(n.) Someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, disappear and/or die; someone who hides pain behind a smile
Lagi-lagi aku bertemu Rina dengan diam-diam. Sebenarnya lebih tepat kalau dia mengunjungiku. Rumahku berada di kawasan sepi dan dekat dengan hutan. Dia sudah sampai bahkan sebelum aku sampai. Duduk dengan tenang dengan dua cangkir teh di atas meja dan piring dengan kue-kue. Ekspresi ceria itu tidak pernah berubah sedikitpun.
"Selamat datang, Hazel!"
Ekspresi yang penuh kebohongan.
Aku masih berpura-pura tidak sadar dengan sikap Rina. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanyaku. Aku teringat percakapanku dengan Uri. Waktu kehadirannya tepat. "Sudahlah lupakan. Ada yang ingin aku tanyakan padamu." Aku ingin memastikan tentang Reine.
"Tentang apa?" ia balik bertanya dengan heran. Kepalanya dimiringkan. Ia pun mengambil salah satu cangkir di meja dan meminum tehnya. "Duduk dan minum dulu. Tehnya nanti dingin lho."
Rumahku selalu kosong tanpa apa-apa. Aku tidak yakin ada teh di tempat ini. "Kamu membawanya?" sepertinya gadis ini telah bersikap seenaknya sebelum aku datang. "Padahal kamu belum izin pada pemilik rumah." Teguran setengah bercanda. Aku ikut duduk di hadapannya dan minum teh. Enak.
Gadis itu mengangguk. "Tempatmu ini selalu kosong. Tidak apa-apa bukan sekali-kali aku buatkan sesuatu? Aku juga bawa bahan makanan, biarkan aku memasak makan malam untukmu di sini." Rina menyeringai senang.
Ah, biar kutolak dia tetap memaksa. Aku membiarkannya melakukan hal sesukanya. Tempat ini tidak berarti apa-apa. Terlalu besar dan sangat kosong. Bahkan jika dihancurkan pun aku tidak akan peduli. Tidak ada sesuatu yang penting di tempat ini, aku tidak membutuhkannya.
"Mau kue juga? Strawberry atau cherry?" Rina menunjuk dua piring kecil dengan kue berwarna merah yang lembut. "Aku tidak tahu kue apa yang kamu suka. Kalau kamu tidak suka kue-kue yang ada di sini, berikutnya aku bawakan kue yang kamu suka."
Aku tidak suka manis.
"Makanan manis akan membuat perasaanmu lebih baik. Kamu membutuhkannya meskipun kamu tidak suka." Seperti menebak pikiranku, dia menyeringai lagi. Baru saja dia bilang tidak tahu seleraku, sekarang dia mengatakan aku tidak menyukainya. "Karena semuanya tertulis di wajahmu."
Waktu-waktu yang dihabisi dengan percakapan biasa. Tidak terlalu penting, tapi aku tidak membencinya seperti seharusnya. Aku sudah mengerti. Karena inilah aku menyayangi Rina. Dia selalu mengubah pandanganku terhadap hal-hal yang aku benci.
"Rina, kudengar kamu akan menjadi Reine." Aku pun mengangkat persoalan ini dalam pembicaraan.
Aku sudah menduganya. Ekspresi itu kembali muncul di wajahnya. Walaupun tidak sedalam saat aku meninggalkannya. Rina mencoba tersenyum dan terkekeh mengiyakan. Mengatakan hal itu memalukan, meskipun begitu sorot matanya mengatakan dia tidak menyukainya.
"Pesta sambutan Reine akan diadakan sepuluh hari lagi. Lalu tentang kapan pernikahannya akan diberlangsungkan aku tidak tahu. Sepertinya setelah Putra Mahkota naik takhta menjadi raja. Pernikahan politik itu tidak bisa aku hindari. Kamu pasti hadir di pesta karena kamu Hazard, bukan?"
Aku mengangguk. Dia benar. Sudah pasti Hazard diikutsertakan dalam setiap pesta kerajaan. Tangan-tangan penting yang bekerja untuk kerajaan harus ikut serta. Aku yakin Nath juga ingin mengambil kesempatan untuk bertemu kembali dengan adiknya yang juga Reine.
"Lalu tentang Reine yang satu lagi ... Lady Thania, putri dari Marquess Araceli." Aku menyebutkan nama adik dari Nath. "Kakaknya adalah Hazard dan adiknya adalah Reine. Keluarga mereka sangat berbakti pada kerajaan," komentarku.
Kulihat Rina menggembungkan pipinya. "Kamu juga pernah dekat dengan dia sampai memanggilnya dengan nama panggilan?"
Salah. Aku hanya dekat dengan kakaknya. "Aku tidak tahu nama lengkapnya. Nath memanggilnya Thania, jadi kusebut dia Lady Thania." Sejak kapan aku dekat dengan seseorang sebelum menjadi Hazard? Itu pun karena terpaksa. Namun Rina terlihat tidak puas dengan jawaban jujurku.
Satu-satunya orang dekat yang tidak melibatkan keterpaksaan itu hanya kamu, tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Future Without You
FantasyMatanya terlihat sangat indah, bagai permata yang telah lama hilang. Menyimpan ketertarikan yang menarik perhatian banyak orang. Seluruh dunia seolah membencinya tanpa syarat dan membawanya pada kesepian. Beban itu terlalu berat untuknya, tapi aku t...