Rambutnya yang sepinggang itu terhembus oleh angin dingin yang datang entah dari mana. Raiyan masih terbaring tak berdaya di lantai. Darahnya terus keluar tanpa henti. Ini aneh.... Alam ini membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Seharusnya Raiyan sudah mati sekarang. "Aku perlu Pain Killer....".
"Lama sekali.... Apa bocah itu masih ragu-ragu?," gumam Dewi.
Dewi melangkahi tubuh Raiyan. Dia menuju ke sebuah cermin yang dipajang di dinding ruangan biru itu. "Hmmm...." Dewi memutarkan tangannya, seketika pantulan yang ada di cermin berubah. Sekarang yang ditampilkan adalah keadaan Asri yang sedang menopang semua Trisulanya. "Memang ya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mirip sekali dengan nenek itu," gumam Dewi.
"Sayang sekali, aku benar-benar merasa kasihan denganmu, Sakya," ucap Dewi memandang Raiyan yang masih terbaring.
"Kalau kau kasihan, setidaknya jangan lemparkan benda besar itu kepadaku," ucap Raiyan.
"Keluargamu yang asli direnggut oleh mereka berdua.... Dan mereka bahkan tidak memberitahumu akan hal itu," Dewi memainkan rambut Raiyan.
"Keluarga asli.... Merekalah keluargaku satu-satunya. Berhentilah berbicara hal yang tidak jelas," ucap Raiyan marah.
"Padahal tadi sudah diberikan gambaran yang jelas.... Segitu banyaknya mereka mengotak-atik ingatanmu?," Dewi menarik keras rambut Raiyan.
Raiyan memandang mata hijau itu dengan penuh amarah.
"Ya, aku juga tidak perlu peduli dengan hal yang beginian sih. Setidaknya aku sudah memperlihatkannya padamu. Terserah kau percaya atau tidak percaya dengan apa yang kau lihat," Dewi melepaskan cengkramannya.
Suara keras terdengar dari cermin.
"Sudah saatnya. Ayo.... Habisi bocah itu"
Sesuatu datang dari sebelah kiri Asri. Sebuah tembakan yang menyerupai laser berusaha mengenai dirinya. Para penculik itu diam sejenak. Ketika laser itu hampir mengenai mereka baru para penculik itu panik dan berteriak "LARI!!!!" Nampaknya apa pun yang menembakkan laser itu berusaha mengusir para penculik dari area. Martha dan Raiyan ditinggal oleh mereka. Dengan keadaan yang sudah terlepas dari ikatan, Martha membawa Raiyan yang masih belum sadarkan diri itu. Martha menyandarkan tubuh Raiyan di balik batu. Cukup untuk melindunginya dari tembakan.
"Dewi... Ini pasti ulahmu," Mata Martha berubah warna menjadi seperti Dewi, emerald.
Sama seperti Asri, Martha mengeluarkan banyak Trisula. Tapi, yang berbeda dari dia adalah Trisula yang dikeluarkan tidak berwarna. Lebih seperti 'Tembus pandang'.
Martha melempar ke langit. Tak lama, suara hantaman terdengar. Sesuatu- bukan, Seseorang turun dari langit malam. Seorang Pria berbaju seperti orang yang hidup di masa kerajaan. Batik berwarna emas dengan sebuah senapan yang dipakainya untuk menyerang. Martha berlari mendekati anaknya. Mereka melakukan posisi bertahan.
"Jadi, di sinilah kalian. Penerus dari Ratu Kadita sang Penguasa laut," ucapnya.
"Sayang sekali sang Ratu tidak bisa menjaga kalian sekarang. Aku turut berduka mendengar kematiannya yang mendadak," lanjutnya.
"Siapa kau? Dan apa maumu datang ke wilayah yang bukan milikmu ini?," tanya Martha dengan tegas.
"Namaku adalah Badu. Aku datang dari sebuah hutan tidak jauh dari sini. Merasakan kehadiran darah bangsawan di dekatku membuatku merasa terancam," jawabnya.
"Kami tidak akan dan tidak ingin bertarung denganmu, Badu," jawab Asri.
"Benar. Tapi, ada alasan lain. Aku perlu imbalan memburu kalian dari wanita licik itu," Badu mempersiapkan posisi menyerang.
"Kurasa Bibi menaruh Bounty di kepala kita, Bun," ucap Asri.
"Ya, dia memang sering mencari masalah," ucap Martha.
Tembakan Badu ditangkis oleh Trisula Asri. Mereka menerjang ke arah Badu. Dimulailah pertarungan Arca. Pertarungan yang akan mengasah tombak mereka yang berkarat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arca
ActionKehidupan yang damai dan penuh dengan candaan di kota fiksi ini. Kehidupan keluarga Sakya yang selalu sama, dari generasi ke generasi. Tapi, apakah akan ada perbedaan di cerita ini?