010 - Tacenda [part 2]

6 0 0
                                    

(n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence


Rina yang kukenal adalah sosok yang kutemui karena ketidaksengajaan. Terjadi belum lama setelah aku menjadi Hazard. Pada malam itu aku melarikan diri dari kenyataan yang kuhadapi. Menghindar dari rasa sakit yang mendalam. Aku tidak ingin terluka lebih jauh. Dan ketika tiba di ujung pelarian itu aku bertemu dengannya.

Pembantaian keluargaku adalah hal yang cukup berpengaruh pada pertemuanku dengan Rina. Seperti yang orang-orang katakan, Andrez adalah keluarga yang dibantai dan sejak itu aku sendirian. Aku masih takut untuk menerima rasa sakit. Evil's Eye masih terbayang dalam pikiranku.

"Nikmatilah rasa sakit ini dan pergilah dengan tenang ke dunia orang mati."

Rumor yang beredar mengatakan bahwa akulah pelakunya, itu bukan kenyataannya. Aku masih ingat senyum yang mengerikan itu dan matanya. Alasan julukannya itu Evil's Eye adalah karena sepasang mata yang tidak terlihat seperti mata pada umumnya. Rumor adalah hal yang tidak jelas, jadi tidak ada yang tahu persis seperti apa mata milik Evil's Eye itu.

Aku melarikan diri dari tempat itu dan dari titik itulah aku bertemu dengan Rina yang aku kenal.

Tangisannya memecah hujan deras. Ia berdiri di tepi sungai yang mulai membanjir. Melihat sosoknya yang samar terbungkus oleh hujan, aku pun menghampirinya dan menariknya dari tepi sungai. Saat itu entah apa alasannya, aku telah lupa apa yang terjadi pada diriku sendiri.

Genggamannya terasa dingin dan basah. Aku telah kehilangan pikiran untuk mengetahui sebuah alasan atas hal yang aku lakukan saat itu. Kami tidak pernah bertemu sebelumnya dan malam itu kami berdua saja. Tapi aku tidak melupakannya tentang hal yang pertama kali aku lihat dengan jelas dari dirinya begitu hujan tidak menerpa kami lagi.

Kedua bola matanya memiliki warna yang berbeda dan keduanya benar-benar terlihat seperti permata. Mata kanannya memiliki warna hijau seperti zamrud dan mata kirinya memiliki warna yang biru seperti safir. Heterochromia eyes. Sepasang mata itu melihatku dengan penasaran apa yang aku perhatikan.

"Terima kasih,"

Aku terkejut karena tiba-tiba ia berbicara dan mengatakan hal seperti itu. Setelah dua patah kata itu terucap darinya rasanya lebih canggung untuk mencoba berbicara satu sama lain. Terjebak dalam situasi di mana kami seharusnya saling mengabaikan karena kami tidak mengenal.

"Algretta Catherine Veire," dia berkata lagi secara tiba-tiba. "Itu namaku."

Aku tidak bisa mengucapkan satu kata pun untuk membalasnya. Semuanya hanya sepi di antara kami. Hujan bertambah lebat, percik-percik airnya mulai mengenai kami lagi. Di antara kami hanyalah suara hujan. Tidak peduli bagaimana mencoba untuk berbicara, kesemuaannya adalah canggung.

Jadi dia juga bangsawan. Sekiranya itulah hal yang terlintas di benakku ketika gadis itu menyebutkan namanya. "Hazel," aku membalasnya singkat. Merasa tidak perlu menyebutkan nama dari keluargaku. Lagipula karena pembantaian itu, semuanya sudah habis.

"Aku takut ... untuk kembali ...." Rina adalah orang yang mendominasi percakapan. Sejujurnya bahkan situasi itu tidak bisa disebut percakapan. Aku hanya duduk dan menjadi pendengar untuknya. "Aku bermain terlalu jauh, aku tidak tahu bagaimana aku bisa pulang."

In the Future Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang