyong kembali tersenyum padaku.



Kini aku duduk di kursi dapur untuk menikmati sarapanku yang sudah ku sajikan di meja makan. Taeyong terduduk di seberangku dengan matanya yang tidak teralih dariku. Taeyong melihatku makan dengan lahap. Tangannya terulur untuk menepuk kepalaku, namun lagi-lagi tangan Taeyong menembus kepalaku.



"Gak apa-apa, anggap aja lo bisa nyentuh gue"



"Iya Taeyong, udah jangan minta maaf terus dong. Senyum nih kayak gini, smiiiiile~" aku menarik kedua ujung bibirku dengan jari. Taeyong kemudian meniruku. Kami tertawa bersama. Tak ku sangka, kami bisa akrab secepat ini. Rupanya, Taeyong pribadi yang ramah.



"Dah ah, gue mau kerja dulu. Nitip rumah ya, Taeyong"



"Gak, lo gak boleh ikut gue"



"Hah? Oh... ya udah kalau gitu lo ikut gue. Dari pada lo di sini dimarahin terus sama kakek tua di lantai atas"



Kami berjalan bersama menuju kantor. Selama di perjalanan, sebisa mungkin aku mengabaikan Taeyong. Namun tingkahnya itu malah membuatku ingin tertawa. Taeyong berlarian kesana-kemari, tanpa henti dia membuatku tersenyum. Bahkan saat di subway, dia bergelantungan di atasnya. Aku menahan tawaku saat wajahnya tertembus oleh pegawai yang bekerja di subway. Taeyong tertawa begitu bebasnya, sementara aku di sini tersiksa harus menahan tawa.



DoppelgängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang