002 - Eccedentiast [part 2]

36 4 0
                                    

(n.) Someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, disappear and/or die; someone who hides pain behind a smile


Wajahnya selalu menggantung dan matanya tampak kosong setiap kali aku melihatnya dari jauh. Di saat-saat seperti itu dia tidak pernah menyadari kehadiran siapa pun. Lengah pada dunia nyata. Aku merasa bahwa ia tenggelam dalam kegelapan yang begitu jauh. Ekspresinya tidak memperlihatkan kebahagiaan yang aku ingin Rina merasakannya.

Apakah ada cara untuk menariknya kembali?

Aku adalah orang yang munafik. Mencoba untuk membawanya keluar dari sangkar, tetapi pada nyatanya aku hanya melihat dari luar. Tanpa berusaha mencoba sedikit pun dan menutupinya dengan kebohongan yang terus berlanjut.

Rina tidak menyadarinya bahwa dari tempat yang jauh itu aku selalu melihatnya dan selalu berusaha menutupinya ketika ia berhadapan denganku.

Aku menepuk pundaknya agar ia sadar. "Aku kembali," ujarku. Tersenyum seolah-olah aku tidak melihat sisi Rina yang tidak mau ia tunjukkan pada siapa pun. "Apa ada masalah yang mengganggumu?" pertanyaan klise yang sesungguhnya tidak perlu untuk diajukan.

Wajahnya terangkat. Air mukanya beubah menjadi terkejut kemudian ia tersenyum lebar. "Hazel!" secara naluriah seluruh kekosongan itu disembunyikan di belakangku. "Akhirnya kamu kembali! Aku merindukanmu!" kakinya berjinjit sementara tangannya melingkari leherku. Dengan suara yang lebih pelan ia mengeluh, "Aku kesepian di sini kalau kamu tidak ada."

Kamu sudah mengatakan itu berkali-kali. Aku membiarkan Rina mengeluh sambil melingkari tubuhku tanpa memprotesnya secara langsung. Biarlah ... ini jauh lebih baik daripada ia termenung sendirian. Namun keluhan itu pun tidak berguna karena aku sudah memahaminya jauh daripada yang ia tahu. Banyak hal yang dikatakannya hanya kebohongan belaka. Rina masih menghindar dariku.

"Rina ...." Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Maaf, aku terlalu lelah akhir-akhir ini." Bola matanya yang terlihat seperti permata itu memandangku heran sekaligus sedih. Seharusnya kamu mengerti. Ini bukan seperti aku mau menghindarimu.

Tatapan matanya jatuh ke rerumputan. "Aku mengerti. Misimu pasti sulit," ujarnya pelan seraya tersenyum. "Tugasmu selalu berat. Istirahatlah yang cukup, kamu juga terlihat tidak tidur akhir-akhir ini." Faktanya, saat ini dia kecewa, hanya saja Rina tidak akan menunjukkannya secara langsung.

Kapan kamu berhenti memberikan senyum yang palsu itu, Rina?

"Sulit. Seperti biasa, dia menyuruhku menantang maut setiap hari." Aku menghela napas berat. "Aku harus ke istana dulu. Aku belum melaporkan tugasku karena begitu sampai aku langsung ke sini."

Ekspresi luarnya sangat mudah terbaca, begitu juga ekspresi hatinya. "Kamu selalu mengatakan hal seperti itu tiap kita bertemu. Namun pada akhirnya kamu selamat, masih hidup dan bahkan tidak terluka." Protesnya seraya bercanda. Dia tidak langsung menyuruhku untuk pergi ke istana seperti biasanya.

Meskipun aku berhasil selamat, bukan berarti aku tidak mengalami kesulitan saat melakukannya.

"Maafkan aku, Rina." Sebenarnya itu bukan permintaan maaf pada ucapannya tadi. Maaf karena membuat dirimu kesepian seperti tadi. Mungkin dia tidak menyadari maksud sebenarnya. Rina selalu menahan diri, dia bahkan tidak tahu aku mengetahuinya.

Gadis itu menggeleng. "Sudahlah, lupakan saja."

In the Future Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang