18, Tentangku (1)

39 4 0
                                    

Hai, aku ingin bercerita sedikit tentang diriku.

Aku hanya seorang anak perempuan berumur 14 tahun yang mengidap berbagai gangguan jiwa seperti depresi, rasa cemas, antisosial, dan banyak yang lainnya sejak usiaku mulai menginjak 12 tahun.

12 tahun.
Dimana aku sebelum 12 tahun itu? Dimana aku pada 11 tahunnya?

Dulu, hidupku hanya mengenal dua hal; kebahagiaan, atau kesedihan. Hanya itu.

Bahagia ketika mendapat mainan yang kuinginkan, bahagia ketika mendapat banyak kejutan ulang tahun, bahagia ketika dapat bermain boneka dengan tokoh kesukaanku, bahagia ketika diajak berwisata, dsb.

Dan sedih ketika orang tua yang mungkin sedang dinas ataupun lembur dengan perkerjaannya, sedih ketika tokoh kesayangan di cerita favoritku kalah, sedih ketika tak dapat memiliki mainan yang kuinginkan, sedih ketika nilai ulanganku jelek, dsb.
Aku hanya tahu menangis, jadi aku melakukannya. Dan ayah bunda langsung menenangkanku dengan berbagai cara kreatif yang mereka miliki. Dan, dalam sekejap, kebahagiaan kembali menyelimutiku. Hanya itu yang kutahu dulu.

Indah, ya? Indah, ketika kau hidup dengan orang-orang yang menyayangimu, peduli denganmu, mampu membantumu bangkit ketika kau terjatuh, atau setidaknya hanya sebatas menghiburmu kala kau jenuh.

Indah, bukan? Andai saja hidup semua orang seperti itu untuk selamanya. Namun nyatanya, Tuhan berkehendak lain. Ia menginginkan kita menghadapi takdir dengan segala tantangan dan ujian yang harus kita lewati. Sebelas tahun itu hanya pemanis diawal saja. Namun aku benci itu. Bagaimana bisa Ia tega membuatku berharap lebih dengan kebahagiaan itu namun kemudian aku dikecewakan dengan duri-duri tajam yang menghujam telapak kakiku pada perjalanan berikutnya? Sungguh, aku tidak habis pikir akan itu.

12 tahun.
Aku mulai berhenti memandang dua hal tersebut; bahagia dan duka. 
Aku mulai memandang sekitar, melihat banyak manusia keji yang menatapku aneh.
Aku bingung, jadi aku mulai memutar arah pandangku. Aku melihat diriku melalui mata mereka. Bagaimana sih, aku ini? Apa yang orang lihat tentangku?
Dan aku kecewa. Aku mulai membenci diriku sendiri. Aku mulai mebenci hidupku.
Namun masih banyak hal lain yang tak kumengerti.

Tiap-tiap malam, aku coba untuk memandang langit, dan bulan maupun bintang yang bertaburan diatas sana, bertanya apa yang sebenarnya sedang kualami.
Aku mencoba untuk mendengarkan alam, menghanyutkan diriku dalam kesendirian dengan pikiran-pikiran yang memenuhi kepalaku.
Dan, aku menemukan jawabannya. Ya, yang sedang kuhadapi adalah hidup, dan juga takdir.

Dari situ aku mulai berhenti memandang sekitar, menyadari betapa rendahnya aku ini, betapa buruknya aku yang tak pantas mendapat kasih sayang, dan banyak hal lainnya.
Ditambah lagi dengan ujian-ujian hidup yang— yah,, tak perlu kusebutkan.
Aku mulai berhenti memandang sekitar. Aku mulai menutup diriku rapat-rapat, menyembunyikan wajahku dari hadapan umum, dan mengisolasi diriku dari dunia.

Dan yah.. aku mulai berkenalan dengan iblis-iblis dan setan yang ingin terus menyakitiku. Namun aku sangat bodoh kala itu, aku malah menerima mereka menjadi teman— bahkan sahabatku. Kau boleh sebut mereka dengan depresi dan, ya, kecemasan berlebih.

***

Infinity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang