02: Bad Luck

378 62 2
                                    


Jian Pov

Seingatku, seorang Kim Jian memang tak diberkati banyak keberuntungan. Pun aku juga tak begitu berminat hidup dalam limpahan keberuntungan. Bagiku, hidup berkecukupan sudah jadi keberuntungan tersendiri. Tak perlu jadi gadis yang lahir dari keluarga kaya, bergelimang harta atau status sosial, tak perlu juga datang kekampus dengan mobil mewah serta tas mahal, apalagi pulang kerumah mewah disambut oleh belasan orang yang akan senantiasa melayani, karena bagiku hidup semacam itu terlalu membuat sakit kepala.

Mungkin terdengar naif bagi sebagian orang. Tapi aku yakin jika diluaran sana ada banyak orang yang lebih memimpikan hidup dalam kesederhanaan namun bergelimang kebahagian yang tak melulu dari sesuatu yang bersifat duniawi. Menurutku begitulah seharusnya hukum alam yang berlaku, keadilan yang seharusnya Tuhan bagi rata pada manusia yang tak termasuk dalam golongan serakah sepertiku.

Namun sialnya, Tuhan mungkin belum sempat menengok gadis malang ini. masih sibuk memberi kebahagia pada si kaya raya, sampai-sampai kesialan seorang Kim Jian terus berlanjut hingga membuatku sakit kepala sendiri. Ini bukan keluhan tanpa alasan. Hanya saja ini terlalu kejam, sekalipun aku bukan penggila kemewahan, membuatku nampak jadi seperti gelandangan semacam ini juga terasa berlebihan, Tuhan.

Duduk disebuah halte diwaktu lewat dari tengah malam. Menggenggam erat gagang koper lusuh dengan ransel kuliah yang kini terisi penuh dengan semua literatur dan perlengkapan kuliahku. Rambut lepek serta baju yang belum sepenuhnya mengering akibat guyuran hujan yang baru berhenti sekitar sepuluh menit lalu, dan membawaku terjebak di halte bus sambil menunggu kehadiran Nara yang pastinya juga akan terjebak hujan dalam perjalanan kemari.

Sebenenarnya teramat sungkan juga meminta gadis itu untuk datang dan menjemputku. Karena aku juga tahu jika Nara juga sedang sangat sibuk berkemas menjelang kepindahan kembali kerumah orang tuanya. Tapi mau bagaimana lagi, Hwang Nara adalah satu-satunya nama yang bisa kupikirkan dalam keadaan apapun.

"KIM JIAN!!!"

Aku menoleh dan mendapati Nara yang baru saja keluar dari sebuah taksi. Ia menggerakan tangan nya, mengisyaratkan agar aku tetap berada ditempat selagi ia membayar biaya taksi. Lalu gadis itu setengah berlari dengan raut wajah yang bisa kuterka nampak khawatir meski dalam penerengan jalan yang minim.

"Jian-ah, kau baik-baik saja?" Nara menatapku dengan penuh kekhawatiran. MenilisiK kebeberapa bagian tubuhku untuk memastikan jika aku baik-baik saja, "kau tidak terluka, kan? Ahjumma pemilik flat itu tidak menampar atau memukulmu bukan? Atau dia tidak—"

"Tidak, aku baik-baik saja, Nara-yya." Ucapku menenangkan nya yang terus saja berpikiran yang bukan-buka, "aku baik-baik saja, tidak terluka."

Nara menghembuskan napas. Kulihat raut cemasnya sedikit nampak berkurang, berganti dengan kelegaan setelah memastikan jika keadaan sahabat malangnya ini baik-baik saja. Sungguh, keperdulian seorang Hwang Nara membuatku merasa begitu terberkati memiliki sahabat sebaik dan sutulus dirinya. Lebih dari pada itu, bagian lain diriku merasa bersalah pada Nara karena harus berteman dengan orang sepertiku. Orang yang begitu banyak membuatnya kerepotan, membuatnya begitu banyak menolongku. Sedangkan aku, tak ada yang bisa kulakukan untuknya, selain berusaha menjadi sahabat yang juga selalu ada saat dibutuhkan, "Nara-yya, maaf ya karena aku membuatmu sampai datang kemari selarut ini. habis tidak ada orang yang bisa kupikirkan selain dirimu."

Mendengar ucapanku, Nara malah memukul lenganku dengan keras, sakit sekali hingga membuatku meringis, "yaa, Kim Jian, sudah seharusnya kau menghubungiku. Kau pikir siapa lagi yang harus kau hubungi selain aku. Lagi pula aku akan sangat marah jika kau menyembunyikan penderitaanmu dariku, paham?" ucapnya yang terdengar rewel namun berisi jutaan keperdulian yang tak pernah kudapat dari siapapun selain dari sosoknya.

Suddenly Housemate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang