Vee suntuk.
Pikirannya pada Namjoon benar-benar tak mau berhenti. Akhirnya dia memutuskan keluar untuk menyegarkan otaknya. Meski diluar sedang gerimis, gadis itu malas tahu. Dengan payung yang dibawanya, Vee berjalan pelan menyusuri jalanan kecil yang mengarah ke stasiun Shimonada--stasiun yang terletak di Ehime, Shikoku Yosan Line--yang terkenal dengan keindahan panoramanya.
Stasiun indah itu yang pertama kali meredakan kebenciannya karena harus pindah ke Jepang saat ia sedang menikmati puncak karirnya di Seoul. Ia terpaksa meninggalkan pekerjaannya karena orang tuanya tidak bisa dan tidak mau membiarkan gadis itu tinggal sendiri.
Dia selalu datang ke Shimonada setiap kali suntuk menghampirinya. Pemandangan lautnya selalu berhasil menenangkan pikirannya.
Dan saat Vee tiba di stasiun itu, kedua maniknya mendapati sosok yang ia kenal terbaring lemah di bangku stasiun terbuka itu.
“Namjoon?”
“Kak Vee—“
“Kenapa wajahmu? Astaga! Ayo ikut aku. Kita harus merawat lukamu.”
Vee membawa Namjoon ke rumahnya. Vee pikir Hoseok masih di rumah, tapi ternyata adiknya meninggalkan pesan--mengatakan dia akan pergi ke cafe komik langganannya karena bosan.
Gadis itu sebenarnya ingin bertanya mengenai wajah Namjoon yang babak belur. Tapi gatal bibirnya ia tahan sebisa mungkin karena melihat Namjoon yang sepertinya enggan membicarakannya.
Akhirnya setelah dia mengobati luka Namjoon, Vee hanya duduk di sebelahnya sambil membuka obrolan santai. “Hoseok tadi sebenarnya di rumah, tapi karena aku keluar, dia jadi bosan. Apa kau mau kutelponkan dia agar dia pulang dan menemanimu?”
Namjoon menggeleng lemah. “Tidak usah, Kak. Aku akan menunggunya disini.”
“Baiklah. Kau mau makan? Aku bisa—“ Vee menghentikan kalimatnya. Namjoon tertunduk lesu. Dia ingat kata-kata adiknya. Lalu dia berusaha untuk menyemangati Namjoon. “Aku dengar dari Hoseok, katanya kau sedang ada masalah dengan pacarmu. Semangat ya! Akan kubuatkan makanan enak supaya moodmu kembali bagus.” Dan mengusak kepala Namjoon.
“Kau benar-benar memperlakukanku seperti adik ya?”
“Emm? Hah?” Kaki yang tadinya sudah siap melangkah ke dapur terhenti karena pertanyaan tiba-tiba dari Namjoon.
“Apa kau tahu alasanku seperti ini?"
Vee berbalik menatap Namjoon yang masih duduk di sofa. "Maksudnya?"
"Karena kau, Veeoleta.”
BRUKK !!!
Vee terjatuh dengan keras karena Namjoon tiba-tiba menerjangnya. Tubuh mereka kini tergeletak di lantai dengan Namjoon ada di atas Vee.
“Namjoon!”
“Kak, aku seperti ini karena kakak. Kakak mungkin tidak sadar, tapi kakak manis sekali.”
“Namjoon hen—“ Kalimatnya terputus. Namjoon mencium bibir Vee dengan penuh gairah. Namjoon berusaha mencari celah agar bibir Vee terbuka. Benar saja, setelah satu gigitan lumayan keras yang dilakukan Namjoon, Vee membuka bibirnya. Mengaduh tertahan karena detik berikutnya lidah Namjoon mengabsen setiap jengkal isi mulutnya.
Gadis itu sampai tidak bisa bernapas. Pikirannya melayang. Rasa suka yang selama ini berusaha ia halau menyeruak begitu saja. Vee tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan bibir dan lidah Namjoon menguasai bibir dan juga lidahnya.
Tapi karena tiba-tiba Namjoon menginginkan hal lain, Vee langsung sekuat mungkin mengelaknya. Bagaimana tidak Vee menolak Namjoon semakin menindih tubuhnya. Bibir Namjoon turun menciumi leher, belakang telinga, dan semakin turun. Napas Namjoon semakin berat saat hidungnya menyentuh collarbone milik Vee.
Vee memang tidak pernah punya pacar, tapi dia bukan gadis bodoh yang tak tahu apa yang akan dilakukan Namjoon jika dia diam saja. Tangannya yang digenggam erat oleh Namjoon meronta hingga akhirnya dia tidak sengaja membuat anting Namjoon terlepas. Laki-laki itu merintih sakit dan memegang telinganya yang berdarah.
Dengan napas tersengal, Namjoon merenggangkan tubuhnya lalu menatap Vee yang masih ada di bawahnya. “Aku minta maaf, tapi aku sangat menyukai kakak. Aku minta maaf, tapi aku selalu bermimpi ingin melakukan ini denganmu. Aku minta maaf. Aku benar-benar keterlaluan.” Lalu dia bangkit dari tubuh Vee. “Aku janji tidak akan kemari lagi.”
BLAMM !!!
Namjoon menutup pintu dengan sangat keras dan pergi meninggalkan Vee yang terkapar lemas dan shock di lantai rumahnya yang dingin.
Vee tak lantas bangkit dari lantai. Ia menerawang langit-langit rumahnya yang tinggi. Keterkejutan apa yang baru saja terjadi membuatnya terdiam tak ingin bergerak. Sebelah hatinya ingin mengejar Namjoon karena telinga laki-laki itu berdarah akibat tangannya, sebelah hatinya yang lain tak ingin mengejar Namjoon karena ia merasa hina sudah membiarkan Namjoon menjelajahi bibirnya hingga merasa nyaman untuk menciumi bagian tubuhnya yang lain, dan sebelah hatinya yang lain lagi ingin memohon pada Namjoon untuk tak pergi dan tetap bersamanya melakukan apapun yang baru saja ia tolak.
Kata-kata Namjoon tentang pemuda itu menyukainya, selalu menginginkan melakukan hal itu dengan Vee jelas membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana bisa dia menyukai Vee sementara dia memiliki pacar? Apa dia tidak memikirkan perasaan pacarnya? Namjoon ini playboy? Vee bertanya dalam tubuh masih tergeletak tak bergerak di lantai.
Betapa gilanya Vee jika gadis itu menyambut apa yang Namjoon lakukan padanya. Bukan hanya karena itu adalah hal pertama kali untuknya, tapi jika ia melakukannya berarti hidupnya dipenuhi dengan skandal; tidur dengan teman adiknya yang masih SMA yang sudah memiliki pacar.
Vee kadang memang gila, tapi ia tak mungkin sesinting itu membiarkan hidupnya terjebak dalam skandal. Maka dengan pikiran waras itu, Vee bergerak bangun dan meyakinkan diri bahwa apa yang ia lakukan hingga membuat Namjoon berjanji tak akan menemuinya lagi sudah benar dan tak akan membuatnya sedih.
-tbc,
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ORANGE
Fanfiction[21+] "Jika mencium jeruk saja membuatku jatuh cinta padamu, tak ada hal lebih lain yang akan membuatku berpaling." Namjoon mengatakannya dengan sangat lembut hingga membuat rintik deras hujan di luar seperti percikan air dari surga, menentramkan, m...