Episode 13

8 2 2
                                    

Tidak seperti biasanya keadaan di Istana laut sepi seperti ini. Mungkin para warga telah lelah merayakan pergantian ratu baru untuk memimpin mereka semua. Martha melamun.... Memikirkan tentang kedua anaknya yang dia tinggal di permukaan. Seorang penasehatnya, Suri datang memberikan sebuah minuman untuk jaga-jaga bila rasa haus Martha sudah mulai muncul. Dia meletakkannya di permukaan meja kecil yang dipenuhi oleh buah-buahan laut yang berada di samping Martha. Martha menoleh. Suara dari mahkotanya terdengar memenuhi ruangan besar di saat sunyi. "Terima kasih, Suri," ucapnya sambil tersenyum. Martha pun meminum minuman rasa anggur itu. Tidak jarang bila Suri membawakan sesuatu dari atas laut.

"Seperti biasa kau tidak bisa menahan diri untuk pergi ke atas"

"Mohon maaf, Yang mulia. Aku tidak bisa menahan rasa rinduku melihat pohon-pohon besar itu," ucap Suri.

"Kau tidak bisa membohongiku. Aku tahu kau ke atas sana untuk menemui kekasihmu," goda Martha.

"Bagaimana anda bisa tahu?," Suri tersipu malu.

"Hahaha... ternyata memang benar. Jangan khawatir. Aku tidak akan memberitahu yang lain soal itu," ucap Martha mengedipkan sebelah matanya.

"Aduh... terima kasih, Yang mulia. Jika saya boleh jujur, anda adalah Ratu pertama yang tidak memarahi saya selama 1000 tahun ini," ucap Suri.

"Wah... jadi ratu lain memarahimu ya?"

"Iya," jawab Suri.

"Aku tidak perlu dan tidak mau memarahimu karena alasan itu. Karena aku juga pernah melakukan hal yang sama. Aku yakin ratu yang lain juga pernah melakukannya.... Tertarik dan jatuh cinta dengan manusia biasa.... Tapi, mereka selalu saja meninggikan harga diri dan mereka tidak pernah jujur," ucap Martha.

"Kalau itu agak...."

"Itulah kenapa aku tidak ingin menjadi ratu. Besar kemungkinan aku nanti menjadi sombong seperti mereka," ucap Martha.

"Yang mulia tidak akan berubah seperti itu. Yang mulia berbeda dengan ratu yang lain. Yang mulia itu spesial," ucap Suri dengan semangat.

"Terima kasih, Suri. Ini juga demi mereka berdua..."

"Raiyan dan Asri?"

"Ya, anak-anak kesayanganku," jawab Martha sambil tersenyum.

Mereka berdua berbincang-bincang tentang hal-hal yang mereka sukai dari laut maupun permukaan. Mereka tertawa akan lelucon yang diceritakan dan mereka mendalami akan masa-masa suram ketika di permukaan. Bukan antara Ratu dan penasehatnya, perbicaraan mereka lebih seperti antara sesama teman wanita.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Yang mulia," pamit Suri.

"Ya, istirahatlah yang cukup, Suri"

Tak lama setelah Suri meninggalkan istana, sosok yang dirindukan oleh Ratu muncul di depan pintu besar ruangan. Martha berlari mendatanginya meski mengenakan sepatu yang agak susah dibawa untuk melangkahkan kaki dengan cepat. Suara aksesoris yang dikenakan Martha di pakaian bangsawan berbunyi dengan keras ketika dia memeluk sosok itu dengan erat.

"Ibu sangat merindukanmu, Asri"

"Aku juga, Ibu"

Ibu dan anak itu melanjutkan di ruangan pribadi, lebih tepatnya ruang kerja untuk sang Ratu. Asri melihat sekelilingnya. Baru pertama kali ini dia memasuki ruangan yang selalu dilarang neneknya ketika dia mencoba melangkahkan kaki ke dalam. Neneknya, Kadita selalu bilang kalau tempat ini hanya boleh dia masuki ketika sudah besar. Dan di sinilah dia bersama ibunya dalam usia 20 tahun.

"Lihatlah aku sekarang, Nek," gumam Asri.

"Kau sudah cukup dewasa untuk ini. Jadi, tidak masalah bila aku mengajakmu. Tapi, tetap saja, Ibu pikir syarat itu sangatlah tidak perlu. Mungkin Nenekmu hanya tidak ingin kau merusak barang-barang yang ada di sini," ucap Martha.

"Ya, aku dulu memang suka merusak barang-barang yang berkilauan," ucap Asri.

"Jadi, bagaimana keadaan kalian berdua?," tanya Martha sambil memberikan secangkir minuman untuk anaknya.

"Kami baik-baik saja. Eden merawat kami dengan baik. Ditambah dia juga berhasil menaikkan nilai Raiyan di pelajaran menghitung gaya dan semacamnya. Kurasa dia agak bertambah pintar," Asri bercerita dengan semangat.

"Waw.... Memangnya bagaimana Eden mengajari adikmu? Metode apa yang dia gunakan?," Martha heran.

"Hmmm..... mungkin perumpamaan yang tepat adalah berlari memutari lapangan yang berukuran 10000 meter tanpa henti.....?"

"Oh....? Oh... jadi dia memaksa Raiyan melampaui batasannya ya?"

"Ya, begitulah. Tapi, tidak usah cemas. Raiyan dapat mengatasi apa yang diberikan Eden kepadanya dalam waktu 2 hari itu," ucap Asri mengacungkan jempol.

"Baiklah jika kau bilang begitu. Aku agak cemas dengan Raiyan. Tapi, dia adalah anak yang selalu bisa mengatasi hal semacam itu dan terus maju ke depan. Dia pasti akan baik-baik saja dengan apa yang akan dilemparkan Eden kepadanya"

"Yup, benar sekali," ucap Asri.

"Meskipun dia menangis-nangis kepadaku pada hari pertama," gumam Asri dalam hati.

Mereka menghabiskan secangkir teh yang ada di tangan mereka sebelum melanjutkan ke topik pembicaraan yang lebih serius. Bisa dirasakan oleh Asri suasana yang menekan pada saat Martha meletakkan gelas di atas meja.

"Asri.... Ada sesuatu yang harus kuberitahu padamu," ucap Martha.

"Hmm?"

"Ibu melihat sesuatu yang buruk, sangat sangat buruk ketika menutup mata ini di malam hari setelah Ibu meninggalkan kalian berdua di permukaan"

"Memangnya apa yang Ibu lihat?," tanya Asri.

"Adikmu... Raiyan. Ibu melihatnya di dalam mimpi buruk ini," jawab Martha.

"Aku mendengarkan"

"Dia terbaring dalam keadaan sekarat di sebuah kasur... kurasa kasur itu bukanlah milik kita ataupun ada di permukaan. Terlalu bercorak untuk ada di sana," Martha melanjutkan.

"Aku tahu 'berkah' ini diturunkan kepada pemimpin kerajaan dan aku tahu 'berkah' hanya bisa digunakan untuk melihat masa depan para Arca. Lalu kenapa Raiyan ada di dalamnya? Apakah yang ingin Ibu katakan adalah Raiyan sebenarnya seorang Arca?"

"Tidak, bukan itu. Ibu yakin 100% dia tidak memiliki kaitan apa pun dengan Arca ketika dia lahir. Dia murni manusia. Yang membuat Raiyan masuk ke dalam penglihatan ini adalah hal yang lain," jawab Martha.

"Apa kau mau mendengarkan lanjutan dari mimpi yang Ibu dapat?"

Asri hanya mengangguk.

"Ibu mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi. Setelah melihat Raiyan yang tidak berdaya, Ibu melihat semacam gas keluar dari bawah kasur itu. Dan.... Juga...."

"Juga apa?"

"Kau, Asri"

ArcaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang