13: Uri Sijak

359 47 28
                                    

Part ini belum melalui proses editing, jadi typo akan ada dimana-mana. Editing secepatnya.

Ini tidak seperti mimpi disiang bolong, karena seingatku, aku bukanlah si pecinta tidur di siang hari. Kemudian ini juga tidak seperti bagaimana petir bergemuruh dikala hujan, karena gemuruh petir tak mampu membuat jantungku berdegup sehebat ini, terlebih gemuruh petir tak mungkin memberi jutaan rasa berbunga—seolah dunia sedang memberkati hidup dengan limpahan cinta.

Perasaan ini begitu sulit kugambarkan, sulit pula menjelaskan bagaimana buncah rasa tak karuan yang saat ini kurasakan, karena selama dua puluh tiga tahun hiduku baru kualami perasaan asing semacam ini. Perasaan bahagia yang melunturkan seluruh kecewaku lantaran kupikir bahwa aku telah berada dipenghujung kisah roman picisan yang kuciptakan sepihak. Menjadi satu-satunya tokoh yang merasakan cinta dan menjadi satu-satunya pula yang akan patah hati karena cinta sepihak.

Tapi rupanya semua ini diluar dugaan. Skenarionya berubah saat kupikir benar-benar akan usai. Kali ini situasinya seolah berbalik seolah dewi fortuna sedang berbaik hati padaku, hingga kini cinta sepihak ku usai.
Cerita ini tidak bukan lagi sebuah roman picisan tentang cinta sepihak. Cerita ini telah berubah menjadi lakon romantis dimana dua tokohnya punya perasaan cinta yang sama, hanya saja ia terlalu bertele-tele untuk menyadari perasaan nya.

Mungkin pepatah yang mengatakan kehilangan akan membuatmu menyadari makna akan kehadiran seseorang dihidupmu; menjadi gambaran tepat dari kisah ini, dimana pria itu baru menyadari perasaan serta betapa berartinya aku dalam hidupnya ketika aku perlahan memilih mundur dari kehidupanya.

Si pria plin-plan itu mungkin terlalu sulit bernegosiasi dengan hatinya, lamban mengartikan perasaan yang ia miliki untuk ku hingga pada akhirnya menjadi keragu-raguan yang membuatnya memerlukan banyak waktu untuk mengakui. Tapi hal itu justru membuatku merasa maklum. Lakunya yang seolah maju-mundur pasti didasari atas berbagai pertimbangan, karena pasti tidak akan mudah untuk membangun sebuah hubungan, terlebih ada perbedaan menjulang antara diriku dengan nya, bukan hanya soal kasta kehidupan, tapi juga status kami sebagai seorang mahasiswa dengan dosen nya.

Namun kini bagiku semuanya menjadi terasa cukup. Mengetahui bahwa tak hanya aku yang menyukainya seorang diri. Mengetahu bahwa pria itu—Kim Seokjin juga merasa hatinya terusik dengan kehadiranku sudah lebih dari cukup, untuk selebihnya aku hanya akan berusaha mengikuti alur yang disajikan perihal romansa ini.

"Sedang apa?"

Jian terhenyak dari lamunan nya, tak kala perutnya tiba-tiba terlingkari oleh tangan kekar yang menunjukan timbulnya garis-garis vein hingga membuat kesan maskulin begitu kentara hanya dengan melihat tangan itu.

Menilik kesisi kiri, Jian lantas mendapati sosok Seokjin tengah berpangku dagu dengan manis dibahunya sambil mengumbar senyum menawan yang membuat Jian menelan ludah susah payah.

"Apa menu sarapan hari ini?" tanya Seokjin. Hidungnya jahil mengendus sisi leher Jian.

Jian tentu tak mampu berbuat banyak. Tubuhnya hanya bisa bergidik geli dengan detak jantung yang sudah berdegup tak karuan. Rungunya terkunci rapat, suara pun seolah tertelan lirih hingga rasanya tak mampu menjawab pertanyaan Seokjin perihal menu sarapan mereka pagi ini. tenggorokan nya terasa begitu kering, dan sialnya saliva pun menjadi begitu sulit terteguk untuk sekedar membasahi tenggorokan. Oh, paginya sungguh berbahaya dan diluar dugaan.

Pasalnya hampir semalaman Jian gelisah memprediksi bagaimana paginya akan menjadi begitu canggung saat harus berhadapan dengan Kim Seokjin. Jangankan membayangkan akan mendapat pagi semanis ini, dalam pikiran Jian, menatap Kim Seokjin pun mungkin akan terasa begitu sulit dan memalukan karena pernyataan cinta dari pria itu, yang lantas berlanjut kedalam sesi ciuman panas mereka malam tadi.

Namun rupanya kegelisahan Jian berakhir tanpa alasan. Kelakar Kim Seokjin benar-benar diluar dugaan saat Jian tak pernah menyangka bahwa Lelaki Kim itu punya sisi genit seperti ini. pria yang akan membuang segala bentuk kecanggungan setelah apa yang terjadi pada mereka malam tadi. Sebuah pelukan, senyum hangat, suara dengan nada halus adalah sesuatu yang tak pernah Jian bayangkan akan ia dapatkan tepat di ke-esokan hari usai Seokjin mengungkapkan perasaan nya. Oh tunggu! Ingatkan juga bahwa status mereka masih menjadi abu-abu. Pernyataan cinta dengan sebuah ciuman tidak lantas menjadikan mereka pasangan tanpa ajakan resmi untuk menjadi sepasang kekasih.

Jian lantas berdeham, menenyahkan pikiran nya dan menjawab pertanyaan Seokjin, "nasi goreng dan telur mata sapi." Ucapnya alakadar. seluruh kekuatan jiwa raganya saat ini masih berpusat untuk menenangkan degup jantung serta rasa lemas yang berakibat pada tangan nya yang menjadi tak telaten saat membolak-balikan nasi goreng diatas penggorengan.

"Good, terlihat enak, aku jadi tidak sabar mencicipinya." Ucap Seokjin, kemudian melepas pelukan nya pada Jian—membuat gadis itu akhirnya bisa sedikit bernapas dengan leluasa—meski hanya sekejap, sampai saat Seokjin memberi kecupan singkat pada pipi kanan Jian.

Gadis itu dibuat kembali tertegun, namun tak lama kemudian Jian menatap Seokjin dengan ragu, "yaa, kau—ada apa denganmu? Kenapa sikapmu jadi aneh begitu?" tanya Jian terbata. Tangan nya ragu mengangkat spatula dan mengacungkan nya pada wajah tampan Seokjin.

Sedangkan tersangka utama yang membuat pagi Jian tak karuan justru mengkerut bingung, "aneh? Apanya yang aneh?" tanya Seokjin tak mengerti.

"Auhhh, semuanya. Kelakuanmu pagi ini aneh sekali. Memeluk ku, mencium pipiku. Juga, sejak kapan kau begitu tertarik melihat nasi gorong buatanku, padahal biasanya mengeluh tiap kali kubuatkan nasi goreng."

Mendengar keluhan Jian, Seokjin justru tertawa geli. Ia mencubit pipi Jian dengan gemas, "tentu saja karena sekarang keadaan nya sudah berbeda. Kim Jian sekarang kekasihnya Kim Seokjin, jadi apapun yang kau masak akan membuatku merasa bersemangat. Dan juga, memang apa yang salah kalau aku memeluk dan mencium kekasihku sendiri?"

Jian mengerutkan dahinya, "Kekasih? Aku kekasihmu? Sejak kapan?"

"Apa? Apa maksudmu sejak kapan? Apa ciuman semalam kurang untuk menjelaskan status kita sekarang? Atau kau butuh ciuman yang lebih panas dari semalam untuk menjadi kekasihku? Ah, apa kita harus tidur bersama dulu agar—ahhhh!!!!!"  Seokjin mengelus kepalanya yang terkena pukulan keras spatula Jian, "yaa, berani sekali kau memukul kepalaku!!!"

Jian menghela napas dalam. Ia lantas menatap Seokjin dengan berani, "makanya, mu—mulutmu itu kalau bicara jangan sembarangan!"

"Apanya yang sembarangan? Kan kau yang bertanya, aku hanya menjelaskan. Lagi pula kau sendiri yang aneh. Memang apa standarmu untuk menjadikan pria dan wanita sebagai sepasang kekasih kalau ciuman saja tidak cukup?"

Jian kembali menarik napas panjang. Ia menyempatkan diri untuk mematikan kompor, mungkin agenda memasak perlu ditunda karena sepertinya akan ada perdebatan yang cukup seru, "kau—kau tidak mengajaku berkencan secara resmi, Seokjin-ssi."

Seokjin tersenyum geli mendengar ucapan Jian, "yaa, memang seperti apa ajakan kencan secara resmi itu, Jian-ssi? lagi pula aku sudah mengakui perasaanku padamu tadi malam. Jadi apa yang kurang? Kau menyukaiku, aku menyukaimu, kita sudah berciuman, bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk memastikan kita dalam hubungan seperti apa?"

"Aniyeo, bagiku itu belum cukup!!! Belum cukup jika aku tidak mendengar ajakan berkencan dari mulutmu secara langsung!!"

"Maksudmu aku harus mengatakan 'Jian-ssi, maukah kau menjadi kekasihku? Maukah kau berkencan denganku?' begitu?"

Jian mengangguk mantap, "hm, iya begitu."

"Auh, kekanak-kanakan sekali. Tidak mau, aku tidak bisa!!!"

"Ah waeyo? Bukankah baru saja kau mengatakan nya? Apa susahnya mengatakan nya sekali lagi dengan bersungguh-sungguh?!"

"Ya, aku baru saja mengatakan nya dan menyadari bahwa itu terlalu menggelikan dan aku tidak bisa melakukan nya lagi!!"

Wajah Jian dengan cepat berubah cemberut. Ia mendecak sambil menatap kesal pria Kim itu, "yasudah." Katanya kemudian berbalik dan kembali menekuni kegiatan memasaknya.

"Yasudah apa? Aku tidak perlu menatakan nya dan kita resmi berkencan, hah?"

Jian menggeleng sambil memunggungi Seokjin "Aniyeo, itu sebaliknya. Kita tidak akan berkencan sebelum kau mengatakan seperti tadi padaku."

"Wah," Seokjin menganga tak percaya pada gadis dihadapan nya itu, "gadis ini kenapa jadi besar kepala setelah aku mengungkapkan perasaanku. Menyebalkan sekali."

"Biar saja, anggap saja hukuman karena membuatku sedih kemarin-kemarin."

Seokjin akhirnya memilih diam. Ia menghela napas panjang dengan tatapan penuh tertuju pada pungung Jian. Hatinya tiba-tiba melunak saat ia mengingat hidup keduanya beberapa waktu kebelakang. Hambar, membosankan, membingungkan, dan benar-benar membuat frustasi, "baiklah," ucap Seokjin. Jian pun lantas memutar tubuh dan menatap Seokjin, "ayo berkencan denganku. Jadilah kekasihku, Kim Jian." Ucap Seokjin pada akhirnya menyerah.

Sedangkan Jian pura-pura tak bereaksi dan hanya menatap Seokjin tanpa minat. Padahal kupu-kupu dalam perutnya sudah hilir mudik menemani kebahagian nya pagi itu, "hm, terdengar bersungguh-sungguh."

"Tentu saja," sela Kim Seokjin dengan sewot, "jadi bagaimana? Kita sudah menjadi kekasih kan sekarang?"

"Oke." Ucap Jian acuh. Gadis itu malah cuek dan kembali berkutat dengan nasi goreng nya setelah mendengar ajakan berkencan dari Seokjin. Meski tanpa prianya ketahui jika Jian tengah tersenyum begitu lebar dengan rasa bahagia membuncah.

"Ish, gadis ini memang hanya ingin mengerjaiku saja. Dasar menyebalkan!!!"

*****
Taehyung menghela napas kasar. Meletakan gelas ice americano nya sambil menatap jauh kearah luar caffe. Atensinya seolah menolak untuk tertuju pada sosok cantik dihadapan nya. Bukan tak ingin, hanya saja setiap kali matanya bertemu dengan wanita dihadapn nya—saat itulah perasaan Taehyung mendadak menjadi lemah dan tak karuhan.

Ada rindu, penasaran yang teramat tentang bagaimana gadis itu menjalani hidupnya semenjak mereka tak saling bertemu. Pula begitu banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan, namun hanya berakhir diujung lidah. Dan mungkin diatas semua itu, rasa bersalah tetap menjadi dominan hingga membuat Kim Taehyung mengurungkan segala keingintahuan nya tentang gadis yang entah sudah berapa lama tak ditemuinya itu.

"Aku bertemu ibumu sebelum datang ke Korea." Ucap si wanita memecah hening.

Rupanya perkataan wanita itu berhasil menyita perhatian Taehyung, bahkan membuat Taehyung nyaris tersedak es batu yang tengah ia kunyah, "bertemu ibuku? Untuk apa?"

"Sebenarnya ibumu yang meminta untuk bertemu. Dia membujuk ku agar aku tak kembali ke Korea."

"Lalu kenapa kau kembali?"

Wanita itu menghela napas panjang. Ujung bibirnya tertarik membentuk senyum yang justru malah tergambar lirih, "aku tidak ingin lagi hidup demi kalian, Tae. Sekarang aku ingin hidup untuk diriku sendiri. Lagipula mungkin sudah saatnya aku meluruskan semua kesalahpahaman antara kita dan Jin."

"Maksudmu, kau akan menemui Jin hyung?"

Wanita itu mengangguk lemah. Kedua tangan nya saling tertaut untuk berbagai alasan, "ya, aku akan menemui Jin secepatnya."

Pikiran Taehyung lantas tiba-tiba saja terasa memeta pada beberapa hal. Jin hyung nya, wanita dihadapan nya, dirinya, juga sang ibu menjadi berputar dikepala Taehyung. Berangan jika memang wanita dihadapan nya benar-benar akan bertemu dengan Seokjin, "tidak,, sebaiknya urungkan niatmu untuk menemui Jin, hyung, Anna-ya!"

Anna, wanita cantik itu mendadak kaku mendengar ucapan Taehyung—yang entah terdengar sebagai sebuah saran, perintah, atau justru paksaan sekalipun, yang pasti Anna tidak pernah menyangka jika Taehyung akan memberi reaksi seperti ini terhadap niatnya untuk memperbaiki segala kekacauan yang terjadi antara mereka dan Seokjin. Anna pikir Taehyung akan jadi satu-satunya orang yang mendukung keputusan nya—bahkan jika tak ada satu pun orang dipihaknya, Anna pikir Taehyung akan selalu berada di sisinya, "kenapa? Bukankah memang ini yang seharusnya aku lakukan sejak lama, Tae? Kupikir kau akan senang mendengar keputusanku."

"Ya, mungkin aku akan senang mendengar keputusanmu jika saja kau melakukan nya diwaktu yang tepat. Masalahnya, sekarang sudah terlalu terlambat, Anna-ya."

Anna mengerutkan dahinya, "terlambat? Maksudmu?"

Taehyung menghela napas panjang. Ia menatap presensi Anna dengan begitu lekat, "Jin hyung sudah bahagia sekarang. Hidupnya sudah sangat membaik. Kurasa kehadiranmu hanya akan kembali menghancurkan kebahagiaan Jin hyung, An—itupun kalau kehadiranmu masih mengusiknya. Karena mungkin saja kau sudah tidak ada artinya lagi untuk Jin hyung, Anna-ya."

Anna mengeratkan tautan jemarinya. Salivanya terteguk sukar. Sangat sulit baginya memahami ucapan Taehyung, terlebih bagi Anna ucapan Taehyung terdengar begitu kejam untuknya, seperti Anna tak lagi punya secuilpun tempat dihidup Seokjin, "ba—bagaimana mungkin aku tak punya arti apapun untuk nya, Tae? Kau tahu sendiri bagaiman ia mencitaiku."

"Ya, aku tahu bagiman dia mencintaimu. Bahkan aku tahu bagaimana kita menghancurkan Jin hyung yang begitu mencintaimu. Tapi tetap saja, An, sekarang semuanya sudah berubah. Sudah ada orang lain yang mengambil tempatmu dihati Jin hyung," Taehyung meraih jemara Anna yang masih terpaut diatas meja, "kehadiranmu serta penjelasan apapun tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik, An. Jadi kumohon, jangan lagi rusak kebahagian kakak ku, Jung Anna."

Anna kembali menuguk paksa salivanya. Rasa sesak tibul beriringan dengan sebulir air mata yang tiba-tiba jatuh dari pelupuk mata wanita itu. Hatinya terasa begitu nyeri, sakit sekali kala ucapan Taehyung terasa terus berngiang dan menamparnya lewat kenyataan yang tidak bisa ia terima, "tidak, Tae. Tidak mungkin Jin melupakanku semudah itu."

"Kau benar, Jin hyung memang tidak melupakanmu semudah itu. Dia berjuang sangat keras untuk melupakanmu. Dia bahkan melarikan diri kembali ke Korea, memupuk rasa bencinya untukmu, aku, juga ibu. Kita tidak akan pernah bisa membayangkan sekeras apa Jin hyung menata hidupnya kembali, An." Taehyung mempererat genggaman tangan nya pada Anna, "dan sekarang, seseorang telah membuat kakak ku kembali hidup. Dia yang telah membebaskan Jin hyung dari keterpurukan hidupnya. Sekarang kakak ku sudah punya wanita yang membuatnya bahagia, An."

Kilat mata Anna semakin tak terbendung. Bulir air matanya perlahan turun semakin dras bersama pilunya kenyatan yang menampar Anna dengan telak, "lalu bagaimana denganku, Tae? Kau tahu perasaanku pada Jin tak pernah berubah sedikitpun."

"Memang begitu seharusnya, An. Orang yang memberi luka memang sudah sepatutnya menghukum diri lewat perasaan kita yang nyatanya tak pernah berubah. Sedangkan orang yang kita lukai berjuang menyembuhkan luka—sampai akhirnya, saat ia yang kita lukai telah benar-benar sembuh, dan menyisakan kita yang hanya menjadi kelam yang terkubur bersama sakit yang nyatanya menjadi kekal. Yang artinya; kita tak akan pernah jadi kebahagian nya lagi, An."

Anna menyeka air matanya. Sesaknya sudah berada padas batas kemampuan nya, namun sebisa mungkin Anna tetap mencoba menahan diri, "lalu siapa, siapa wanita yang telah merebut tempatku dalam kehidupan Kim Seokjin, Taehyung-ah?"

"Dia hanya seorang wanita biasa, wanita biasa yang kurasa telah merebut tempatmu juga dihatiku, An."

[]

I'm back....huhu akhirnya aku kembali setelah masa hibernasi berbulan-bulan. Maaf untuk masa rehatku yg begitu lama. Just for you to know, in real life ku bener-bener lagi rusuh banget sama kerjaan yang silih berganti menumpuk. Tapi akhirnya semuanya sudah terlewati dan sekarang bisa kembali menulis sesekali. Terimakasih untuk kalian yang tidak menghapus cerita ini dari library dan tetap menunggu kebangkitanku.

Hari ini satu part, besok akan ada part lain yang akan ku publis di malam hari juga.

Enjoy the part, and see you next part.

Suddenly Housemate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang