005 - Eccedentiast [part 5]

7 0 0
                                    

(n.) Someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, disappear and/or die; someone who hides pain behind a smile


"Saya minta maaf. Saya sudah berusaha menghalanginya, tapi Trevis tidak mau mendengarkan." Perempuan itu menundukkan badannya berkali-kali di hadapanku. Rambutnya yang panjang luruh hingga wajahnya hampir tidak kelihatan. "Ini tidak akan menjadi baik-baik saja." Nadanya terdengar penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.

Aku berusaha menghentikan sikapnya itu. "Sudahlah, Uri. Apa boleh buat, aku harus menerimanya."

Perempuan di hadapanku, Uri justru tercengang. "Benarkah ini tidak apa-apa?" tanyanya memastikan. "Saya tidak yakin soal itu, Hazel. Kamu tidak terlihat baik. Akan lebih baik duel ini dibatalkan." Uri masih terlihat cemas.

Sebisa mungkin aku meyakinkannya. Walaupun begitu, sebenarnya apa yang Uri perhatikan itu benar. Saat ini aku tidak yakin akan sanggup untuk menerima pertarungan, baik itu hanya sekedar latih tanding biasa. Dan sekarang Trevis justru mengajakku duel maut. Jika saja ada hal yang bisa mematahkan niat Trevis. Orang itu sangat keras kepala.

Bagaimana pun, fisikku sudah berada di ambang batas. Aku sudah mencapai titik terlemah dari diriku sendiri saat ini. Aku lelah, tapi orang yang menjadi lawan duelku di arena adalah orang berdiri berdasarkan egonya. Jika aku menolaknya, dia akan terus mendesak karena dia hanya menganggapku orang yang mencari-cari alasan.

Trevis sudah mengarahkan ujung pedangnya terhadapku. Ia menyala karena ambisi. "Kita akan mulai. Tidak peduli alasan apa yang kaubilang, aku tetap akan maju untuk duel ini." Keras dan tidak berperasaan.

Bahkan pedang pun terlalu berat untuk digunakan. Begitu duel dimulai, aku hanya membiarkannya menyerang dan terus-menerus menghindar. Tubuhku terlalu ambruk. Pada akhirnya pun aku dengan sengaja melepaskan genggaman pedang yang seharusnya kugunakan.

Dia terlihat puas berhasil menjatuhkan pedangku. Kalimat yang seharusnya adalah aku melepaskan pedangku sendiri. Trevis terus menyerang dan menyerang tanpa ampun. Sangat energik dan ambisius. Kalau diingat-ingat, aku tidak pernah melihatnya seperti kelelahan atau kesulitan dalam keterampilan fisik.

Aku terpojok. Trevis dengan bangga menyatakan, "Aku menang." Tanpa kelelahan yang berarti ia mengakhiri duel. "Seorang kesatria tidak boleh lemah! Dengan cara apa pun ia harus bisa melawan!" Raut wajahnya berubah tidak senang. Matanya menatapku tajam. "Aku tidak merasakan kau berada di dalam pertarungan, Hazel."

Kepalaku sakit dan tubuhku tidak sanggup lagi menahan beban. Kali ini aku benar-benar ambruk. Ini kekalahanku yang pertama dalam pertarungan. Seharusnya aku lebih berhati-hati agar kondisiku tidak menjadi seperti ini. Aku menghela napas lagi, teringat apa yang terjadi selama misi terakhir.

In the Future Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang